Dipublikasikan pada Kolom OPINI
SKH KEDAULATAN RAKYAT
Kamis, 6 Juli 2023 Hal 11
Urgensi
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Oleh:
Dr. Sutaryono[1]
Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) saat ini menjadi suatu yang urgent
sekaligus emergence. Mengapa? Karena dalam satu dekade terakhir
pemerintah telah melakukan berbagai terobosan guna memberikan akselerasi dan
kemudahan dalam berusaha dan berivestasi. Apalagi setelah ditetapkannya UU
Cipta Kerja, yang digantikan dengan Perppu 2/2022 dan terakhir dikuatkan
melalui UU 6/2023 tentang Penetapan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Namun demikian, kemudahan berusaha dan investasi bukan berarti menafikan dampak
lingkungan yang ditimbulkan maupun mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Argumen inilah yang menempatkan KLHS sebagai hal urgent
sekaligus emergence. Dalam hal ini KLHS dimaknai sebagai rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan
partisipatif untuk
memastikan bahwa
prinsip pembangunan
berkelanjutan menjadi
dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Berdasarkan
UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan
telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. Kewajiban
tersebut harus dilaksanakan dalam
penyusunan atau evaluasi: (a) rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana
rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan
jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan (b)
kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak
dan/atau risiko lingkungan hidup.
Pengarusutamaan
KLHS
Sejak terbitnya UU 32/2009 yang mengamanahkan kewajiban KLHS, hingga
saat ini masih ada kecenderungan menempatkan dokumen KLHS hanya sebatas
formalitas dan kewajiban normatif saja. Kecenderungan ini berdampak pada
rendahnya kualitas KLHS dan terabaikannya rekomendasi perbaikan kebijakan,
rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan
berkelanjutan.
Disisi yang lain, pemerintah memfasilitasi kemudahan berusaha dan
investasi melalui penyederhanaan perizinan berusaha dalam bentuk Online
Single Submission (OSS). OSS ini dilakukan untuk: (a) mempermudah pengurusan berbagai perizinan
berusaha; dan (b) memfasilitasi pelaku usaha untuk terhubung dengan semua stakeholder
dan memperoleh izin secara aman, cepat dan real time (Opini KR,
21-01-2019).
Dalam
konteks perizinan berusaha terkait pemanfaatan ruang, telah diterapkan
kebijakan OSS KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang). Disamping berperan sebagai perizinan dalam
pemanfaatan ruang, KKPR juga berperan sebagai dasar untuk memperoleh tanah bagi
pelaku usaha (Opini KR, 08-11-2022). Nah, salah satu prakondisi yang harus dipenuhi untuk
penerapan OSS KKPR untuk pemberian izin berusaha di seluruh wilayah Indonesia
adalah ketersediaan Rencana Detai Tata Ruang (RDTR). Jadi dalam hal ini RDTR
menjadi single reference dalam perizinan pemanfaatan ruang. Disisi lain
legalitas RDTR saat ini tidak lagi dalam bentuk peraturan daerah tetapi
peraturan kepala daerah, ruang partisipasi publik dalam penyusunan dan
penetapannya cenderung lembih sempit.
Oleh karena
itu, untuk memastikan bahwa kebijakan, rencana dan/atau program yang ada dalam
RDTR tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, tidak
memberikan dampak lingkungan dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan,
maka penyusunan RDTR harus terintegrasi dengan KLHS. Kewajiban pengintegrasian
tersebut diatur melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN 5/2022 tentang Tata Cara
Pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dalam Penyusunan Rencana Tata
Ruang.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka pengarusutamaan (mainstreaming)
KLHS, baik dalam penyusunan rencana tata ruang, RPJP, RPJM maupun kebijakan, rencana, dan/ atau program
yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau
risiko lingkungan hidup perlu diprioritaskan
melalui: (1) penguatan pemahaman pentingnya KLHS bagi semua pemangku
kepentingan; (2) memastikan setiap penyusunan rencana tata ruang dan dokumen
perencanaan pembangunan terintegrasi dengan KLHS; (3) pokja penyusun KLHS dan
tim penyusun rencana tata ruang ditetapkan melalui satu surat keputusan; dan
(4) mengalokasikan anggaran secara memadai dalam penyusunan KLHS. Apabila
beberapa hal ini bisa dilakukan, maka keberlanjutan lingkungan akan terus
terjaga dan berdampingan dengan pembangunan wilayah yang terus berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar