Kontestasi Ruang[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Baru saja
kita mengakhiri keceriaan sekaligus hiruk pikuk liburan sekolah yang bertaut
dengan libur natal dan tahun baru dengan ‘macet’ sebagai icon-nya. Kenapa? Karena liburan yang diisi dengan berbagai agenda travelling (baca: jalan-jalan) tengah
menjadi trend baru bagi masyarakat
jaman now. Travelling dalam rangka liburan ini, mampu menggerakkan seluruh aktifitas
perekonomian yang bertumpu pada sektor pariwisata, baik aktifitas utama pada
destinasi wisata maupun aktifitas pendukungnya seperti layanan transportasi,
akomodasi, kuliner maupun industri kreatif lainnya. Nah, agenda travelling inilah yang memberikan dampak
yang significant terhadap kontestasi
atau perebutan ruang.
Dalam
konteks ini, kontestasi ruang dimaknai sebagai perebutan ruang, baik ruang
fisik, ruang mental dan ruang sosial yang diorientasikan untuk mendukung
eksistensi pihak-pihak yang terlibat. Kontestasi ruang fisik, ditunjukkan oleh
serasa sempitnya seluruh ruas jalan serta penuhnya setiap sudut ruang untuk
parkir kendaraan bermotor para pelancong. Akibatnya macet yang luar biasa dan seluruh
ruang yang ada dikomersialkan dan nyaris tidak tersisa lagi ruang-ruang publik
yang dapat dinikmati secara bebas baik oleh penduduk setempat maupun oleh para
pelancong. Aktifitas parkir, pedagang kaki lima dan pedagang asongan dadakan
yang cenderung illegal menjadi
semakin ketatnya kontestasi ruang fisik ini. Pembangunan berbagai prasarana
pendukung pariwisata seperti berbagai macam dan bentuk penginapan (hotel maupun
home stay), rumah makan dan tempat
kuliner, pusat jajan dan oleh-oleh merupakan kontestasi ruang fisik yang
berproses secara lebih massif dan berdampak lebih lama dibanding aktifitas
perparkiran dan pedagang asongan.
Kontestasi
ruang mental mewujud dalam perubahan polapikir, mind set dan tradisi masyarakat. Kemewahan dan hedonisme gaya hidup
para pelancong berkontes dengan kesederhanaan dan kebersahajaan masyarakat setempat.
Berbagai gaya swafoto (selfie) dan
royalnya pelancong dalam membelanjakan uangnya untuk berbagai kebutuhan dan
gaya hidupnya dimaknai sebagai gambaran kesuksesan. Di sisi lain, berkah rejeki melimpah yang didapat selama liburan
bagi penduduk setempat, memunculkan imaji untuk segera membelanjakan
benda-benda modern yang dibawa para pelancong sebagai simbol masyarakat jaman now, maupun mengikuti budaya kuliner
pada rumah makan dan restoran yang menyediakan aneka penganan modern.
Kontestasi ruang mental ini secara efektif mampu menggeser tradisi masyarakat
tradisional menjadi masyarakat konsumtif.
Kemacetan
yang luar biasa sebagai akibat kontestasi ruang fisik, menginspirasi pengambil
kebijakan tentang perlunya ruas jalan baru. Akibatnya kebijakan pembangunan
jalan tol dan pelebaran jalan menjadi pilihan, tanpa memperhitungkan dampak
negatifnya. Disisi lain, bertemunya masyarakat pelancong- dengan membawa uang
dan simbol-simbol kesejahteraan – dengan masyarakat lokal yang mind set-nya mulai bergeser ke arah
konsumerisme memunculkan kasak-kusuk
transaksional. Penduduk lokal di daerah tujuan wisata alam di perdesaan yang
masih mempunyai tanah melimpah, dengan ‘tampilan’ miskin mulai rela untuk
menukar sepetak tanahnya dengan sebagian uang yang ditawarkan oleh sebagian
pelancong maupun pemodal yang membutuhkan tanah untuk kepentingan investasinya.
Inilah yang disebut dengan kontestasi ruang sosial.
Hal-hal di
atas menunjukkan bahwa liburan dengan berbagai agenda travelling benar-benar memberikan implikasi pada kontestasi ruang
yang meneguhkan semakin kuatnya komersialisasi ruang dan semakin menjauhkan masyarakat
dalam mengakses ruang-ruang publik atau bahkan memisahkan masyarakat dengan
aset-aset tanah yang dimilikinya.
Beberapa
alternatif yang dapat dilakukan agar kontestasi ruang tidak memunculkan
kemacetan dan kesemrawutan, meminggirkan masyarakat dan tidak memunculkan
kebijakan pro pada komersialisasi ruang antara lain: (a) saatnya mengembangkan
transportasi publik yang melayani kebutuhan masyarakat, termasuk yang
menghubungkan daerah-daerah tujuan wisata; (b) zonasi ruang secara ketat agar
ruang-ruang publik tetap dapat diakses oleh publik secara nyaman; (c) meninjau
kembali gagasan penambahan ruas-ruas jalan melalui pembangunan jalan tol; (d)
melindungi penguasaan dan pemilikan tanah oleh masyarakat melalui pengembangan
model share holding dalam pembangunan
ekonomi dan kepentingan investasi; (e) perlunya pengarusutamaan konsep hamemayu hayuning bawana sebagai ‘roh’
pembangunan berkelanjutan yang melindungi dan memelihara keberlanjutan
lingkungan bagi seluruh pemangku kepentingan, utamanya para pengambil
kebijakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar