Penguatan
Hak Rakyat atas Tanah[1]
Oleh: Sutaryono[2]
Penguatan
Hak Rakyat atas tanah, secara konstitusi telah diemban oleh pemerintah sejak
terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang lebih dikenal dengan UUPA. Namun demikian, hingga saat ini
(24-9-2017) tepat 57 tahun usia UUPA, hak rakyat atas tanah belum sepenuhnya
dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Data
BPS (Mei, 2017) menunjukkan sejumlah 39,68 juta penduduk bekerja di sektor
pertanian atau 31,86% dari jumlah penduduk yang bekerja (124,54 juta). Sejumlah
26,14 juta Rumah Tangga adalah petani yang menggantungkan hidupnya di sektor
pertanian, dan 14,62 juta RT Petani adalah petani gurem (memiliki tanah kurang
dari 0,5 ha). Sebagai Negara agraris, disamping masalah keterbatasan akses
petani terhadap tanah, Indonesia masih menghadapi persoalan: (1) tumpang tindihnya peraturan
perundang-undangan bidang agraria-pertanahan; (2) banyaknya tanah terlantar ataupun diterlantarkan;
(3) belum terselesaikannya agenda pendaftaran tanah; (4) tingginya ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah; (5) lambatnya penyelesaian sengketa dan
konflik; serta (6)
belum memadainya perlindungan hak atas
tanah bagi masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat.
Realitas
di atas belum sejalan dengan misi diterbitkannya UUPA, yakni: (1) perombakan hukum agraria;
(2) pelaksanaan land reform; (3)
penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang agraria;
dan (5) penghapusan sisa-sisa feudal dalam bidang agraria. Kelima misi tersebut merupakan
bukti nyata bahwa kelahiran UUPA dicita-citakan untuk mewujudkan hukum agraria nasional,
menatakembali penguasaan dan pemilikan tanah demi kesejahteraan masyarakat
serta terpenuhinya hak rakyat atas tanah.
Butuh
Komitmen Bersama
Pemerintah
saat ini telah berkomitmen untuk menguatkan hak rakyat atas tanah. Komitmen
tersebut dituangkan dalam RPJM Nasional 2015-2019 yang menyebutkan bahwa untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui penyediaan tanah objek Reforma
Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha yang selanjutkan akan diredistribusikan
pada rakyat. Sejumlah 4,5 juta ha berasal dari legalisasi asset dan 4,5 juta ha
yang lain merupakan objek redistribusi tanah (tanah terlantar, HGU yang habis
masa berlakunya dan dari pelepasan kawasan hutan). Legalisasi asset (baca:
sertifikasi tanah) dan redistribusi tanah adalah wujud nyata penguatan hak
rakyat atas tanah.
Tanah-tanah
yang sudah dikuasai dan/atau dimiliki oleh rakyat sebagai subjek hak dengan
alas hak (bukti) yang kuat didaftarkan melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematik
Lengkap (PTSL). Program ini ditargetkan mampu menyelesaian pendaftaran tanah di
seluruh Indonesia pada tahun 2025. Tahun 2017 ditargetkan 5 juta bidang, 7 juta
bidang di tahun 2018, 9 juta bidang di tahun 2019 dan sisanya diselesaikan
hingga tahun 2025. Penguatan hak tersebut diatur melalui Peraturan Menteri
ATR/Kepala BPN Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PTSL yang
diubah dengan Permen ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2017.
Agenda
redistribusi tanah untuk rakyat sebanyak 4,5 juta hektar hingga tahun 2019
adalah agenda yang benar-benar berorientasi untuk penguatan hak rakyat atas
tanah. Tanah-tanah yang berasal dari tanah terlantar, HGU yang habis masa
berlakunya serta kawasan hutan yang dapat dilepaskan adalah prioritas objek
redistribusi. Selain itu agenda pengukuhan dan penyerahan hak pengelolaan hutan
adat kepada masyarakat hukum adat merupakan penguatan hak kepada masyarakat
hukum adat, setelah selama ini eksistensi hutan adat tidak diakui oleh
Undang-undang Kehutanan.
Penguatan
hak rakyat atas tanah melalui agenda PTSL maupun redistribusi tanah tidak
mungkin terwujud tanpa komitmen bersama antar pemangku kepentingan. Presiden
melalui Kementerian ATR/BPN yang menjadi leading
sector harus proaktif untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari
kementerian lain seperti kementerian kehutanan, kementerian dalam negeri, dan kementerian
desa. Komitmen dan dukungan dalam menguatkan hak rakyat atas tanah juga harus
datang dari pemerintah daerah, pemerintah desa, kalangan akademisi, pihak
swasta, para aktifis & NGO serta masyarakat yang menguasai tanah. Komitmen
bersama inilah yang menjadi kunci sukses agenda penguatan hak rakyat atas tanah
yang sudah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar