KEBANGKITAN
AGRARIA[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
KEBANGKITAN
AGRARIA[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
Baru saat ini Presiden dan pemerintah yang berkuasa memimpin dan
mengkampanyekan hak-hak rakyat atas tanah, selain masa pemerintahan Soekarno.
Meskipun belum dikatakan ideal, tetapi upaya-upaya yang dilakukan menunjukkan
adanya kesadaran dan perhatian besar terhadap kondisi agraria dan pertanahan
serta menjalankan agenda strategis untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang
melingkupinya. Ketimpangan dan ketidakadilan agraria, direspon dengan agenda
Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Ketidakpastian hak atas tanah ditindaklanjuti
melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL – Prona Jaman ‘Now’, Analisis KR, 7-3-2018). Terhambatnya
pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum karena ‘susah’-nya mendapatkan
tanah, direspon dengan percepatan pengadaan tanah untuk pembangunan
infrastruktur. Ketiga agenda strategis pemerintah inilah yang dimaknai sebagai
Kebangkitan Agraria.
Agenda Nyata
Nawacita yang dicita-citakan oleh Jokowi–JK, memuat agenda yang bertautan sangat
kuat dengan persoalan agraria adalah: (1) memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2)
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar;
serta (3) mewujudkan kedaulatan pangan
melalui perbaikan jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah. Cita-cita
tersebut tersebut, paling tidak telah dijalankan oleh pemerintah melalui
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kepastian hukum
dan penguatan hak atas tanah, telah dilakukan dengan percepatan pendaftaran
tanah. Pada tahun 2017 telah dihasilkan 4,2 juta sertipikat, sementara pada
tahun-tahun sebelumnya pemerintah hanya mampu membuat sertipikat tanah 500 –
800 ribu per tahun. Tahun 2018, ditargetkan selesai 7 juta sertipikat. Tanpa komitmen yang kuat dari presiden serta dukungan
dari pemerintah daerah, pemerintah desa, dan seluruh masyarakat pemilik tanah,
agenda besar tersebut tidak akan terwujud.
Kepastian hukum dan penguatan hak atas tanah pada
kawasan hutan telah dilakukan melalui pengembalian hutan adat kepada masyarakat
adat serta pelepasan kawasan hutan melalui skema: (a)
perubahan batas kawasan hutan; (b) tukar-menukar kawasan hutan; (c) pemberian
akses pengelolaan kawasan hutan dengan perhutanan sosial; dan (d)
resettlemet. Target yang
tertuang dalam RPJMN 2014-2019, seluas 4,1 juta hektar kawasan hutan akan
dilepaskan dan 12,7 juta hektar kawasan hutan akan diberikan akses pengelolaan
kepada masyarakat melalui hutan
kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman
rakyat, hutan adat dan hutan rakyat serta kemitraan hutan
kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman
rakyat, hutan adat dan hutan rakyat serta kemitraan.
Kebijakan yang digunakan untuk menjalankan agenda ini
adalah Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian
Penguasaan Tanah Pada Kawasan Hutan (PPTKH), yang
operasionalnya sudah ditindaklanjuti dengan Permenko Bidang Perekonomian Nomor
3 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi
Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Capaian pemberian akses kawasan hutan
kepada masyarakat per Februari 2018 seluas 1,46 juta hektar untuk sekitar
293.367 Kepala Keluarga (KLHK, 2018).
Berkenaan dengan pengadaan tanah, kendala terbesar
dalam menjalankan proyek strategis nasional ada pada proses pembebasan tanah.
Untuk itu agenda percepatan pengadaan tanah untuk proyek strategis tersebut
terus dilakukan. Adapun capaian proyek strategis nasional hingga akhir 2017
adalah 35 proyek sudah operasional, 145 proyek tahap konstruksi, 9 proyek tahap
transaksi dan 85 proyek tahap persiapan (Kementerian ATR/BPN, 2018). Adapun
kinerja pemerintah yang perlu didorong lebih kuat lagi agar penguatan hak
masyarakat atas tanah dan pengurangan ketimpangan penguasaan dan pemilikan
tanah adalah agenda reforma agraria. Dari target 4,5 juta
hektar redistribusi tanah (RPJMN 2015-2019), hingga saat ini baru terealisasi
seluas 231.349 hektar (5,14%) yang terbagi menjadi 177.423 bidang tanah (Kementerian ATR/BPN, 2018).
Apabila momentum
kebangkitan nasional ini, secara sadar dijadikan sebagai sebuah refleksi dan
titik masuk bagi seluruh pemangku kepentingan di bidang agraria-pertanahan,
maka terwujudnya cita-cita penguatan hak atas tanah dan pengurangan ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah adalah sebuah keniscayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar