TANAH UNTUK
RAKYAT[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono
Terbitnya UU
Nomor 13 tahun 2012 tentang Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta dan ditetapkannya Keputusan DPRD DIY Nomor 44 Tahun 2012 tentang
Penetapan Gubernur Sultan Hamengku Buwono X dan Wakil Gubernur KGPAA Paku Alam
IX Periode 2012-2017 adalah sebuah keniscayaan. Berlikunya proses yang
dilakukan menunjukkan bahwa persoalan keistimewaan DIY merupakan persoalan
nasional yang musti dikaji secara mendalam. Realitas keistimewaan DIY yang
tidak terbantahkan dapat dicermati pada
buku yang berjudul “Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku
Bowono IX” yang disunting oleh Atmakusumah, April 1982 yang berulangkali
dicetak kembali, dan terakhir terbit sebagai edisi revisi Juni 2011. Buku
tersebut menunjukkan dedikasi dan komitmen yang luar biasa Sri Sultan HB IX
untuk rakyat dan bangsa Indonesia.
Tahta untuk
rakyat dan bangsa Indonesia tergambar secara jelas pada tulisan berjudul ‘Apa
yang Akan Terjadi dengan Republik Jika Tidak Ada Hamengku Bowono IX?’ tulisan
Mohamad Roem pada buku di atas. Tidak ada yang menyangsikan peran Sultan HB IX
bagi rakyat dan bangsa ini, sehingga apa yang disebut dengan Tahta Untuk Rakyat
adalah kebenaran sejarah. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah tanah (Tanah
SG-PAG) juga untuk rakyat?
Secara historis, yuridis dan sosiologis, sampai
saat ini eksistensi tanah SG-PAG di DIY masih ada dan diakui keberadaannya oleh
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Masyarakat mengakui bahwa SG–PAG masih
menjadi hak milik atau domein bebas dari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman. Bahkan melalui UUK DIY, salah satu kewenangan dalam urusan
keistimewaan adalah kewenangan di bidang pertanahan, khususnya tanah kasultanan
dan tanah kadipaten. Penetapan kasultanan dan kadipaten sebagai subjek hak atas
tanah mengakhiri polemik tentang status SG-PAG.
Persoalan pemanfaatan tanah SG oleh kraton dan
pihak lain, pada dasarnya tidak ada perubahan. Tanah SG-PAG sampai saat ini
dimanfaatkan untuk: (1) Sultan dan Pakualam (tanah keprabon); (2) rumah jabatan, tempat tinggal kerabat kraton, dan
tanah-tanah yang dikuasai atau diberikan kepada pihak ketiga dengan seijin
kraton (dede keprabon); dan (3) kepentingan
pemerintah, masyarakat dan sebagian tanah kosong, yang luasnya 3.675 hektar
(Kanwil BPN DIY, 2012). Terkait dengan tanah magersari, Sultan minta kepada
masyarakat yang mengelola SG tidak perlu resah (KR, 31-08-2012). Beberapa fakta
tersebut menunjukkan bahwa sejatinya tanah-tanah kraton memberikan manfaat bagi
pemerintah dan masyarakat luas. Inilah yang dimaknai sebagai Tanah untuk
Rakyat.
Setelah
inventarisasi tanah SG-PAG secara faktual selesai, beberapa hal yang perlu
diperbincangkan adalah: (1) bagaimana memastikan kembali bahwa tanah tetap
untuk kesejahteraan rakyat tanpa mengurangi hak-hak kraton; (2) tanah SG-PAG
memberikan kontribusi dalam penyediaan ruang terbuka hijau; (3) terdaftar
secara tertib berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanahnya (P4T); (4) menjadikan SG-PAG sebagai asset yang mampu
meningkatkan harmoni sosial dan menjauhkan dari konflik dan sengketa antara
pihak-pihak yang berkepentingan; dan (5) meneguhkan peran SG-PAG sebagai salah
satu keistimewaan DIY secara berkelanjutan.
Beberapa hal di
atas perlu diatur secara rinci ke dalam peraturan daerah istimewa (perdais)
sebagai instrumen untuk mengatur penyelenggaraan kewenangan istimewa di bidang
pertanahan. Agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari, pengaturan
melalui perdais harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara
khusus pengaturan keistimewaan di bidang pertanahan melalui perdais, perlu
diselaraskan dengan pengaturan keistimewaan di bidang tata ruang. Pengaturan kewenangan istimewa di bidang
pertanahan dan tata ruang ini harus didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal
dan keberpihakan kepada rakyat sebagaimana pengaturan dalam penyelenggaraan
kewenangan keistimewaan di bidang yang lain.
Untuk
mendapatkan perdais yang mengatur kewenangan istimewa di bidang pertanahan dan
tata ruang yang baik, berkeadilan dan berkelanjutan perlu diperbincangkan
secara seksama dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan yang berkomitmen
dalam meneguhkan keistimewaan DIY secara berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar