UU
DESA: Berkah atau Musibah?[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Berkah atau Musibah? Itulah respon
awal sebagian Peserta Diskusi Terfokus tentang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa, yang diselengarakan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) di
Yogyakarta, Februari lalu. Dikatakan sebagai berkah, karena UUDesa
mengamanatkan adanya alokasi dana APBN yang cukup besar untuk desa. Dana
tersebut digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Artinya, segala macam kegiatan yang
menjadi kewenangan desa dapat direncanakan sekaligus dikerjakan oleh desa.
Mengapa musti ada respon sebagai musibah?
Respon ini menunjukkan adanya kekhawatiran dan kurang percayadiri sebagian
pemangku kepentingan terhadap desa dalam pengelolaan keuangan. Ketidakmampuan
dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan bisa berakibat sebagai
musibah, bahkan secara ekstrim ada yang menyatakan bahwa bui adalah ujungnya.
Berkah
atau musibah berkenaan dengan UUDesa tergantung pada cara pandang dan kesiapan
seluruh stake holder yang
berkepentingan terhadap desa dan masyarakat desa. Paling tidak terdapat tiga
cara pandang terhadap desa, apabila dikaitkan dengan kelahiran UUDesa, yakni: (1)
desa dipandang sebagai sebuah entitas yang mampu memandirikan diri dengan
mengembangkan aset-asetnya sebagai sumber penghidupan. Dalam konteks ini maka
desa mau dan mampu melakukan pengelolaan kebijakan, perencanaan, keuangan, dan
melakukan pelayanan dasar bagi warga masyarakat dalam rangka mempercepat
peningkatan kesejahteraan masyarakat; (2) desa dipandang sebagai institusi
pemerintahan terbawah yang perlu mendapatkan pembinaan dan pendampingan
intensif dari institusi supradesa apabila akan melakukan penyelenggaraan
pemerintahan dan pengelolaan keuangan desa yang berasal dari Alokasi Dana Desa dari APBD Kabupaten/Kota dan Dana Alokasi
Desa dari APBN; dan
(3) desa cenderung dipandang sebagai entitas yang penuh ketidakberdayaan, kemiskinan,
dan keterbelakangan, sehingga desa dianggap tidak mempunyai masa depan.
Ketiga
cara pandang tersebut berpengaruh terhadap pensikapan terbitnya UUDesa. Cara
pandang pertama adalah cara pandang positif, konstruktif dan menganggap UUDesa
adalah berkah yang harus direspon dengan mempersiapkan diri lebih baik dalam
menjalankan kewenangan desa demi masa depan dan kesejahteraan masyarakat. Cara
pandang kedua mengisyaratkan keraguan terhadap kemampuan dan kapasitas desa,
tetapi tetap optimis bahwa desa mampu merespon UUDesa dengan baik apabila
mendapatkan pembinaan dan pendampingan secara intensif dari institusi supradesa.
Pandangan ketiga adalah pandangan skeptis & pesimistik terhadap desa, yang
cenderung tidak konstruktif bagi masa depan desa serta menganggap bahwa UUDesa
adalah sebuah musibah yang bisa menjerat kepala desa dan perangkatnya untuk
terjebak pada perilaku korup.
Survey
sebuah media menggambarkan bahwa sebanyak 60% responden memberikan harapan positif
terhadap UU Desa, 36% responden tidak begitu yakin kalau regulasi ini mampu
memberikan perubahan lebih baik dan 4% menyatakan tidak tahu (Syahrul, 2014).
Hasil survey tersebut menunjukkan adanya pandangan optimis bahwa desa
mendapatkan berkah dan mampu melakukan perubahan yang lebih mensejahterakan
masyarakat desa.
Pandangan optimis, moderat
maupun pesimis terhadap kapasitas dan kemampuan desa dalam merespon UUDesa
adalah sebuah kewajaran. Namun demikian, yang perlu ditekankan dan
dikampanyekan agar UU Desa memberikan nilai produktif bagi desa dan masyarakat
desa di seluruh Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan adalah: (1) UUDesa
terlahir melalui proses panjang yang tidak hanya dibicarakan oleh pemerintah
dan DPR, melainkan melibatkan masyarakat desa, aktivis & pegiat desa,
masyarakat adat, pemerintah kab/kota dan pihak-pihak yang memiliki kepedulian
terhadap masa depan desa dan masa depan NKRI; (2) UUDesa ini menempatkan desa
sebagai subjek yang mempunyai otoritas dalam kebijakan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan dengan memanfaatkan aset desa serta alokasi anggaran
dari APBN maupun APBD; (3) Spirit UUDesa adalah pengakuan dan penghormatan
bagi desa atas penguasaan dan pengelolaan aset desa yang diorientasi untuk
kepentingan desa dan kesejahteraan warganya, maka pengembalian aset-aset desa
yang selama ini dikuasai oleh institusi supradesa adalah sebuah keharusan; (4) penguatan kapasitas desa
melalui upaya-upaya pemberdayaan agar
desa lebih mandiri dan sejahtera dengan tetap taat azas adalah tanggungjawab
kita bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar