Ruang Sosial[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]
Pada awal masa pandemi Covid-19 hingga sekarang, kita
disuguhi perdebatan penggunaan istilah social distancing dan physical
distancing. Mengapa? Karena kedua istilah tersebut seolah-olah mempunyai
orientasi yang berbeda, padahal sejatinya kedua istilah itu tujuannya sama.
Merujuk pada berbagai sumber, baik social distancing dan physical
distancing merupakan tindakan
pembatasan segala bentuk kerumunan, menjaga jarak, menghindari pertemuan yang
melibatkan banyak orang dengan tujuan untuk mengurangi penularan virus. Dalam
konteks ini, kedua istilah tersebut objeknya adalah ruang sosial.
Penanganan Covid-19
Ruang sosial, menurut Lefebvre (1991) merupakan salah satu bentuk ruang di
samping ruang fisik dan ruang mental.
Ruang mental berupa mindset dan pola pikir, sedangkan ruang sosial adalah ruang fisik atau non fisik (virtual) yang merupakan
media interaksi sosial dan dibentuk oleh tindakan sosial baik bersifat
individual maupun kolektif.
Situasi ruang
sosial masyarakat dalam penanganan Covid-19 saat ini pada posisi yang rentan.
Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat pendidikan,
kondisi perekonomian masyarakat, referensi informasi yang digunakan, perbedaan
daya tangkap dan pemahaman terhadap terhadap pesan edukasi dalam penanganan
Covid-19 hingga pada sentimen pribadi. Faktor-faktor tersebut apabila tidak
dikelola dengan baik, akan menimbulkan kegaduhan bahkan konflik antar anggota
masyarakat.
Tingkat Pendidikan
memberikan pengaruh terbesar dalam pensikapan situasi ini. Pemahaman dan
kesadaran untuk menjalankan protokol kesehatan dalam rangka pencegahan
penularan Covid-19 diterima sebagai hal yang rasional dan perlu dilakukan. Hal
ini dijumpai pada komunitas masyarakat dengan tingkat pendidikan yang baik,
misal pada komplek-komplek perumahan. Pada masyarakat yang ada di
kampung-kampung dengan tingkat pendidikan yang beragam, situasinya jauh
berbeda. Praktik-praktik lockdown kampung secara ketat adalah salah satu
wujudnya. Pihak luar ataupun pihak-pihak yang tidak dikenal dilarang keras
memasuki kampung dengan alasan apapun. Ironisnya, pos-pos penjagaan digunakan
sebagai tempat ngumpul-ngumpul para relawan yang justru kontraproduktif dengan
upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Bahkan dalam situasi tersebut para
relawan banyak yang tidak mengenakan masker.
Kondisi
perekonomian masyarakat secara jelas tergambar aktifitas anggota masyarakatnya.
Stay at home dan work from home hanya bisa direalisasikan oleh
anggota masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Sementara itu,
anggota masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung harus tetap melakukan
aktifitas harian guna pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Referensi informasi
yang digunakan dan daya tangkap pesan dari pihak eksternal menjadi faktor
penentu dalam pengambilan kebijakan di masyarakat. Faktor ini menjadi titik
krusial terjadinya perbedaan persepsi yang berujung pada disharmoni sosial.
Utamanya pada berbagai aktifitas keagaamaan dan mudik. Ketidakkompakan antar
berbagai pihak dalam mensikapi himbauan pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia
(MUI), menjadikan praksis keber-agama-an dan respon terhadap pemudikpun berbeda-beda.
Penentuan kondisi kampung termasuk zona hijau, kuning atau bahkan merah, juga
berbeda-beda antar pemuka agama dan tokoh masyarakat. Yang paling
mengkhawatirkan adalah adanya kecenderungan menyepelekan protokol Kesehatan dan
himbauan pemerintah.
Di samping beberapa
faktor di atas, kepentingan dan sentimen pribadi terkadang menyelinap dan
mempengaruhi keputusan para relawan di lapangan maupun keputusan para tokoh
masyarakat. Hal ini sangat tampak pada aktifitas keseharian masyarakat. Para
petani yang biasanya bebas keluar masuk dengan jalan terdekat, terpaksa harus
memutar melalui pintu masuk yang dijaga relawan. Warung-warung di dalam kampung
yang biasanya pelanggan dari luar kampung bisa masuk, akibat kebijakan lockdown
lokal, menjadi tidak bisa.
Kegagalan dalam
mengelola berbagai faktor di atas dapat menimbulkan permasalahan baru yang
justru bisa berdampak panjang pasca pandemi Covid-19 ini. Oleh karena itu
evaluasi terhadap berbagai praksis penanganan dan penanggunalang Covid-19 di
masyarakat perlu dilakukan secara serius, baik oleh para anggota masyarakat
yang terlibat maupun oleh institusi pemerintah, utamanya pemerintah
kabupaten/kota dan pemerintah desa. Jangan sampai modal sosial dan
kegotongroyongan dalam penanggulangan pandemi Covid-19, yang ditunjukkan oleh
Sebagian besar masyarakat kita, berubah menjadi gejala-gejala disharmoni sosial
yang kontraproduktif.
Kegiatan yang semestinya memerlukan drill/pelatihan dg berulang2 baru kemudian menjadi terbiasa tetapi dipaksa/terpaksa dilakukan tanpa pemanasan yang tentu saja menjadikan badan kaku2, gagap, serba salah. Kegiatan yang gampang diucapkan tetapi sulit diterapkan dalam tataran kondisi sosial yang beragam. Mudah2 an badai cepat berlalu dan menjadikan pelajaran bagi semuanya
BalasHapusNumpang promo ya Admin^^
BalasHapusingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.biz ^_$
add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^