Kepentingan Umum[1]
Dr. Sutaryono[2]
Tulisan ini mengelaborasi tanah untuk kepentingan umum dan hal-hal terkait.
Secara normatif, berdasarkan UU 2/2012 kepentingan umum dimaknai sebagai
kepentingan bangsa, negara dan masyarakat, yang harus diwujudkan oleh
pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Makna ini
menunjukkan bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan tanah untuk kepentingan
bangsa, negara dan masyarakat melalui proses pengadaan tanah. Berdasarkan UU
2/2012, yang dimaksudkan dengan tanah untuk kepentingan umum adalah tanah yang digunakan untuk
pembangunan: (1) pertahanan dan keamanan nasional; (2) jalan umum, tol, terowongan, jalur dan stasiun
keretaapi, fasilitas operasi keretaapi; (3) waduk,
bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, pembuangan air dan sanitasi,
dan bangunan pengairan lainnya; (4) pelabuhan, bandara, dan terminal; (5) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; (6) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; (7) jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; (8) tempat pembuangan dan pengolahan sampah; (9) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; (10) fasilitas keselamatan umum; (11) Tempat Pemakaman
Umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; (12) fasos, fasum, dan RTH publik; (13) cagar alam dan cagar budaya; (14) kantor Pemerintah/Pemda/desa; (15) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau
konsolidasi tanah, serta perumahan untuk MBR dengan
status sewa; (19) prasarana pendidikan atau sekolah
Pemerintah/Pemda; (2) prasarana olahraga Pemerintah/Pemda; dan (2) pasar umum dan lapangan parkir umum.
Terlepas dari polemik Putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta
Kerja, tanah kepentingan umum dalam UU 2/2012 diperluas atau ditambah dengan:
(1) kawasan industri hulu dan hilir minyak dan gas; (2) kawasan ekonomi khusus; (3) kawasan industri; (4) kawasan pariwisata; (5) kawasan ketahanan pangan; dan (6) kawasan
pengembangan teknologi.
Beragam pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana diatas mensyaratkan adanya tanah yang harus dibebaskan, termasuk tanah yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh masyarakat. Dalam regulasi tersebut juga disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, setiap orang wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Namun demikian, bukan berarti pemerintah dapat mengambil tanah masyarakat dengan bebas, tetapi pemerintah juga wajib taat asas dalam pelaksanaannya.
Sangat jelas bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib dilakukan
dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil serta harus memenuhi
berbagai azas yang telah ditetapkan, yakni asas: (1) kemanusiaan,
dimaksudkan agar prosesnya memberikan
pelindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat
setiap warga: (2) keadilan, yakni memberikan jaminan penggantian yang layak
kepada Pihak yang Berhak agar dapat melangsungkan kehidupannya dengan baik; (3)
kemanfaatan, dimana mampu memberikan manfaat secara luas; (4) kepastian tersedianya tanah untuk pembangunan dan
memberikan jaminan Ganti Kerugian yang layak; (5) keterbukaan, dengan
memberikan akses masyarakat untuk mendapatkan informasi; (6) kesepakatan,
mensyaratkan bahwa proses Pengadaan Tanah dilakukan dengan musyawarah para
pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan Bersama; (7)
keikutsertaan, yakni dilakukan dengan dukungan dan partisipasi masyarakat sejak
perencanaan sampai kegiatan pembangunan; (8) kesejahteraan, yang diorientasikan
agar dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan masyarakat
secara luas; (9) keberlanjutan, dengan jaminan bahwa kegiatan pembangunan dapat
berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan; dan (10) asas keselarasan
dimana proses Pengadaan Tanah dapat dilakukan secara seimbang dan sejalan
dengan kepentingan masyarakat dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar