PRONA Jaman ‘Now’[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
Proyek Operasi
Nasional Agraria atau yang lebih dikenal dengan Prona dimaknai sebagai
pensertipikatan tanah yang sederhana,
mudah, cepat, dan murah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah.
Setiap ada program percepatan pendaftaran tanah, maka masyarakat menganggapnya
sebagai prona, meskipun sejatinya tidak demikian. Istilah Prona sendiri muncul
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 189 Tahun 1981 Tentang Proyek Operasi Nasional Agraria. Prona diorientasikan untuk: (a) memproses
pensertipikatan tanah secara masal yang pelaksanaannya dilakukan secara terpadu
dan ditujukan bagi segenap lapisan masyarakat terutama bagi golongan ekonomi
lemah; (b) menyelesaikan secara tuntas terhadap sengketa-sengketa tanah yang
bersifat strategis; (c) lokasi proyek ditetapkan secara berkelompok; (d) dilaksanakan
dengan melibatkan gubernur, bupati/walikota, camat, Kepala Desa dan
mengikutsertakan tokoh-tokoh Masyarakat/Agama setempat; dan (e) dibiayai negara.
Lebih dari 35
tahun, prona belum mampu menyelesaikan pendaftaran tanah di Indonesia. Pada
tahun 2016 baru tercatat 46 juta bidang tanah yang bersertifikat, dari sekitar
110 juta bidang tanah. Apabila tidak ada percepatan, dibutuhkan waktu 100 tahun agar semua bidang tanah
bersertifikat. Menyadari hal itu, pemerintah berkomitmen melakukan percepatan
sertifikasi tanah dengan menerbitkan
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
28 Tahun 2016 Tentang Percepatan Program Nasional Agraria Melalui Pendaftaran Tanah
Sistematis, yang telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan Peraturan
Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap (PTSL). Mengingat begitu pentingnya pendaftaran tanah ini,
Presiden memperkuat melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan PTSL,
yang baru saja ditandatangani pada tanggal 13 Februari 2018. PTSL inilah yang
dimaksud dengan prona jaman ‘now’.
PTSL adalah
kegiatan pendaftaran tanah pertama kali yang dilakukan secara serentak,
meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam satu wilayah
desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu. Sedikit berbeda
dengan Prona, PTSL dilakukan terhadap semua bidang tanah di wilayah desa/kelurahan.
Prona dikhususkan pada bidang-bidang tanah milik masyarakat berpenghasilan
rendah, PTSL diorientasikan untuk seluruh bidang tanah, baik yang sudah
terdaftar ataupun belum. Berkenaan
dengan hasil, produk Prona adalah sertipikat, sedang produk PTSL terdiri dari 3
kluster, yakni: (a) Kluster 1, yakni
bidang tanah yang memenuhi syarat untuk diterbitkan sertipikat: (b) Kluster 2,
yakni bidang tanah yang hanya dicatat dalam buku tanah karena dalam keadaan
sengketa atau berperkara; (c) Kluster 3, yakni bidang tanah yang hanya
didaftarkan dalam daftar tanah, karena subyek atau obyeknya tidak memenuhi
syarat untuk diberikan hak.
Melalui PTSL,
pada tahun 2017 berhasil diukur dan dipetakan lebih dari 5,2 juta bidang tanah
dan diterbitkan lebih dari 4,2 juta sertipikat. Padahal selama ini BPN hanya
mampu menerbitkan sertipikat tanah antara 500 ribu – 800 ribu bidang pertahun. PTSL
memberikan lompatan kinerja pensertipikatan tanah. Oleh karena itu pada tahun
2018 dan 2019, Presiden mentargetkan 7 juta 9 juta bidang tanah tersertipikat .
Disamping untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum prona jaman ‘now’ ini juga memberikan berbagai perspektif positif seperti: (a)
meminimalkan jumlah sengketa/perkara; (b) memetakan seluruh bidang tanah baik terdaftar maupun
belum; (c) membangun peta kadaster dalam satu hamparan untuk mendukung
kebijakan one map policy; (d) mengatasi
permasalahan batas administrasi desa/kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten; (e)
mendukung program strategis nasional seperti pengadaan tanah untuk kepentingan
umum maupun tata ruang wilayah; (f) memfasilitasi penerimaan pajak yang
lebih efektif seperti PBB, PPh, BPHTB sebagai sumber dana pembangunan.
Secara faktual agenda PTSL adalah agenda besar,
agenda bersama, melibatkan multipihak dan tidak dapat dilakukan sendiri oleh
pemerintah. Oleh karena itu kerja kolaboratif multipihak seperti pemerintah
daerah, pemerintah desa, aparat penegak hukum, kalangan swasta, masyarakat,
media maupun kalangan akademisi perlu dilakukan agar prona jaman ‘now’ ini
dapat berkontribusi dalam penguatan hak dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar