Ganti Kerugian Pengadaan Tanah[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
Pekan
lalu, diakhir Bulan Januari 2022 telah dilakukan pemberian Ganti Kerugian
Pengadaan Tanah untuk Jalan Tol Jogja – Bawen. Pada pekan itu pula beredar di
berbagai media, berita tentang demontrasi Warga sekitar Kilang Minyak Tuban
yang tengah memperjuangkan untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal setahun
sebelumnya warga kampung tersebut diberitakan menjadi miliarder karena
mendapatkan ganti kerugian pada pengadaan tanah yang digunakan untuk proyek grass
root refinery (GRR) pada Kilang Minyak Pertamina di Tuban.
Agar
kasus Warga Tuban tidak terjadi pada Warga Sleman yang mendapatkan ganti
kerugian pengadaan tanah untuk jalan Tol, Pemerintah melalui Menteri ATR/Kepala BPN melakukan kunjungan
secara langsung dalam proses penyerahan ganti kerugian. Dalam kesempatan
tersebut Menteri ATR/Kepala BPN ingin memastikan bahwa penyerahan ganti
kerugian dan pelapasan hak atas tanahnya berjalan sesuai prosedur sekaligus
memberikan himbauan agar uang ganti kerugian dapat dimanfaatkan dengan baik
oleh masyarakat penerima (KR, 31-01-2022).
Ganti Rugi atau Ganti Untung?
Beredar pemahaman pada masyarakat bahwa ganti kerugian yang nilainya besar disebut sebagai ganti untung. Bahkan saat pemberian ganti kerugian tanah untuk bandara di Kulon Progo, muncul istilah ‘ganti untung tanah bandara’ (Opini KR, 10-02-2014). Pada dasarnya secara normatif, terminologi ganti rugi atau ganti untung tidak ada, yang ada adalah ganti kerugian. Berdasarkan UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Besaran ganti kerugian dinilai oleh Penilai yang dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi: (a) tanah; (b) ruang atas tanah dan bawah tanah; (c) bangunan; (d) tanaman; (e) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau (f) kerugian lain yang dapat dinilai.
Persyaratan
pemberian ganti kerugian adalah layak dan adil. Layak dan adil dapat dimaknai
bahwa pemberian ganti kerugian di atas standar minimal, bahkan apabila
memungkinkan masyarakat yang terkena dampak justru merasa mendapatkan ‘ganti
untung’ bukan ganti rugi. ‘Ganti Untung’ ini sangat mungkin diperoleh oleh masyarakat
terkena dampak, apabila tanah yang dibebaskan memberikan implikasi pada tetap
terjaminnya: (a) rumah tinggal untuk hunian; (b) sumber penghidupan secara
berkelanjutan; serta (c) relasi sosial kemasyarakatan.
Penilaian
ganti kerugian sebagaimana dimaksudkan dalam UU 2/2012 adalah Nilai Penggantian
Wajar (NPW - fair replacement value), sebagaimana diatur melalui Standar
Penilaian Indonesia. Pola pengukuran NPW meliputi nilai kerugian fisik yang
setara dengan nilai pasar, nilai kerugian non fisik dan beban masa tunggu. Nilai
kerugian fisik secara umum meliputi nilai tanah, bangunan dan tanaman. Tetapi
berdasarkan UU 2/2012 terdiri dari tanah,
ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman dan benda yang berkaitan
dengan tanah.
Nilai kerugian non fisik yang dinilai
meliputi: (a) kehilangan pekerjaan/bisnis/alih profesi; (b) kerugian emosional (solatium), yang merupakan
kerugian tidak berwujud yang dikaitkan dengan pengambilalihan tanah yang digunakan
sebagai tempat tinggal dari pemilik; (c)
biaya transaksi yang meliputi biaya pindah, perijinan dan perpajakan; (d) kerugian sisa
tanah, yakni turunnya nilai tanah akibat pengambilan sebagian bidang tanah; (e) kerusakan fisik lain, misalnya bagian bangunan
yang terpotong akibat pengadaan tanah sehingga membutuhkan biaya perbaikan agar
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Nilai beban masa tunggu atau
kompensasi masa tunggu, yakni sejumlah dana yang diperhitungkan sebagai pengganti adanya
perbedaan waktu antara tanggal penilaian dengan perkiraan tanggal pembayaran ganti
kerugian. Dalam hal ini, nilai kompensasi dihitung berdasarkan suku bunga
deposito bank pemerintah untuk masa tunggu kurang atau lebih dari 6 (enam)
bulan.
Nilai
kerugian non fisik dan nilai kompensasi masa tunggu inilah yang menjadikan
nilai ganti kerugian menjadi jauh lebih tinggi dari harga fisik tanah. Inilah
yang dirasakan sebagai ‘ganti untung’. Semoga ‘ganti untung’ yang diberikan
kepada masyarakat dapat benar-benar memberikan jaminan kesejahteraan bagi
masyarakat terdampak pengadaan tanah.
[2] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar