Mengatasi Ketimpangan dengan
Kesalehan[1]
Oleh:
Dr.
Sutaryono[2]
“Ketimpangan” merupakan fakta nyata yang ada
di negeri kita, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara nasional, data Bank
Dunia (2015) menunjukkan bahwa ketimpangan di Indonesia yang dinyatakan dengan
Indeks GINI mencapai 0,39. Lebih parah lagi, ketimpangan tersebut juga terjadi
pada penguasaan tanah yang Indeks GINI-nya mencapai 0,64. Dalam konteks DIY,
tidak jauh berbeda. Dengan predikat
angka ketimpangan tertinggi secara nasional (Indeks GINI 0,44), angka
kemiskinan juga di atas rata-rata nasional (12,36%). Tidak berbeda dengan
kondisi nasional, penulis berkeyakinan bahwa ketimpangan penguasaan tanah juga
terjadi di DIY. Dan predikat Keistimewaan DIY belum secara nyata berkontribusi
dalam mengurangi angka kemiskinan dan mengatasi ketimpangan.
Berbagai referensi
menunjukkan bahwa untuk mengatasi ketimpangan, sekaligus mengurangi angka
kemiskinan, bahkan hingga menyelesaikan konflik, agenda reforma agraria adalah
strateginya. Namun demikian, untuk melahirkan kebijakan dan menjalankan agenda
reforma agraria bukanlah persoalan sederhana. Dalam konteks ini, agenda reforma
agraria akan dapat diimplementasikan sebagai agenda mengatasi ketimpangan
apabila dilandasi dengan kesalehan. Momentum ramadhan ini dapat digunakan untuk
mendorong kesalehan para pemangku kepentingan untuk melahirkan kebijakan
reforma agraria sekaligus mulai mengimplementasikannya.
Landasan utama kesalehan dalam reforma
agraria, telah secara eksplisit termaktub dalam Al Quran ‘Harta rampasan yang
diberikan Allah kepada Rasul-nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri
adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…..’ (QS. Al Hasyr,
59:7). Dalil tersebut menunjukkan bahwa kelebihan harta (termasuk penguasaan
tanah) tidak diperbolehkan dan harus diredistribusikan kepada masyarakat miskin.
Dalam hal ini pembatasan penguasaan tanah perlu mendapatkan perhatian.
Upaya mendorong pemerintah untuk segera
menjalankan agenda reforma agraria berlandaskan kesalehan sudah dimulai oleh
Nahdlatul Ulama. Munas Alim Ulama
Dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama
di Nusa Tenggara Barat 23-25 November
2017 lalu telah merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengawal agenda
reforma agraria, tidak terbatas pada program sertifikasi tanah, tetapi
redistribusi tanah untuk rakyat dan lahan untuk petani. NU menilai, agenda reforma
agraria selama ini tidak berjalan baik karena Pemerintah tidak punya komitmen
kuat menjadikan tanah sebagai hak dasar warga negara. Beberapa hal yang harus
segera dilakukan pemerintah dalam agenda reforma agraria adalah: (a) pembatasan
penguasaan tanah/hutan; (b) pembatasan kepemilikan tanah/hutan; (c) pembatasan masa
pengelolaan tanah/lahan; (d) redistribusi tanah/hutan dan lahan terlantar; (e)
pemanfaatan tanah/hutan dan lahan terlantar untuk kemakmuran rakyat; (f) penetapan
TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) harus bersifat partisipatoris, melibatkan
peran serta masyarakat, dan tidak bersifat top down; (g) data TORA harus
akurat; (h) perlu dibentuk Badan Otorita ad hoc yang bertugas mengurus
restrukturisasi agrarian; (i) perlu dukungan instansi militer dan organisasi
masyarakat sipil.
Dalam konteks
mengatasi ketimpangan di DIY, nilai-nilai kesalehan sudah terinternalisasi pada
upaya ‘Lima Kemuliaan’ atau ‘Pancamulia’, yang menjadi cita-cita ke depan,
yakni: (1) terwujudnya peningkatan kualitas hidup-kehidupan-penghidupan
masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban; (2) terwujudnya peningkatan
kualitas dan keragaman kegiatan perekonomi masyarakat, serta penguatan ekonomi
yang berbasis pada sumberdaya lokal (keunikan teritori ekonomi) untuk
pertumbuhan pendapatan masyarakat yang berkeadilan; (3) terwujudnya peningkatan
harmoni kehidupan bersama baik pada lingkup masyarakat maupun pada lingkup
birokrasi atas dasar toleransi, tenggang rasa, kesantunan, dan kebersamaan; (4)
terwujudnya tata dan perilaku penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis; dan
(5) terwujudnya perilaku bermartabat dari para aparatur sipil penyelenggara
pemerintahan atas dasar tegaknya nilai-nilai integritas yang menjunjung tinggi
kejujuran dan nurani.
Tampak jelas
bahwa agenda reforma agraria yang merupakan jurus jitu untuk mengatasi
ketimpangan harus dilakukan melalui semangat, jiwa dan ruh kesalehan. Tanpa
itu, agenda yang dicita-citakan tersebut tidak akan mungkin diwujudkan.
Mengingat kesalehan adalah ketaatan beribadah yang tercermin dalam berpikir, bersikap, berbuat penuh dengan
ketulusan, pengertian, dan pengorbanan untuk umat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar