Sertipikat Gratis[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
Pro-Kontra
mewarnai agenda Presiden membagi-bagikan sertipikat tanah kepada masyarakat. Dua
pekan ini kita jumpai perdebatan dan silang pendapat di hampir semua media
antara kebenaran agenda presiden dengan tuduhan pencitraan hingga ‘pembohongan’
kepada masyarakat. Benarkah bagi-bagi sertipikat gratis ini adalah agenda nyata
ataukah hanya sekedar pencitraan belaka? Dalam hal ini sertipikat tanah (bukan
Sertifikat) adalah surat tanda bukti hak untuk hak atas tanah, hak pengelolaan,
tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang
masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Sertipikat gratis
dijanjikan oleh Presiden Jokowi akan dibagikan hingga akhir masa jabatannya.
Tidak tanggung-tanggung, 7 juta sertipikat akan dibagikan kepada masyarakat
pada tahun 2018 dan 9 juta pada tahun 2019. Hal ini direspon oleh lawan-lawan
politiknya sebagai sebuah kebohongan atau ‘ngibul’ saja. Argumen yang dibangun
adalah mustahil menerbitkan sertipikat sebanyak itu, mengingat urusan tanah
adalah urusan yang kompleks, pelik dan melibatkan banyak pihak. Lebih dari itu,
fakta menunjukkan bahwa selama ini proses pensertipikatan tanah oleh BPN cenderung
lama dan berbelit. Data menunjukkan, selama lebih dari 55 tahun (sejak UUPA
terbit tahun 1960) pemerintah hanya mampu menerbitkan sertipikat sejumlah 46
juta bidang. Inilah yang menimbulkan keraguan dan syak wasangka.
Melihat Kembali Nawacita
Janji politik
Jokowi – JK dalam Nawacita, yang kemudian dijabarkan dalam RPJMN Tahun 2015-2019
menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui
penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha yang
selanjutkan akan diredistribusikan. Sejumlah 4,5 juta ha berasal dari
legalisasi asset dan 4,5 juta ha yang lain merupakan objek redistribusi tanah
(tanah terlantar, HGU yang habis masa berlakunya dan dari pelepasan kawasan
hutan). Legalisasi aset adalah pendaftaran tanah yang ujungnya adalah
sertipikat. Inilah pangkal persoalannya. Janji utamanya adalah reforma agraria
dengan agenda utama redistribusi tanah, tetapi yang dilakukan adalah
sertipikasi tanah. Argumen yang dibangun pemerintah adalah bahwa percepatan
pendaftaran tanah (baca: Prona Zaman Now,
Analisis KR 7-3-2018), adalah track
menuju atau bagian dari reforma agraria. Problem utama agenda reforma agraria
saat ini adalah terbatasnya data-data riil berkenaan dengan objek redistribusi
tanah yang akan dibagikan. Objek-objek redistribusi tanah hanya dapat
teridentifikasi secara baik dan valid apabila data seluruh bidang tanah telah diketahui.
Disisi lain,
sertipikasi tanah adalah kewajiban pemerintah yang harus dilakukan dalam rangka
penguatan hak atas tanah. Pada masa sebelumnya, pemerintah hanya mampu
menerbitkan sertipikat 500 ribu – 800 ribu pertahun. Pemerintahan Jokowi – JK
mampu mempercepatnya menjadi 4,2 juta sertipikat pada tahun 2017 dari target 5
juta bidang. Pada tahun 2018 ini, ditargetkan selesai sejumlah 7 juta bidang.
Keberhasilan pemerintah (dalam hal ini BPN) dalam meningkatkan kinerjanya,
diapresiasi sekaligus dimanfaatkan oleh Presiden melalui agenda ‘bagi-bagi
sertipikat gratis’.
Apakah benar-benar Gratis?
Jawabannya tentu
tidak. Pemerintah hanya menanggung biaya sertipikasi yang ada pada BPN dan
teralokasi melalui APBN. Sementara itu, masyarakat harus menanggung biaya-
biaya: (a) penyiapan dokumen; (b) pengadaan dan pemasangan patok batas; (c)
kegiatan operasional petugas kelurahan/desa; dan (d) biaya pembuatan akte,
Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pajak penghasilan.
Dalam rangka
mendukung pensertipikatan tersebut sekaligus menghindari terjadinya
praktik-praktik pungli, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri
ATR/Kepala BPN, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah
Sistematis yang besarannya disesuaikan dengan kondisi wilayah. Untuk wilayah
Jawa dan Bali ditetapkan sebesar Rp. 150 ribu.
Jadi
pada prinsipnya agenda percepatan pensertipikatan tanah yang sedang berproses
ini adalah agenda bersama seluruh masyarakat Indonesia. Pemerintah menyediakan
anggaran sesuai kegiatan yang dilaksanakan, masyarakat membiayai kegiatan yang
merupakan tanggungjawabnya sebagai pemilik tanah dan pemerintah daerah dan/atau
pemerintah desa dapat menyediakan anggaran pendamping untuk fasilitasi
persiapan pendaftaran tanah dan sosialisasi kepada masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar