Bank Tanah untuk Lahan Pangan Berkelanjutan[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Sebagai
upaya mewujudkan swasembada pangan melalui ketersediaan lahan, Pemerintah sudah
menerbitkan UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (PLP2B). Regulasi ini terbit dengan pertimbangan bahwa negara
menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi warga negara sehingga negara
berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Namun
demikian, hingga kini agenda tersebut masih tampak kedodoran. Konversi lahan
pertanian terus terjadi dan sulit dikendalikan. Konversi lahan pertanian secara nasional diperkirakan
mencapai lebih dari 100 ribu hektar per tahun. Dan belum semua pemerintah daerah mempunyai Perda
tentang PLP2B.
Dalam
konteks DIY, langkah produktif dan progresif sudah dilakukan. UU 41/2009
tentang PLP2B telah ditindaklanjuti dengan Perda Nomor 10/2011. Sejumlah lebih
dari 35 ribu hektar telah diorientasikan untuk penyediaan lahan pertanian
pangan berkelanjutan. Lahan tersebut berada di Sleman seluas 12.377 ha, Bantul dengan
luas sekitar 13.000 ha, KulonProgo dengan luas paling kurang 5.029 ha dan
Gunungkidul dengan luas 5.505 ha. Meskipun belum sinkron dan terakomodasi
dalam RTRW Provinsi DIY dan RTRW Kabupaten/Kota, paling tidak komitmen untuk
menjalankan UU dan menyelamatkan lahan pertanian pangan berkelanjutan sudah
diwujudkan melalui kebijakan (KR,
22-11-2016).
Pada tahun 2016 yang lalu, Pemda DIY
melalui Dinas Pertanian telah melakukan Kajian Evaluasi Implementasi Perda
10/2011 tentang PLP2B. Kajian yang berorientasi untuk mengidentifikasi dan merekomendasikan
kawasan lahan pertanian di wilayah DIY yang secara indikatif dapat ditetapkan
sebagai Kawasan PLP2B yang kemudian diinputkan dalam Revisi RTRW DIY. Hasil
kajian tersebut digunakan untuk mengevaluasi sekaligus memantapkan implementasi Perda PLP2B di DIY.
Pada akhir tahun ini Dinas Pertanian
DIY juga tengah menyelesaikan Kajian Pemberian Insentif dalam Program PLP2B.
Agenda ini bertujuan untuk (1) mendorong perwujudan lahan pertanian pangan
berkelanjutan; (2) meningkatkan upaya pengendalian alih fungsi LP2B; (3)
meningkatkan pemberdayaan, pendapatan, dan kesejahteraan bagi petani; (4)
memberikan kepastian hak atas tanah bagi petani; dan (5) meningkatkan kemitraan
semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan dan pengembangan LP2B sesuai
dengan tata ruang (Dinas Pertanian DIY, 2017).
Dalam
konteks ini persoalan yang muncul berkenaan dengan implementasi UU PLP2B di DIY
salah satunya adalah bentuk dan mekanisme pengelolaan LP2B. Oleh karena itu
gagasan bank tanah (land banking)
dalam pengelolaan LP2B menjadi sebuah kebutuhan yang harus diprioritaskan.
Secara umum konsepsi bank tanah
dimaksudkan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk
menyediakan tanah, yang akan dialokasikan penggunaannya di kemudian hari untuk
berbagai kepentingan pembangunan baik bagi pelaksanaan pembangunan, baik bank
tanah umum (general land banking)
maupun bank tanah khusus (special atau
project land banking) (Sumardjono, M.
2008). Dalam konteks ini agricultural land banking menjadi layak
dikedepankan.
Prinsip Bank tanah, khususnya agricultural land banking diarahkan pada upaya memberdayakan tanah
sebagai kekayaan pemerintah daerah untuk pencapaian kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat sekaligus menjaga keberlanjutan lahan pertanian pangan. Lebih
dari itu lembaga bank tanah ini juga
memberikan jaminan ketersediaan lahan dengan mengupayakan peningkatan dayaguna
dan hasil guna dalam pemanfaatan lahan pertanian secara optimal dengan cara
melibatkan para pemilik secara aktif dalam setiap kegiatan sejak tahap
perencanaan, penguasaan sampai pengelolaannya.
Skema
land banking untuk mendukung
implementasi PLP2B dapat dilakukan melalui pengadaan tanah maupun melalui
pendayagunaan tanah terlantar. Mengingat lahan pertanian untuk mendukung
penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan bukan termasuk pada kepentingan
umum bedasarkan UU 2/2012 maka pengadaan tanah dapat dilakukan melalui
mekanisme pembelian langsung berdasarkan kesepakatan antara pemilik lahan dan
Pemda DIY sebagai pembeli. Bidang tanah petani dibeli oleh Pemda DIY dengan
harga pasar, melalui mekanisme pelepasan hak dan dimohonkan hak baru oleh Pemda dalam
bentuk Hak Pakai (HP).
Skema melalui pendayagunaan tanah terlantar yang diorientasikan untuk redistribusi tanah kepada
petani diperuntukkan
sebagai lahan pertanian pangan dan pengaturan pemanfaatannya
sebagai lahan pertanian abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar