PARTISIPASI MASYARAKAT, OTONOMI DAERAH
DAN PENATAAN RUANG[1]
Dalam
konstelasi otonomi daerah, penataan ruang sering dimaknai secara beragam, mulai
dari pemahaman bahwa penataan ruang merupakan arahan pola pemanfaatan ruang,
instrumen pengendali dalam alih fungsi lahan, sampai pemahaman minor bahwa penataan ruang dipandang
sebagai ‘alat’ bargaining antara
birokrat dan pihak swasta/investor yang akan menanamkan investasinya atau
terkadang malah dianggap sebagai ‘penghambat’ pembangunan. Tulisan ini mencoba
mengedepankan peluang otonomi daerah dalam penataan ruang, termasuk di dalamnya
adalah partisipasi masyarakatnya, mengingat otonomi daerah mengharuskan setiap
pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya dengan baik, khususnya sumberdaya
wilayah/ruang yang merupakan basis dalam proses pembangunan.
Peluang
Otonomi Daerah
Era desentralisasi, keterbukaan dan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan mengiringi kemunculan dan perkembangan
otonomi. Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 semakin
mengukuhkan peran Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan
pembangunan di daerah otonom. UU Nomor
32 Tahun 2004 memberikan legitimasi kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan
penyelenggaraan penataan ruang di wilayah masing-masing, mengingat UU ini
secara tegas menyebutkan bahwa salah
satu kewajiban daerah otonom adalah menyusun perencanaan dan tata ruang daerah.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih luas
untuk melakukan upaya penataan ruang di wilayah territorial-nya. Kelahiran UU Nomor 32 Tahun 2004 sejalan dengan Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan
yang lahir pada era UU Nomor 22 Tahun 1999. Dalam Keppres tersebut meskipun
tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kewenangan dalam penataan ruang
tetapi kewenangan dalam pemberian ijin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah
untuk kepentingan pembangunan dan perencanaan
penggunaan tanah di wilayah Kabupaten/Kota memberikan peluang bagi Pemerintah
Daerah untuk melakukan upaya-upaya penataan ruang secara otonom. Namun
demikian, peluang tersebut seringkali memunculkan berbagai kemungkinan sikap
egosentrisme dan primordialisme daerah otonom. Ada kecenderungan masing-masing daerah otonom
melakukan penataan ruang berdasarkan kepentingan masing-masing tanpa melakukan
sinergi dan koordinasi dengan pemerintah daerah pada wilayah-wilayah yang
berbatasan. Hal ini menjadi satu ancaman bagi terwujudnya penataan ruang yang
menjamin adanya kelestarian lingkungan. Dengan demikian, penataan ruang yang
dilakukan oleh daerah otonom harus tetap mengacu pada kerangka keterpaduan
antar wilayah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu,
pendekatan kewilayahan dan kelingkungan menjadi syarat utama dalam penataan
ruang bagi pemerintah daerah tanpa harus mengabaikan wilayah
administrasinya. Hal ini penting
dilakukan, agar kegiatan penataan ruang bagi daerah otonom tidak menimbulkan
dampak negatif dan kemungkinan munculnya konflik dengan daerah lain. Dalam
konteks penataan ruang di daerah otonom, perencanaan ruang yang dilakukan harus bersifat alokatif,
inovatif dengan pendekatan multifungsional dan interdisipliner. Alokatif, artinya
dalam perencanaan ruang betul-betul diarahkan pada alokasi keruangan sesuai
fungsi ruang itu sendiri. Dalam hal ini karakteristik wilayah dan kemampuan
tanah harus sungguh-sungguh diperhatikan, agar rekomendasi yang dihasilkan
dalam penataan ruang dapat sesuai dengan peruntukannya. Sifat inovatif
diperlukan agar perencanaan itu mampu mengakomodasikan semua komponen yang ada.
Terobosan-terobosan perlu dilakukan dan segala kemungkinan perlu dijajaki agar
perkembangan wilayah yang berdasarkan pada perencanaan ruang dapat memberikan
keuntungan maksimal namun tetap terkontrol dalam bingkai kebijaksanaan penataan
ruang wilayah. Pendekatan multifungsional dan Interdisipliner mutlak diperlukan
dalam perencanaan ruang. Artinya penggunaan ruang yang direkomendasikan dapat
berdaya guna bagi berbagai kepentingan masyarakat penghuninya. Pendekatan ini
sekaligus mengupayakan terwujudnya desain penataan ruang yang aspiratif dan
akomodatif. Dalam perencanaan ini harus melibatkan berbagai komponen
kelembagaan, ahli-ahli di berbagai
bidang ilmu serta partisipasi masyarakat dan swasta, baik secara langsung
maupun perwakilan.
Partisipasi
Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Proses penataan ruang yang
termanifestasi dalam penyusunan rencana tata ruang, selama ini masih bersifat
general pada wilayah nasional, wilayah propinsi dan kabupaten/kota. Hal ini
menunjukkan bahwa rencana tata ruang masih bersifat ‘elitis’ dan kurang
‘membumi’. Artinya rencana tata ruang yang sudah ada kurang melibatkan
masyarakat dalam penyusunannya, kuran tersosialisasi kepada khalayak luas dalam
operasionalisasinya dan masih terkesan ‘hanya’ sebagai dokumen pelengkap.
Peraturan Pemerintah Nomor
69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara
Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang sebagai salah satu aturan pelaksana
dari UU Nomor 24 Tahun 1992 telah menjamin adanya keterlibatan masyarakat dalam
penataan ruang. Hal tersebut sudah sejalan dengan yang telah digariskan oleh
pemerintah bahwa penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah keterlibatan masyarakat dalam
penataan ruang betul-betul sebagai media dalam mengakomodasi kepentingan
masyarakat ataukah ‘hanya sekedar’ formalitas mengikuti trend dan aturan yang berlaku? Hal ini perlu dicermati mengingat
banyak kasus yang menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sering dijadikan
formalitas untuk sekedar mendapatkan legitimasi dari berbagai pihak terhadap
suatu kegiatan yang dilaksanakan.
Peraturan
perundang-undangan tersebut telah memberikan peluang kepada pemerintah daerah
untuk memposisikan masyarakat sebagai subyek dalam penataan ruang. Artinya,
potensi besar yang dimiliki masyarakat luas dapat dikelola dan diakomodasikan
dalam berbagai kegiatan penataan ruang baik pada tahapan perencanaan,
pemanfaatan ruang sampai tahapan pengendalian pemanfaatan ruang secara
partisipatif. Hal ini sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan ke arah
partisipatoris berbasiskan masyarakat yang mengutamakan pelibatan masyarakat dalam
berbagai tahapan pembangunan.
Secara operasional
partisipasi masyarakat dalam penataan ruang dapat dimulai dari wilayah desa
sebagai basis pembangunan masyarakat. Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa
(berdasarkan UU 32/2004, BPD adalah Badan Permusyawaratan Desa) sebagai lembaga
pemerintahan yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat harus diberikan
peran yang cukup dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan ruang sampai tahapan
pengendalian pemanfaatan ruang. Pemerintahan Desa (Lurah Desa dan BPD) dapat
berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang bagi masyarakat. Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) sebagai wadah munculnya gagasan-gagasan
pembangunan di tingkat desa perlu dilibatkan dalam proses ini. Model Rakorbang
perlu lebih dikembangkan di tingkat pedukuhan untuk mengetahui kebutuhan
masyarakat terhadap ruang. Berbagai hasil rakorbang pada tingkat pedukuhan
dieksplorasi pada rakorbang pada tingkat desa. Pada tahapan inilah akan
dihasilkan- meskipun masih sangat sederhana- disain tata untuk wilayah desa.
Apabila disain tata ruang desa ini dijadikan embrio dalam kegiatan penataan
ruang pada tingkat Kabupaten/Kota, maka partisipasi masyarakat dalam penataan
ruang sudah mulai terwujud. Di samping
itu, masyarakat akan ikut bertanggungjawab dalam mengamankan disain tata ruang
yang sudah dihasilkan melalui kegiatan pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
Beberapa hal yang harus
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam
penataan ruang antara lain: (a) memberikan ruang interaksi yang lebih luas
kepada pemerintahan desa dan masyarakat untuk mengembangkan inisiasi dan daya
kreasinya; (b) memfasilitasi berbagai agenda masyarakat yang berhubungan dengan
penataan ruang, termasuk meningkatkan kapasitas (capacity building) kelembagaan desa dalam hal penataan ruang; (c)
secara berkelanjutan mensosialisasikan pentingnya penataan ruang yang
berorientasi pada fungsi wilayah dan kelestarian lingkungan.
Penutup
Beberapa
upaya perubahan dalam penyusunan disain tata ruang di daerah sebagaimana
disebutkan di atas mengharuskan pada semua stake
holder yang terlibat dalam pemanfaatan ruang untuk saling berkolaborasi dan
menjalin sinergi dalam memanfaatkan peluang otonomi daerah. Dalam konteks ini
penataan ruang dalam kerangka otonomi daerah merupakan peluang yang harus dapat
diimplementasikan oleh pemerintah daerah dalam menata, mengelola dan menjaga
kelestarian ruang dan wilayah yang menjadi kewenangannya.
Partisipasi
masyarakat menjadi suatu keharusan, agar proses penyusunan dan pelaksanaan
rencana tata ruang yang sudah ditetapkan secara formal dapat mengakomodasi
aspirasi masyarakat luas. Di samping itu keterlibatan masyarakat tersebut akan
mendorong tingkat partisipasi dalam mematuhi dan mengawasi segala bentuk
kegiatan yang terjadi di atas ruang sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya.
Dengan demikian tanggungjawab terhadap keberadaan ruang dan kelestariannya
dapat dipikul bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar