Memahami Urgensi
Bank Tanah[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
Pada
penghujung tahun 2021 secara resmi pemerintah memiliki Bank Tanah. Kelahiran
bank tanah ini ditandai dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Bank
Tanah. Terlepas dari
polemik pasca Putusan MK terkait dengan UU Cipta Kerja, naskah ini mencoba
mengelaborasi urgensi pembentukan bank tanah.
Pada dasarnya
gagasan perlunya pembentukan Bank Tanah sudah ada hampir satu dekade yang lalu,
yakni melalui dokumen White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan
Nasional (Bappenas, 2013). Perlunya pembentukan bank tanah dikarenakan intensitas kebutuhan tanah untuk pembangunan yang semakin meningkat, terbatasnya
ketersediaan tanah, harga tanah yang selalu meningkat, serta kurang optimalnya penggunaan
dan pemanfaatan tanah, utamanya bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Disisi lain badan usaha swasta sudah
mempraktikkan ‘bank tanah’ dalam bentuk penguasaan tanah dengan skala luas
sebagai pencadangan tanah, yang dapat dimaknai sebagai praktik spekulasi yang di
dalamnya ada unsur penelantaran tanah.
Seperti kita ketahui bersama bahwa berbagai
pembangunan untuk kepentingan umum, utamanya pembangunan infrastruktur seringkali
terhambat pada proses pengadaan tanahnya. Terhambatnya proses pengadaan tanah
tersebut disebabkan oleh: (a) lokasi tidak sesuai dengan RTRW; (b) tidak semua masyarakat terdampak Setuju; (c) Hak Atas Tanah tidak
jelas (Objek & Subjeknya); (d) ketidaksepakatan
dalam Ganti Rugi; (e) kurang terbukanya
informasi; (f) munculnya Spekulan; (g) proses penetapan lokasi
yang tidak clear & clean; (h) keterbatasan pembiayaan. Berbagai persoalan
tersebut menjadikan ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjadi
terganggu. Bahkan untuk pembangunan infrastruktur yang bersifat strategispun
menjadi terhambat.
Berdasarkan hal-hal di atas maka keberadaan bank tanah menjadi sebuah
kebutuhan yang perlu diprioritaskan. Keberadaan Bank Tanah diperlukan sebagai
organ pemerintah yang mampu menyediakan kebutuhan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum sekaligus menjadi instrumen utama dalam mencegah terjadinya
spekulasi harga tanah. Dalam hal ini bank tanah tidak diperbolehkan mengambil
keuntungan dari selisih harga penjualan tanah yang dimilikinya. Selisih harga
hanya digunakan sepenuhnya untuk membiayai kebutuhan operasional Bank Tanah.
Sehingga penyediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersedia,
tanpa menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Indonesia.
Berdasarkan PP 64/2021 disebutkan bahwa Badan Bank Tanah yang selanjutnya disebut Bank Tanah adalah
badan khusus yang merupakan
badan hukum Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah pusat
yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah. Kewenangan khusus bank
tanah adalah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan,
untuk: (a) kepentingan umum; (b) kepentingan sosial; (c) kepentingan pembangunan
nasional; (d) pemerataan ekonomi; (e) konsolidasi lahan; dan (f) reforma
agraria.
Secara normatif Bank Tanah diberikan tugas untuk: (a)
melakukan perencanaan kegiatan; (b) melakukan perolehan tanah; (c) melakukan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum atau pengadaan tanah secara
langsung; (d) melakukan pengelolaan tanah dari kegiatan pengembangan,
pemeliharaan, dan pengendalian tanah; (e) melakukan pemanfaatan tanah melalui
kerja sama pemanfaatan dengan pihak lain; dan (f) melakukan pendistribusian
tanah.
Objek tanah yang dapat dikuasai oleh bank tanah adalh
tanah hasil penetapan pemerintah yang berasal dari tanah negara, seperti: (a)
tanah bekas hak; (b) kawasan dan tanah telantar; (c) tanah pelepasan kawasan
hutan; (d) tanah timbul; (e) tanah hasil reklamasi; (f) tanah bekas tambang; (g)
tanah pulau-pulau kecil; (h) tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang;
dan (i) tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya. Disamping itu juga dapat
berasal dari tanah-tanah pemerintah, badan hukum, badan usaha ataupun dari
tanah masyarakat. Tanah-tanah tersebut dikuasai oleh bank tanah melalui
berbagai cara perolehan seperti pembelian, penerimaan hibah/sumbangan, tukar
menukar, pelepasan hak maupun melalui perolehan bentuk lain yang sah.
Pada akhirnya, apabila bank tanah ini dapat beroperasi
secara baik maka jaminan ketersediaan tanah untuk berbagai pembangunan untuk kepentingan
umum, kepentingan sosial, maupun untuk kepentingan pemerataan ekonomi ataupun
terkait dengan agenda reforma dapat diwujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar