SINKRONISASI KEISTIMEWAAN TATA RUANG
& PERTANAHAN:[1]
Tantangan Perubahan Di DIY[2]
Oleh:
Sutaryono[3]
Pendahuluan
Kontestasi politik berkenaan dengan Keistimewaan DIY telah berakhir dengan
terbitnya UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. Berakhirnya kontestasi politik menandai babak baru munculnya kontestasi
ruang keistimewaan di DIY. Kontestasi ruang ini ditunjukkan oleh dinamisnya
(baca: tarik ulur) dalam penyusunan dan pembahasan perdais sebagai tindak
lanjut UU Keistimewaan, hingga terbitnya Perdais Nomor 1 Tahun
2013 Tentang
Kewenangan
Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 8
Oktober 2013.
Dalam konteks ini kontestasi ruang dimaknai
sebagai perebutan ruang antar berbagai pihak yang berkepentingan, yang mengiringi dinamika wilayah berdasarkan keanekaragaman kebutuhan. Keanekaragaman kebutuhan menyebabkan terjadinya conflict of interest
antar berbagai pihak, yang teramati dari pilihan kebijakan
yang diambil. Kebijakan Keistimewaan DIY telah memunculkan arena baru dalam
kontestasi ruang. Tidak hanya sekedar kontestasi ruang fisik belaka, tetapi
juga ruang mental dan ruang sosial, yang ujungnya adalah conflict of interest antar pemangku kepentingan terhadap hak-hak
yang melekat sebagai daerah istimewa.
Pertanyaan yang kemudian diajukan adalah bagaimana
kontestasi ruang keistimewaan tidak berkembang menjadi konflik yang
kontraproduktif dengan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta?
Mengingat kelahiran UU Keistimewaan DIY, esensinya adalah semangat perubahan
untuk mewujudkan
pemerintahan yang demokratis serta mewujudkan
kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat.
Kontestasi Ruang, Sebuah Keniscayaan
Kontestasi
tidak terlepas dari perencanaan dan pembangunan wilayah. Dalam hal ini
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap wilayah ditarik ke dalam proses
kontestasi (Haughton & Counsel, 2004). Keterlibatan
berbagai pihak dalam kontestasi wilayah dan ruang, tidak terlepas dengan
pemaknaan terhadap lahan sebagai ruang interaksi dan objek pembangunan. Ruang
interaksi dan objek pembangunan dalam konteks ini tidak hanya dipahami pada
ruang fisik semata, tetapi juga ruang sosial yang dikonstruksi oleh masyarakat
yang merupakan respon terhadap perubahan. Lefebvre dalam The Production of
Space mengkonstruksikan space
sebagai field (lahan) yang terdiri
dari: (a) physical (natural) space;
(b) mental space; dan (c) social space (Lefebvre, 1991). Keterlibatan
berbagai pihak dan berkembangnya pemaknaan terhadap ruang inilah yang
menguatkan munculnya gejala kontestasi ruang.
Berdasarkan pendapat Haughton & Counsel (2004) dan
Lefebvre (1991) terlihat bahwa proses kontestasi ruang merujuk
pada keterlibatan pihak yang berkepentingan terhadap ruang secara luas dalam
proses perencanaan dan pembangunan wilayah. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronaldo Munck, dalam naskahnya Globalization and Contestation (Munck, 2007) yang menyebutkan bahwa
kontestasi dimaknai sebagai sebuah persaingan atau proses pertukaran yang sama
kuatnya, dengan pasar sebagai media pertukaran. Dalam hal ini pasar sebagai
media pertukaran berupa munculnya berbagai transaksi terhadap ruang dalam pembangunan
wilayah. Dalam konteks pembangunan wilayah, Houghton
& Counsell (2004), mensinyalir adanya pemaknaan pembangunan wilayah (regional
development) menjadi pembangunan ekonomi wilayah (regional economic
development). Hal ini dapat dimaknai bahwa ruang, utamanya
ruang fisik (land)
menjadi komoditas ekonomi yang menjadi penopang utama bekerjanya modal dan
berjalannya proses pembangunan wilayah (Sutaryono, 2012).
Keterlibatan
berbagai pihak dalam kontestasi ruang
di DIY tidak
terlepas dengan pemaknaan keistimewaan.
Kontestasi ini meliputi ruang
fisik, ruang mental dan ruang sosial
yang melibatkan stake holder yang
berkepentingan terhadap keistimewaan DIY.
Kontestasi ruang fisik berkenaan dengan keberadaan SG-PAG adalah kontestasi kasat mata dan paling mudah teramati. Belum adanya data tunggal berkenaan dengan jumlah bidang
dan luas wilayah SG-PAG, munculnya klaim
terhadap objek SG-PAG baik yang sudah dikuasai oleh masyarakat ataupun belum,
serta belum terformulasinya objek SG-PAG secara jelas menunjukkan adanya
kontestasi ruang fisik. Adanya alokasi anggaran APBN sebagai konsekuensi
penetapan UU Keistimewaan, yang kemudian memunculkan persoalan baru, merupakan
kontestasi ruang fisik yang lain.
Kontestasi ruang fisik ini secara otomatis berpengaruh
pada ruang mental masyarakat. Pada ruang mental, mindset masyarakat ‘dipaksa’ untuk
memahami makna keistimewaan- yang tentu sangat beragam. Bagi masyarakat dan
pihak-pihak yang memahami makna hamemayu
hayuning bawana sebagai filosofi perikehidupan
masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat maka makna keistimewaan adalah hak dan kewajiban
istimewa untuk melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia
dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat daripada
memenuhi ambisi pribadi
atau golongan. Tetapi apabila keistimewaan
dimaknai secara pragmatis, maka mindset
yang muncul adalah teralokasinya dana keistimewaan sebagai hak masyarakat yang
harus di ambil. Dalam hal ini, realitas menunjukkan bahwa pemaknaan
pragmatislah yang muncul di permukaan. Adanya tuntutan alokasi dana
keistimewaan ke desa atau bahkan ke padukuhan, berjibunnya proposal kegiatan
masyarakat yang masuk ke Pemda DIY sebagai instrumen meraih dana keistimewaan
serta ‘bergairah’-nya kelompok seni dan budaya di perdesaan yang selama ini
‘mati suri’ menunjukkan perubahan mindset
masyarakat. Perubahan ini membawa konsekuensi munculnya kontestasi ruang mental
dalam merespon keistimewaan.
Perubahan ruang fisik
dan mental dalam memaknai keistimewaan ternyata berkaitan dengan kontestasi
ruang sosial. Kontestasi ruang sosial mewujud dalam berlarut-larutnya
pembahasan perdais terhadap lima kewenangan istimewa, padahal regulasi tersebut
dibutuhkan untuk mempercepat akselerasi cairnya dana keistimewaan. Selain itu,
kontestasi ruang sosial mewujud pula pada tingginya animo masyarakat dalam
mengajukan proposal kegiatan dengan tajuk ‘keistimewaan’ serta munculnya
keresahan sebagian masyarakat yang menggunakan SG-PAG.
Kontestasi ruang fisik, ruang mental dan ruang sosial dalam memaknai
keistimewaan perlu mendapatkan ruang dialog yang cukup agar tidak berkembang
menjadi konflik yang kontraproduktif dengan ‘roh’ keistimewaan. Esensi hamemayu hayuning bawana dan tahta untuk rakyat
perlu dijadikan dasar dalam pengambilan
kebijakan yang akan dituangkan dalam kelima perdais yang mengatur kewenangan
keistimewaan. Apabila hal ini bisa dilakukan, kontestasi ruang keistimewaan
akan berkembang secara produktif, menghasilkan penyelesaian yang konstruktif
& win-win solution bagi segenap stake holder yang berkepentingan, serta
semakin mengukuhkan Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat
Problematika Ruang
Keistimewaan
Pasca
terbitnya Perdais Nomor 1 Tahun
2013 Tentang
Kewenangan
Dalam Urusan Keistimewaan DIY, merupakan babak baru implementasi kewenangan
keistimewaan bagi DIY. Babak baru ini
ditandai oleh kegiatan yang dirancang, dibiayai dan diorientasikan dalam rangka
keistimewaan. Dalam hal ini Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum
yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan
mengurus kewenangan istimewa. Berkenaan dengan hal tersebut, dua kewenangan
dalam urusan keistimewaan yang berimplikasi luas, berkelanjutan serta
membutuhkan sinkronisasi yang kuat dan ketat adalah kewenangan urusan tata
ruang dan pertanahan. Mengapa? Karena, kedua keistimewaan ini mempunyai objek,
pemangku kepentingan dan dampak kepada masyarakat luas yang hampir sama.
Persoalannya adalah, bagaimana dua urusan yang interseksinya sangat kuat,
diurusi oleh lembaga yang berbeda dengan budget & bentuk kegiatan berbeda
serta berdampak luas ini dapat disinkronkan?
Pertanyaan di atas harus mendapatkan
jawaban dan alternatif solusi yang tepat agar kewenangan urusan keistimewaan
dapat berkontribusi positif dalam terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Beberapa isu berkenaan dengan ruang keistimewaan
adalah: (1) objek keistimewaan. Pasal 34 (1) UU 13/2012 menyebutkan bahwa kewenangan
kasultanan dan kadipaten dalam tata ruang terbatas pada pengelolaan dan
pemanfaatan tanah kasultanan dan tanah kadipaten, padahal secara keruangan
objek SG-PAG tidak secara masif berada pada satu lokasi. Pasal 32 (4) UU
13/2012 menyebutkan Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten meliputi
tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat di seluruh kabupaten/kota
dalam wilayah DIY, dimana secara fisik dan yuridis belum secara nyata
dapat teridentifikasi di lapangan; (2) kewenangan urusan
keistimewaan ada pada Pemda DIY, sementara wilayah secara administratif dan
keruangan adalah kewenangan daerah otonom (kabupaten/kota); (3) kelembagaan
yang mengatur, mengelola dan memonitor keberadaan SG-PAG di setiap wilayah
kabupaten/kota tidak seragam, meskipun secara khusus SG dikelola oleh
Penghageng Wahana Sartakriya (Panitikisma) dan PAG dikelola oleh Kawedanan Kaprajan;
(4) kedudukan RTRW Kabupaten/Kota dihadapan kebijakan tata ruang keistimewaan,
mengingat kebijakan tata ruang keistimewaan berada pada level Pemda DIY; (5) penggunaan
dan pemanfaatan ruang/tanah oleh perorangan maupun badan hukum yang saat ini
masih eksis, baik yang sudah dilandasi oleh suatu alas hak ataupun yang belum.
Secara
yuridis terdapat perbedaan antara substansi penataan ruang berdasakan UU Nomor
26 Tahun 2007 dengan UU Nomor 13 Tahun 2012. Berdasarkan UU 26/2007 proses
utama penataan ruang meliputi proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Sementara itu substansi pokok kewenangan Kasultanan dan
Kadipaten dalam tata ruang sebagaimana terdapat dalam UU 13/2013 terbatas pada
pengelolaan dan pemanfaatan tanah kasultanan dan tanah kadipaten.
Secara faktual, hingga saat ini belum diketahui data (jumlah bidang dan luasan) tentang keberadaan tanah-tanah SG –
PAG yang valid dan akurat. Beberapa sumber masih menunjukkan angka yang
berbeda. Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilaksanakan oleh Biro Tata
Pemerintahan Provinsi DIY pada tahun 2003 (Tabel 1), teridentifikasi bahwa luas
ruang wilayah istimewa (SG – PAG) seluruh DIY adalah 3.675 ha. Luasan ini,
apabila dibandingkan dengan luas wilayah DIY secara keseluruhan yang mencapai
318.580 hektar, adalah sekitar 1,15%. Data ini juga terkonfirmasi pada Bagian
Pertanahan Biro Tata Pemerintahan Setda Daerah Istimewa Yogyakarta.
Data yang diekspose oleh narasumber dalam Rapat
Hearing Raperdais Pertanahan Dan Penataan Ruang
pada tanggal 21 Maret 2013 di Aula Pusat Informasi Pembangunan Perumahan Dan Bangunan (PIP2B), luas
SG – PAG mencapai 3% dari seluruh luas wilayah DIY. Data ini secara valid belum
mendapatkan konfirmasi secara jelas dan masih dianggap sebagai angka perkiraan.
Sementara itu, hasil identifikasi yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah DIY yang berkerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
diperoleh luasan SG – PAG hingga saat ini belum dipublikasikan.
Tabel 1. Sebaran Luas Ruang
Keistimewaan di DIY
No
|
Kabupaten/Kota
|
Luas
|
|
|
|
m²
|
%
|
1
|
Yogyakarta
|
800.495,63
|
2,18
|
2
|
Bantul
|
16.697.531,00
|
45,44
|
3
|
Kulon
Progo
|
10.376.018,00
|
28,23
|
4
|
Gunung
Kidul
|
5.814.976,50
|
15,82
|
5
|
Sleman
|
3.061.610,00
|
8,33
|
|
Jumlah
|
36.750.631,13
|
100,00
|
Sumber: Kanwil BPN DIY, 2003.
Berkenaan dengan statusnya, masih banyak dijumpai ketidaktahuan dan
bahkan kebingungan objek mana saja yang termasuk objek ruang keistimewaan,
mengingat belum adanya regulasi yang menunjuk dan mengatur tanah-tanah SG –
PAG. Sebagai contoh, apakah tanah-tanah kas desa, baik yang digunakan untuk
pelungguh dan pengarem-arem bagi perangkat desa dan mantan perangkat desa
maupun yang berupa tanah kas sebagai sumber pendapatan utama desa termasuk
objek keistimewaan? Pertanyaan ini muncul, mengingat sebagian tanah kas desa
sudah disertipikatkan atas nama pemerintah desa, dengan Sertipikat Hak Pakai.
Pada beberapa desa ditemukan telah terjadinya proses perubahan
penguasaan dan pemanfaatan tanah SG – PAG. Dari semula lahan pertanian berubah
menjadi permukiman, tempat ibadah dan juga untuk usaha komersial. Mekanisme dan
waktu perubahan penguasaan dan pemanfaatan ini juga tidak secara jelas
tercatat. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengelolaan objek keistimewaan
eksisting belum mendapatkan perhatian secara baik.
Berdasarkan subjek pengelolanya, ruang
keistimewaan dikuasai dan dikelola oleh pemerintah, TNI/POLRI, Desa, Badan
Hukum dan Masyarakat untuk berbagai keperluan. Survei dalam kegiatan Monitoring
dan Evaluasi Penataan Ruang Keistimewaan Tahun 2013 menunjukkan bahwa variasi pemanfaatan
yang paling tinggi terdapat pada institusi pemerintah, baik untuk perkantoran,
fasilitas umum, usaha komersial, gedung sekolah, balai desa, kantor polisi dan
kantor TNI (koramil).
Beberapa
permasalahan di atas sebagaimana hasil monitoring dan evaluasi tata ruang
keistimewaan tahun 2013, dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) permasalahan
sebagai berikut:
1.
Permasalahan Fisik dan Keruangan
a. Batas fisik ruang keistimewaan belum dapat diidentifikasi secara jelas
di lapangan;
b. Pemanfaatan ruang keistimewaan dilakukan oleh semua stake holder yang
ada di masyarakat, sehingga perlakuannya tidak bisa digeneralisasi;
c. Secara spasial, ruang keistimewaan bersinggungan secara ketat dengan
ruang yang bersifat privat;
d. Pemanfaatan ruang keistimewaan eksisting belum mengikuti Rencana Tata
Ruang yang berlaku, meskipun belum tentu tidak sesuai dengan kebijakan penataan
ruang
e. Belum adanya sistem dan mekanisme sinkronisasi antara RTR Keistimewaan
dengan RTRW DIY dan RTRW Kabupaten/Kota.
2.
Permasalahan Sosial.
a. Sebagian besar ruang keistimewaan yang berupa SG – PAG sudah
dimanfaatkan oleh subjek hak, baik Pemerintah, TNI, POLRI, Badan Hukum, Desa
dan Masyarakat;
b. Belum adanya persepsi yang sama terhadap keberadaan ruang keistimewaan
oleh stake holder yang berkepentingan terhadap tanah-tanah SG – PAG;
c. Inventarisasi dan identifikasi ruang keistimewaan, diinterpretasikan
sebagai upaya menarik kembali tanah-tanah SG – PAG ke Kasultanan dan Kadipaten
d. Belum adanya peta pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pemanfaatan
ruang keistimewaan yang berisi tentang subjek hukum, kedudukan dan
orientasi/motivasi pemanfaatan.
3.
Permasalahan Budaya
a. Nilai-nilai dasar keistimewaan tampaknya belum
terinternalisasi secara baik di masyarakat, ketika masih beragamnya persepsi
masyarakat terhadap keistimewaan penataan ruang, bahkan hal ini terjadi pula
pada aparat birokrasi;
b. Sumbu imajiner penataan ruang keistimewaan
belum dapat diterjemahkan dalam pengambilan keputusan yang sudah ada dan belum
dipahami oleh masyarakat luas;
c. Pengakuan eksistensi budaya kraton dan
kadipaten berproses secara dinamis, sehingga pemaknaannya menjadi berkembang
dan memungkinkan munculnya berbagai perbedaan persepsional antar pemangku
kepentingan.
4.
Permasalahan Yuridis
a. Belum adanya definisi yang jelas dan operasional tentang ruang
keistimewaan maupun tanah SG – PAG;
b. Terdapat tanah-tanah SG – PAG yang sudah diberikan hak kepada subjek
hak berdasarkan UUPA, yang secara legal formal terpenuhi segala persyaratannya;
c. Terbitnya UUK tidak bisa membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan
terhadap SG – PAG yang pada saat perbuatan hukum itu dilakukan dianggap sebagai
tanah negara.
d. Belum jelasnya kedudukan kebijakan penataan ruang keistimewaan dengan
RTRW Kabupaten/kota dan turunannya;
Upaya Sinkronisasi
Ruang keistimewaan secara spasial berhubungan erat dengan
bidang-bidang tanah SG – PAG, mengingat objek SG – PAG tidak berada pada
kesatuan lokasi yang masif. Posisi SG – PAG yang tersebar secara di wilayah DIY
secara spot-spot, merupakan suatu yang unique
sekaligus sensitif apabila dilihat dari perspektif perencanaan dan pembangunan
wilayah. Unique-nya kondisi spasial
istimewa tersebut perlu dipahami secara bersama-sama oleh semua pemangku
kepentingan, agar dapat berkontribusi positif dalam pembangunan wilayah secara
berkelanjutan.
Berbagai permasalahan ruang
keistimewaan di atas perlu dibingkai dalam satu koridor yang dipahami dan disepakati
oleh berbagai stake holders yang berkepentingan terhadap ruang dan/atau tanah
dalam konteks keistimewaan. Kesepahaman terhadap prinsip dan filosofi dasar
keistimewaan merupakan prasyarat bagi terselenggaranya sinkronisasi yang baik
antara urusan tata ruang dan pertanahan. Paling tidak terdapat 4 prinsip dan filosofi
yang dapat digunakan sebagai dasar dalam sinkronisasi, yakni: (1) hamemayu hayuning bawana, yang
merupakan hak dan kewajiban
istimewa untuk melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia
dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat daripada
memenuhi ambisi pribadi
atau golongan; (2) sangkan paraning
dumadi, yakni pemahaman terhadap asal mula manusia dan tujuan
terakhirnya yang sangat erat dengan kuasa ilahiyah; (3) manunggaling kawula lan Gusti, merupakan prinsip kepemimpinan
demokratis dan humanisme, yang
tentunya diorientasikan untuk kemaslahatan masyarakat luas; (4) tahta untuk
rakyat, yang
esensinya adalah kebersamaan dan
orientasi kekuasaan untuk kepentingan masyarakat luas.
Apabila prinsip dan
filosofi di atas dijadikan dasar dalam sinkronasi dan dapat terinternalisasi
dalam setiap pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan kegiatan dalam rangka
keistimewaan maka sinkronisasi sudah mulai dilakukan. Sinkronisasi berikutnya
tinggal bersifat teknis administratif seperti pembedaan objek kewenangan dalam
tata ruang & pertanahan, mekanisme penyelenggaraan kegiatan, kedudukan tata
ruang keistimewaan dengan RTRW kab/kota, serta pembedaan kelembagaan yang
mengelola tata ruang dan pertanahan pada semua kab/kota. Hal ini bisa dilakukan
agar agenda keistimewaan dapat berproses secara produktif, konstruktif & semakin
mengukuhkan Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Bahan Bacaan
Lefebvre, Henri. 1991. The Production of Space. Basil Blackwell
Ltd. Oxford.
Munck, R.
2007. Globalization and Contestation. Routledge. New York.
Haughton,
G & Counsell, D. 2004. Region, Spatial Strategies and Sustainable
Development. Routledge. London.
Sutaryono, 2008. Dinamika Penataan
Ruang dan Peluang Otonomi Daerah. TuguJogja Grafika. Yogyakarta.
________, 2012. Kontestasi dan
Marjinalisasi Petani: Realitas Petani Negeri Agraris. Zifatama Publishing.
Sidoarjo.
_________, 2013a. Kontestasi Ruang
Keistimewaan. SKH Kedaulatan Rakyat, 11 Nopember 2013. Yogyakarta.
________, 2013b. Sinkronisasi Keistimewaan Tata Ruang –
Pertanahan. SKH Kedaulatan Rakyat, 28 Nopember 2013. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar