NERACA
PENATAGUNAAN TANAH:
Instrumen
Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam
Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi
Sutaryono
Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional (taryo_jogja@yahoo.com)
ABSTRACT
The Balance of Land Use including balance land use changes,
the balance of suitability of the use of space and availability of priority,
the data and information that is needed in the area of planning and development
policies. This instrument is very representative to be used as a base in the
preparation of detail spatial plan dan zoning regulatian (RDTR-PZ). If this can
be done then the quality control space utilization, space utilization
licensing, policy formulation and control of site plan building an environment
(RTBL), space utilization will be very effective, because it was based on the
data and information relating to the control, ownership, use and exploitation
of land as contained in the Balance of Land Use. The level of accuracy of data in
the Balance of the Land Use be necessary increase in the scale of 1: 5000 with
the jurisdiction of the village, to be in sync with the needs of the data input
in the preparation of detail spatial plan dan zoning regulatian.
Keywords: balance of land use, detail spatial plan, zoning
regulation
Pendahuluan
Bagian Pendahuluan mencakup
latar belakang masalah, sekilas review/tinjauan mengenai penelitian relevan
sebelumnya baik oleh penulis maupun orang ylain, rumusan masalah serta tujuan
yang akan dicapai. Wilayah kajian, misalnya berupa peta/citra, dapat dimasukkan
dalam bagian ini.
Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan secara kelembagaan diawali oleh Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi
Kabinet Kerja, yang
menyatakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional, lingkup kerjanya meliputi penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang
tata ruang dan bidang pertanahan. Penggabungan bidang agraria dan tata ruang
pada satu kementerian ini dianggap tepat, mengingat: (a) pengaturan pertanahan,
agraria dan sumberdaya alam selama ini dilakukan secara sektoral, sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum dan konflik; (b) keterbatasan kelembagaan BPN
pada non kawasan hutan, menjadikan pengelolaan pertanahan, agraria dan
sumberdaya alam lainnya tidak dapat menjangkau kawasan hutan; (c) amanat
konstitusi (UUD 1945) dan regulasi (UUPA) tidak dapat dijalankan secara utuh
oleh kelembagaan pertanahan selama ini.
Dalam perspektif land management, terintegrasinya land
tenure, land use, land value dan land development yang didukung
dengan land information infrastructures dan dibingkai melalui land
policy yang tepat merupakan prasyarat terwujudnya sustainable
development (Williamson, et al, 2010). Dalam konteks ini, terintegrasinya
agraria-pertanahan dengan tata ruang adalah prakondisi menuju pembangunan
berkelanjutan.
Namun demikian, hampir 2
tahun kementerian ini terbentuk, kebijakan dan bentuk integrasi kedua urusan
ini belum menampakkan wujudnya. Berbagai agenda terkait integrasi yang
dilakukan oleh kementerian juga belum menunjukkan wujud nyata operasionalisasi
integrasi. Sutaryono (2016) menyebutkan
bahwa integrasi kedua urusan ini dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen One
Map Policy, neraca Penatagunaan Tanah, dan Konsolidasi Tanah.
Tanpa menafikan pentingnya kebijakan one map policy dan
konsolidasi tanah, naskah ini bertujuan untuk mengelaborasi Neraca Penatagunaan
Tanah sebagai salah satu instrumen yang dapat digunakan dalam operasionalisasi
integrasi tata ruang dan pertanahan.
Neraca Penatagunaan Tanah adalah perimbangan antara
ketersediaan tanah dan kebutuhan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
menurut fungsi kawasan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Makna tersebut
menunjukkan bahwa keberadaan neraca ini mampu menjadi elemen penting dalam
penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) ataupun Peraturan Zonasi (PZ).
Penyusunan RDTR dan PZ selama ini masih belum mengakomodasi secara khusus data
dan informasi yang ada dalam neraca penatagunaan tanah. Hal ini disebabkan oleh
belum tersedianya neraca penatagunaan tanah pada setiap wilayah kabupaten/kota
atau belum dipahami sepenuhnya keberadaan neraca penatagunaan tanah oleh
penyusun RDTR dan PZ.
Absennya input neraca penatagunaan tanah dalam RDTR dan
PZ dapat dipastikan bahwa informasi yang terkandung dalam regulasi tersebut
menjadi tidak optimal. Hal ini berakibat pada pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang yang kurang tepat atau bahkan mekanisme
pengendalian tidak dapat dijalankan.
Metodologi
Naskah ini
disusun melalui desk study terhadap beberapa regulasi dan beberapa
pengalaman empirik berkenaan dengan kondisi kekinian berkenaan dengan
upaya-upaya mengoperasionalkan integrasi tata ruang dan pertanahan. Deskriptif kualitatif digunakan untuk
mengartikulasikan realitas dan gagasan pentingnya pemanfaatan Neraca
Penatagunaan Tanah sebagai instrumen integrasi tata ruang dan pertanahan.
Content
analysis dilakukan untuk
mengkaji kondisi eksisting berkenaan dengan neraca penatagunaan tanah, operasionalisasi dan problematikanya serta peluang dimunculkannya sebagai
instrument utama operasionalisasi integrasi tata ruang dan pertanahan.
Analisis
terhadap kelembagaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional, yang mengintegrasikan urusan tata ruang dan pertanahan menjadi peluang dan titik masuk dalam pemanfaatan
neraca penatagunaan tanah ini..
Hasil dan Pembahasan
A.
Neraca Penatagunaan Tanah
Neraca Penatagunaan Tanah meliputi neraca perubahan
penggunaan tanah, neraca kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW, dan
prioritas ketersediaan tanah, antara lain kesesuaian tanah untuk kegiatan
tertentu. Penyusunan Neraca ini merupakan amanat Peraturan Pemerintah No. 16
Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah Pasal 23 ayat (3) dan Undang-Undang No.
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 33 (BPN, 2013).
Neraca Penatagunaan Tanah dapat menjadi acuan dalam
perencanaan kegiatan pembangunan maupun investasi yang membutuhkan tanah serta
perencanaan pembangunan lainnya, termasuk dalam perencanaan dan revisi rencana
tata ruang wilayah. Dalam konteks integrasi pengaturan dan penataan pertanahan
terhadap pelayanan pertanahan, Neraca Penatagunaan Tanah antara lain dapat
digunakan dalam rangka Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka penerbitan
Izin Lokasi untuk kegiatan investasi, penetapan lokasi, maupun untuk perubahan
penggunaan tanah.
Secara
substansial Neraca Penatagunaan Tanah akan menghasilkan data dan informasi
berkenaan dengan perubahan penggunaan tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan
RTRW dan analisis prioritas ketersediaan tanah. Dengan demikian Neraca
Penatagunaan Tanah ini mempunyai out come berupa:
1.
Peta Perubahan
Penggunaan Tanah Pada Fungsi Kawasan, yang memberikan informasi berkenaan
dengan luas, jenis perubahan dan lokasi perubahan penggunaan tanah dalam kurun
waktu tertentu;
2.
Peta
Kesesuaian Penggunaan Tanah Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah. Berisi tentang
kesesuaian dan ketidaksesuaian penggunaan tanah dengan arahan fungsi kawasan
dalam RTRW. Informasi ini dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap
RTRW maupun dalam pemberian ijin pemanfaatan ruang;
3.
Peta
Ketersediaan Tanah. Peta ketersediaan tanah ini pada prinsipnya merupakan hasil
analisis ketersediaan tanah mengacu pada penggunaan dan penguasaan tanah.
Tanah-tanah yang belum digunakan secara intensif dan belum dikuasai dengan hak
atas tanah (skala besar) dikategorikan sebagai tanah-tanah yang tersedia untuk
berbagai kegiatan sesuai dengan tata ruang. Sedangkan tanah-tanah yang telah
digunakan secara intensif dan telah dikuasai dengan hak atas tanah (skala
besar) masih dikategorikan tersedia dalam rangka penyesuaian dan optimalisasi
penggunaan tanah.
4.
Peta
Ketersediaan Tanah untuk Kegiatan atau Komoditas Tertentu. Ketersediaan Tanah
untuk Kegiatan atau Komoditas Tertentu merupakan pengembangan dari analisis
ketersedian tanah. Tanah-tanah yang tersedia dianalisis lebih lanjut
kesesuaiannya untuk pengembangan kegiatan atau komoditas tertentu yang dapat
berkontribusi untuk pengembangan wilayah dan penyesuaian penggunaan tanah
dengan tata ruang
Berdasarkan data dan informasi dalam Neraca Penatagunaan
tanah sebagaimana di atas, apabila digunakan sebagai dasar dalam penyusunan
RDTR maupun Peraturan Zonasi maka kualitas RDTR – PZ akan semakin baik. Bahkan
operasionalisasi pemanfaatan ruang yang berpedoman pada RDTR-PZ sudah
mempertimbangkan aspek penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
sebagiaman terdapat dalam Neraca Penatagunaan Tanah.
B.
RDTR dan Peraturan Zonasi
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi
(PZ) dalam konteks penyelenggaraan penataan ruang pada dasarnya berada pada
level yang berbeda. RDTR merupakan instrumen pada level perencanaan tata ruang,
sedangkan PZ berada pada level pengendalian pemanfaatan ruang.
Berdasarkan Peraturan Menteri PU Nomor 20/PRT/M/2011
tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, disebutkan
bahwa RDTR disusun untuk bagian dari wilayah kabupaten/kota yang merupakan
kawasan perkotan dan/atau kawasan strategis kabupaten atau kawasan strategis
kota. RDTR tersebut dilengkapi dengan Peraturan Zonasi. Dalam hal ini, secara
jelas bahwa RDTR memuat juga PZ. Maka secara teknis penyusunan RDTR sekaligus
juga dilakukan penyusunan PZ.
Terintegrasinya RDTR dan PZ dimaksudkan agar perencanaan
dan pengendalian pemanfaatan ruang dapat lebih proporsional, mengingat selama
ini belum berimbangnya agenda perencanaan tata ruang dan agenda pengendalian
pemanfaatan ruang. Padahal pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Persoalan terbesar dalam penataan ruang adalah
pengendalian pemanfaatan ruang. Sebaik apapun rencana tata ruang dan program
pemanfaatan ruang yang disusun, tanpa disertai dengan pengendalian pemanfaatan
ruang yang tegas, konsisten dan berkelanjutan, maka tujuan penataan ruang tidak
akan terwujud dengan efektif. Penyimpangan pemanfaatan ruang sebagian besar
adalah karena lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu, pedoman
pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang amat penting dalam
penataan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan
perijinan, pengawasan, dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang kota.
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
bentuk-bentuk pengendalian penyelenggaraan penataan ruang pada dasarnya
meliputi empat jenis, yaitu peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi.
1. Peraturan Zonasi, merupakan ketentuan yang
mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya
dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam
rencana rinci tata ruang
2. Perizinan, merupakan upaya untuk
memperbolehkan atau tidak memperbolehkan suatu kegiatan berlangsung pada suatu
wilayah sesuai dengan tata ruang, dengan mengeluarkan penerbitan surat izin.
3. Pemberian Insentif dan Disinsentif, merupakan
upaya untuk mengarahkan pembangunan dengan memberikan dorongan terhadap
kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan memberikan upaya menghambat
terhadap kegiatan yang bertentangan dengan rencana tata ruang.
4. Pengenaan Sanksi, merupakan upaya untuk
memberikan tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
C.
Operasionalisasi Neraca Penatagunaan Tanah dalam
Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi
Sebelum dipaparkan gagasan operasionalisasi Neraca
Penatagunaan Tanah dalam penyusunan
RDTR dan PZ, perlu dilihat dulu fungsi dan manfaata RDTR dan PZ. RDTR dan
peraturan zonasi berfungsi sebagai: (a) kendali mutu pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten/kota berdasarkan RTRW; (b) acuan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang
lebih rinci dari kegiatan pemanfaatan ruang yang diatur dalam RTRW; (c) acuan
bagi kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang; (d) acuan bagi penerbitan izin
pemanfaatan ruang; dan (e) acuan dalam penyusunan RTBL.
Adapun manfaat
RDTR dan peraturan zonasi adalah: (a)
penentu lokasi berbagai kegiatan yang mempunyai kesamaan fungsi dan lingkungan
permukiman dengan karakteristik tertentu; (b) alat operasionalisasi dalam
sistem pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan fisik kabupaten/kota
yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan/atau
masyarakat; (c) ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk setiap bagian
wilayah sesuai dengan fungsinya di dalam struktur ruang kabupaten/kota secara
keseluruhan; dan (d) ketentuan bagi penetapan kawasan yang diprioritaskan untuk
disusun program pengembangan kawasan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya pada
tingkat BWP atau Sub BWP.
Mengingat fungsi
dan manfaat di atas, maka pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah menjadi sesuatu
yang urgent dalam penyusunan RDTR dan PZ.
Salah satu data
yang digunakan dalam penyusunan RDTR dan PZ adalah data penguasaan, penggunaan
dan pemanfaatan lahan serta data peruntukan lahan. Dalam praktiknya data ini
tidak mudah didapatkan. Untuk memnuhi kebutuhan data tersebut, Neraca
Penatagunaan Tanah-lah jawabannya. Neraca Penatagunaan Tanah yang berisi data
dan informasi berkenaan dengan perubahan penggunaan tanah, kesesuaiannya dengan
rencana tata ruang wilayah serta informasi ketersediaan tanah berdasarkan
penguasaan dan penggunaannya, mampu memenuhi kebutuhan dan keterbatasan data
dalam penyusunan RDTR dan PZ.
Pada tahapan
pengolahan dan analisis data, analisis kebutuhan ruang dan analisis perubahan
pemanfaatan ruang dapat menggunakan neraca perubahan dan neraca ketersediaan
tanah.
Berdasarkan Tata
Cara Kerja Neraca Penatagunaan Tanah (BPN, 2013), skala yang dipersyaratkan
masih terlalu kecil, yakni: (1) 1 : 25.000 untuk kabupaten di Pulau Jawa, Bali,
danNusa Tenggara; (2) 1: 50.000 untuk kabupaten di Pulau Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi,dan Maluku; (3) 1 : 100.000 untuk kabupaten di Pulau Papua; dan (4) 1
: 10.000 untuk kota. Padahal skala peta yang dipersyaratkan untuk penyusunan
RDTR & PZ dengan tingkat ketelitian minimal 1:5000, atau mengikuti
ketentuan mengenai system infromasi geografis yang dikeluarkan oleh
kementarian/lembaga yang berwenang.
Berkenaan dengan
hal di atas, penyusunan Neraca Penatagunaan Tanah perlu menyesuaikan dengan kebutuhan
tersebut, yakni meningkatkan ketelitian peta menjadi 1:5000 dan menurunkan
level wilayah kabupaten/kota dan kecamatan menjadi level desa. Bahkan apabila
dimungkinkan Neraca Penatagunaan Tanah yang disusun berbasiskan bidang-bidang
tanah, baik melalui kegiatan pendaftaran tanah maupun kegiatan Inventarisasi
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T).
Kesimpulan dan Saran
Penyusunan RDTR dan PZ
membutuhkan data-data pertanahan yang akurat dan valid. Data dan Informasi
dalam Neraca Penatagunaan Tanah merupakan data pertanahan yang dapat digunakan
sebagai basis dalam penyusunan RDTR dan PZ.
Tingkat ketelitian data pada
Neraca Penatagunaan Tanah perlu didetailkan menjadi skala 1:5000 dengan
yurisdiksi desa, agar sinkron dengan kebutuhan input data dalam penyusunan RDTR
dan PZ.
Apabila hal di atas dapat dilakukan maka kendali mutu
pemanfaatan ruang, perijinan pemanfaatan ruang, kebijakan penyusunan RTBL dan
pengendalian pemanfaatan ruang akan sangat efektif, karena sudah mendasarkan pada
data dan informasi berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah.
Daftar Pustaka
Badan Pertanahan Nasional, 2013. Tata Cara Kerja
Penyusunan Neraca Penatagunaan Tanah. BPN. Jakarta.
Muta’ali, L. 2013.
Penataan Ruang Wilayah dan Kota (Tinjauan Normatif – Teknis). Badan Penerbit
Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Sutaryono, 2007.
Dinamika Penataan Ruang dan Peluang Otonomi Daerah. TuguJogja Grafika.
Yogyakarta.
-------------, 2016, “Quovadis Integrasi Agraria dan Tata
Ruang”, SKH Kompas, 29 Agustus
2016.
Renyansih &
Budisantoso, (tt). ‘Kelembagaan Tata Ruang di Lingkungan Departemen Pekerjaan
Umum sampai Departemen Kimpraswil’ dalam Sejarah Panataan Ruang Indonesia.
Ditjend Penataan Ruang, Kementerian PU. Jakarta.
Williamson, I. et
all, 2010. Land Administration for
Sustainable Development. Esri Press Academic. Redlands,
California.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar