Merdeka dari Mafia Tanah[1]
Oleh: Dr. Sutaryono[2]
Momentum Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-77 ini musti dijadikan spirit
bersama untuk membebaskan diri dari mafia tanah. Mengapa? Karena kejahatan
dengan objek tanah hingga saat ini masih sangat meresahkan dan menjadi ancaman
bagi kita. Hal ini ditunjukkan Ketika pada pekan lalu, publik kembali disuguhi terungkapnya
beberapa dugaan mafia tanah. Terungkapnya kasus ini memunculkan spekulasi bahwa
kasus mafia tanah laksana ‘gunung es’ yang perlu mendapatkan perhatian dan
penanganan serius.
Komitmen penanganan dan penanggulangan mafia tanah telah ditunjukkan oleh
pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN) dan jajarannya. Hal ini tentu sejalan dengan perintah Presiden saat melantik Marsekal TNI (Purn) Hadi
Tjahjanto, S.I.P, sebagai Menteri ATR/KBPN menggantikan Sofyan A. Djalil.
Arahan Presiden sangat jelas dan tegas, yakni memberikan 3 (tiga) tugas kepada
Menteri ATR/KBPN yang baru untuk: (1) menyelesaikan pensertifikatan tanah milik rakyat; (2) penanganan sengketa
dan konflik pertanahan, termasuk mafia tanah; serta (3) menangani permasalahan
tanah dan tata ruang di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Dalam beberapa kesempatan Menteri ATR/KBPN menyatakan bahwa “dalam
penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan, termasuk pemberantasan mafia
tanah harus terjalin sinergi antara 4 (empat) pilar, yaitu Kementerian ATR/BPN,
Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum dan Lembaga Peradilan”. Sinergi inilah
yang tampaknya sudah mulai menunjukkan hasilnya, yakni terungkapnya beberapa
kasus yang diduga melibatkan mafia tanah.
Mafia tanah
adalah penjahat yang menggunakan tanah sebagai objek kejahatan, melalui
persekongkolan yang melibatkan berbagai pihak yang terkait dalam pengurusan dan
pelayanan pertanahan. Mengapa tanah menjadi sasaran objek kejahatan bagi para
mafia? Paling tidak terdapat 4 (empat) alasan mengapa tanah menjadi objek
mafia, yakni: (a) tanah merupakan properti yang paling bernilai; (2) tanah
mempunyai sifat scarcity atau langka; (3) tanah mempunyai sifat transferability
atau mudah untuk dipindahtangankan; (4) sistem administrasi pertanahan yang
belum sepenuhnya memberikan jaminan keamanan bagi pemegang hak atas tanah (Opini
KR, 27-12-2021).
Antisipasi Munculnya Mafia
Upaya
penanganan mafia tanah harus dilakukan secara bersama-sama dan melibatkan
berbagai pihak yang berkepentingan. Tidak hanya melibatkan 4 (empat) instansi
sebagaimana disebutkan oleh Pak Menteri, tetapi lebih luas dengan melibatkan
pemerintah desa, warga masyarakat dan pihak lain yang terkait. Strategi yang
perlu dikembangkan adalah top down dan bottom up. Strategi yang dimaksudkan disini lebih
bersifat preventif atau pencegahan, mengingat strategi penanganan yang bersifat
kuratif sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Strategi top down menjadi domain
Kementerian ATR/BPN. Beberapa agenda yang sedang dan perlu diupayakan oleh
Jajaran Kementerian ATR/BPN antara lain adalah: (1) transformasi digital
terhadap data dan informasi pertanahan; (2) digitalisasi layanan pertanahan.
Layanan ini diorientasikan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas
pelayanan, sekaligus mencegah manipulasi data dan informasi; (3) pencanangan
Program Desa Lengkap atau
Kalurahan Lengkap yang berujung pada terwujudnya Kabupaten/Kota Lengkap. Desa/Kalurahan
Lengkap adalah desa/kalurahan yang seluruh bidang-bidang tanah yang berada di
wilayah tersebut sudah memenuhi syarat lengkap dan valid baik secara spasial
maupun yuridis; (4) mengkampanyekan kembali pentingnya mewujudkan Catur Tertib
Pertanahan yang berisikan tertib, hukum, tertib administrasi, tertib penggunaan
serta tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.
Strategi bottom up dimulai dari
masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah dan pemerintah desa/kalurahan,
antara lain: (1) pemegang hak atas
tanah harus memastikan bahwa tanahnya sudah terdaftar dan bersertipikat; (2) pemegang
hak atas harus menjaga dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan sifat hak yang dimilikinya.
Prinsip right, restriction dan responsibility harus terinternalisasi
pada semua pemegang hak atas tanah; (3) Pemerintah desa/kalurahan harus memiliki
dan/atau dapat mengakses data pertanahan secara lengkap, sehingga peluang untuk
penyalahgunaan data dan informasi pertanahan pada level desa dapat
diantisipasi.
Strategi top down dan bottom up ini apabila
dapat dilakukan secara simultan, maka kemerdekaan terhadap ancaman mafia tanah
dapat diwujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar