Senin, 25 September 2023
Urgensi Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Dipublikasikan pada Kolom OPINI
SKH KEDAULATAN RAKYAT
Kamis, 6 Juli 2023 Hal 11
Urgensi
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Oleh:
Dr. Sutaryono[1]
Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) saat ini menjadi suatu yang urgent
sekaligus emergence. Mengapa? Karena dalam satu dekade terakhir
pemerintah telah melakukan berbagai terobosan guna memberikan akselerasi dan
kemudahan dalam berusaha dan berivestasi. Apalagi setelah ditetapkannya UU
Cipta Kerja, yang digantikan dengan Perppu 2/2022 dan terakhir dikuatkan
melalui UU 6/2023 tentang Penetapan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Namun demikian, kemudahan berusaha dan investasi bukan berarti menafikan dampak
lingkungan yang ditimbulkan maupun mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Argumen inilah yang menempatkan KLHS sebagai hal urgent
sekaligus emergence. Dalam hal ini KLHS dimaknai sebagai rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan
partisipatif untuk
memastikan bahwa
prinsip pembangunan
berkelanjutan menjadi
dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Berdasarkan
UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan
telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. Kewajiban
tersebut harus dilaksanakan dalam
penyusunan atau evaluasi: (a) rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana
rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan
jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan (b)
kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak
dan/atau risiko lingkungan hidup.
Pengarusutamaan
KLHS
Sejak terbitnya UU 32/2009 yang mengamanahkan kewajiban KLHS, hingga
saat ini masih ada kecenderungan menempatkan dokumen KLHS hanya sebatas
formalitas dan kewajiban normatif saja. Kecenderungan ini berdampak pada
rendahnya kualitas KLHS dan terabaikannya rekomendasi perbaikan kebijakan,
rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan
berkelanjutan.
Disisi yang lain, pemerintah memfasilitasi kemudahan berusaha dan
investasi melalui penyederhanaan perizinan berusaha dalam bentuk Online
Single Submission (OSS). OSS ini dilakukan untuk: (a) mempermudah pengurusan berbagai perizinan
berusaha; dan (b) memfasilitasi pelaku usaha untuk terhubung dengan semua stakeholder
dan memperoleh izin secara aman, cepat dan real time (Opini KR,
21-01-2019).
Dalam
konteks perizinan berusaha terkait pemanfaatan ruang, telah diterapkan
kebijakan OSS KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang). Disamping berperan sebagai perizinan dalam
pemanfaatan ruang, KKPR juga berperan sebagai dasar untuk memperoleh tanah bagi
pelaku usaha (Opini KR, 08-11-2022). Nah, salah satu prakondisi yang harus dipenuhi untuk
penerapan OSS KKPR untuk pemberian izin berusaha di seluruh wilayah Indonesia
adalah ketersediaan Rencana Detai Tata Ruang (RDTR). Jadi dalam hal ini RDTR
menjadi single reference dalam perizinan pemanfaatan ruang. Disisi lain
legalitas RDTR saat ini tidak lagi dalam bentuk peraturan daerah tetapi
peraturan kepala daerah, ruang partisipasi publik dalam penyusunan dan
penetapannya cenderung lembih sempit.
Oleh karena
itu, untuk memastikan bahwa kebijakan, rencana dan/atau program yang ada dalam
RDTR tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, tidak
memberikan dampak lingkungan dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan,
maka penyusunan RDTR harus terintegrasi dengan KLHS. Kewajiban pengintegrasian
tersebut diatur melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN 5/2022 tentang Tata Cara
Pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dalam Penyusunan Rencana Tata
Ruang.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka pengarusutamaan (mainstreaming)
KLHS, baik dalam penyusunan rencana tata ruang, RPJP, RPJM maupun kebijakan, rencana, dan/ atau program
yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau
risiko lingkungan hidup perlu diprioritaskan
melalui: (1) penguatan pemahaman pentingnya KLHS bagi semua pemangku
kepentingan; (2) memastikan setiap penyusunan rencana tata ruang dan dokumen
perencanaan pembangunan terintegrasi dengan KLHS; (3) pokja penyusun KLHS dan
tim penyusun rencana tata ruang ditetapkan melalui satu surat keputusan; dan
(4) mengalokasikan anggaran secara memadai dalam penyusunan KLHS. Apabila
beberapa hal ini bisa dilakukan, maka keberlanjutan lingkungan akan terus
terjaga dan berdampingan dengan pembangunan wilayah yang terus berkembang.
GTRA Summit Karimun 2023
Dipublikasikan pada Kolom OPINI
SKH Kedaulatan Rakyat
Selasa, 29 Agustus 2023 Hal 11
GTRA Summit
Oleh:
Dr. Sutaryono[1]
Reforma Agraria adalah Program
Strategis Nasional yang sudah diamanahkah lebih dari dua dekade yang lalu
melalui Tap No. IX/MPR/2001, tetapi
hingga saat ini masih menghadapi berbagai persoalan dalam implementasinya.
Kendala regulasi yang bersifat operasional dan sering dipersoalkan tidak lagi
menjadi kendala ketika telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma
Agraria (Opini KR, 22-10-2018). Terbitnya
Perpres 86/2018 tersebut bukanlah suatu kebetulan, tetapi merupakan bagian
pemenuhan janji politik pemerintah. Janji politik presiden dalam Nawacita yang
kemudian dijabarkan dalam RPJMN Tahun 2015-2019 yang terus berlanjut dalam
RPJMN 2020-2024 menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
dilakukan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9
juta ha untuk diredistribusikan.
Berdasarkan regulasi tersebut reforma
agraria tidak lagi dimaknai secara sempit sebagai redistribusi tanah belaka, tetapi
jauh lebih luas. Reforma agraria merupakan penataan kembali struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan
melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran
rakyat Indonesia. Adapun penataan asset adalah penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan keadilan
di bidang penguasaan dan pemilikan tanah. Sedangkan penataan akses adalah
pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada subjek reforma
agrarian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan
tanah, yang disebut juga sebagai pemberdayaan Masyarakat.
Untuk menjalankan agenda reforma
agraria tersebut dibentuklah Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang merupakan
Lembaga lintas sektor melibatkan sejumlah 17 (tujuhbelas) kementerian/Lembaga
terkait. Di daerah, mengingat strategisnya agenda reforma agraria, GTRA dipimpin langsung oleh Gubernur dan
Bupati/Walikota. Hal ini menunjukkan bahwa agenda Reforma Agraria adalah agenda
Bersama seluruh elemen bangsa yang membutuhkan partisipasi aktif seluruh stake
holder terkait.
Dalam implemetasinya agenda reforma
agraria sudah berjalan dengan baik dan kontributif dalam memberikan kepastian
hukum melalui penataan asset dan meningkatkan perekonomian subjek reforma
agraria melalui penataan aksesnya. Namun demikian, dipenghujung berakhirnya
RPJMN 2020-2024 ini capaian kinerja reforma agraria masih perlu digenjot lagi.
Kementerian ATR/BPN telah mengidentifikasi adanya 4 (empat) tantangan yang
harus dihadapi dalam rangka reforma agraria, yakni: (1) penguatan legalisasi aset
permukiman di atas air, pulau-pulau kecil dan pulau kecil terluar; (2)
penyelesaian konflik agraria yang berkaitan dengan kewenangan lintas sektor,
seperti masalah penguasaan lahan oleh masyarakat di atas aset tanah Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah (BUMN/BUMD) dan Barang Milik
Negara/Barang Milik Daerah (BMN/BMD); (3) penyelesaian masalah dan pemenuhan
target sertipikat tanah transmigrasi; serta (4) menyangkut Tanah Objek Reforma
Agraria (TORA) dari Pelepasan Kawasan Hutan. Disamping ke-4 hal tersebut,
penguatan kelembagaan GTRA di daerah juga mutlak diperlukan.
Komitmen Bersama
Untuk mengatasi tantangan dan
menyelesaikan berbagai persoalan implementasi reforma agraria, maka dibutuhkan
komitmen Bersama antar pemangku kepentingan yang terlibat. Oleh karena itu Pertemuan
Puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit) 2023 ini
diselenggarakan. Acara yang akan digelar pada tanggal 29 – 31 Agustus 2023 di
Karimun dan dihadiri langsung oleh Presiden ini mengambil tema “Transformasi Reforma Agraria:
Mewujudkan Kepastian Hukum, Keberlanjutan Pembangunan dan Kesejahteraan
Rakyat”.
Tema di atas dipilih mengingat
persoalan pertanahan dan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, wilayah transmigrasi, tanah-tanah yang dikuasai oleh BUMN/BUMD dan
tanah-tanah pada kawasaan hutan masih belum terselesaikan dan belum secara
optimal berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Komitmen
bersama yang diwujudkan melalui kolaborasi multipihak dan berbagi peran antar stake
holder ini merupakan prasyarat bagi terselesaikannya berbagai persoalan
yang menghambat implementasi reforma agraria. Yang muaranya adalah terwujudnya
kepastian hukum penguasaan dan pemilikan tanah, keberlanjutan Pembangunan serta
kesejahteraan Masyarakat. Oleh karena itu agenda GTRA Summit 2023 ini
merupakan momentum yang sangat tepat dan kuat untuk mengatasi hambatan pelaksanaan sekaligus
meneguhkan komitmen Bersama untuk menuntaskan Program Strategis Nasional
Reforma Agraria.
Transformasi Digital Pertanahan
Dipublikasikan pada Kolom ANALISIS
SKH KEDAULATAN RAKYAT
Senin 25
September 2023 Hal 1
TRANSFORMASI
DIGITAL PERTANAHAN
Oleh:
Dr. Sutaryono[1]
Dua
tahun lalu kita dikejutkan oleh media yang mengabarkan dan memperbincangkan Sertipikat Tanah
Elektronik, yang menunjukkan dimulainya transformasi digital pertanahan. Salah
satunya dengan judul ‘Era Baru Pertanahan, Sertifikat Tanah 2021 Sudah Berbeda,
Seluruh Sertifikat Tanah akan Ditarik’. Terhadap kabar tersebut publik
memberikan tanggapan yang beragam hingga kekhawatiran berkenaan dengan akan
ditariknya sertipikat tanah lama. Padahal hingga saat ini belum seluruh bidang
tanah bersertipikat. Bagaimana mungkin pensertipikatan tanah saja belum
selesai, akan ditarik sertipikat yang sudah ada dan diganti dengan sertipikat
elektronik (Analisis KR, 08-02-2021).
Saat ini,
bertepatan dengan dimulainya Peringatan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (24
September 2023), kita kembali diingatkan tentang pentingnya transformasi
digital dalam pelayanan pertanahan, guna mewujudkan institusi pertanahan
dan tata ruang yang maju dan modern. Berkenaan dengan hal tersebut, e-government
adalah sebuah keharusan. Dalam konteks ini, disamping menggenjot penyelesaian
pendaftaran tanah melalui PTSL Kementerian ATR/BPN juga menginisiasi kebijakan
transformasi digital dalam pelayanan pertanahan. Salah satunya adalah kebijakan
Sertipikat Elektronik melalui Permen
ATR/KBPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik, yang saat ini
diganti dengan Permen ATR/KBPN Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penerbitan Dokumen
Elektronik dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah. Yang dimaksud dengan dokumen
elektronik dalam regulasi tersebut adalah setiap informasi elektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi
yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Tantangan Transformasi Digital
Secara general tantangan yang dihadapi
dalam transformasi digital dalam pelayanan pertanahan, khususnya dalam
penerbitan dokumen elektronik dalam kegiatan pendaftaran tanah meliputi: (a)
ketersediaan regulasi yang lengkap dan detail; (b) ketersediaan dokumen dan
system elektronik yang handal; (c) kesiapan sumberdaya manusia, baik kapasitas
maupun integritasnya; serta (d) jaminan keamanan dokumen dan sistem
elektroniknya.
Regulasi yang lengkap dan detail tidak
hanya diorientasikan untuk mendapatkan keabsahan dalam menghasilkan dokumen
elektronik semata, tetapi juga memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang memproduksinya
serta para pemegang hak atas tanahnya.
Adapun ketersediaan dokumen dan sistem
elektronik yang handal tentu terkait dengan operasionalisasi dalam memproduksi
dokumen elektronik hingga operasionalisasi dalam berbagai pelayanan
pertanahan. Dokumen elektronik yang
dibutuhkan pada kegiatan pendaftaran tanah memuat data pemegang hak, data fisik
dan data yuridis bidang tanah yang valid dan autentik, baik yang bersumber atau
diterbitkan melalui sistem elektronik dan/atau merupakan hasil pemindaian
dokumen cetak. Dokumen elektronik hasil sistem elektronik disahkan menggunakan
tanda tangan elektronik dan dokumen elektronik hasil pemindaian dijamin
keasliannya melalui segel elektronik.
Kesiapan sumberdaya manusia dalam
transformasi digital pelayanan pertanahan tidak hanya terkait pada kualitas dan
kuantitasnya, tetapi juga pada integritas dan mindset-nya. Kualitas dan
kuantiitas merupakan persyaratan teknis SDM untuk mampu menjalankan proses
transformasi digital. Integritas dan mindset SDM merupakan persyaratan attitude
penyelenggara transformasi digital, mengingat resiko pelanggaran dan
penyalahgunaan dokumen elektronik ini sangat tinggi. Tidak mungkin SDM
penyelenggara transformasi digital masih memilik mindset pelayanan
konvensional dan manual yang selama ini dijalankan.
Tantangan terakhir yang paling sering
mendapatkan perhatian publik adalah jaminan keamanan terhadap dokumen
elektronik yang sudah dihasilkan dan jaminan sistem elektronik yang dijalankan.
Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan sistem elektronik adalah serangkaian
perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan,
mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan,
dan/atau menyebarkan informasi elektronik dalam kegiatan pendaftaran tanah. Publik
harus diyakinkan bahwa tingkat keamanan dokumen dan sistem elektronik yang
dioperasionalkan dalam pelayanan pertanahan sangat tinggi dan tidak mudah
disusupi oleh hacker atau pihak-pihak yang tidak berkepentingan.