‘MELEK’
AGRARIA[1]
‘Melek’ Agraria dalam konteks ini
penulis maksudkan sebagai sebuah kesadaran bersama mengenai pentingnya
persoalan keagrariaan- termasuk pertanahan- sebagai sumber kemakmuran seluruh
bangsa Indonesia. Pada dasarnya, kesadaran bersama pentingnya persoalan
keagrariaan, secara konstitusional telah terwujud dalam Pasal 33 (3) UUD 1945
yang menyatakan bahwa “bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Kesadaran konstitusional tersebut diimplementasikan hingga
terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, yang lebih dikenal dengan UUPA.
Kelahiran UUPA membawa misi mulia yang
meliputi: (1) perombakan hukum agraria; (2) pelaksanaan land reform; (3)
penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang agraria;
dan (5) penghapusan sisa-sisa feudal dalam bidang agraria. Kelima misi di atas
menunjukkan bahwa ’melek’ agraria sejatinya telah ada pada founding fathers kita, meskipun dalam implementasinya tidak
optimal.
’Melek’
Agraria kembali ditunjukkan melalui kebijakan politik negara. Tap MPR RI Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menunjukkan
hal itu. Kebijakan ini mestinya menjadi
landasan politik dan kebijakan untuk melakukan pembaruan agraria di
negeri ini, sehingga ’melek’ agraria terimplementasi ke dalam strategi dan
kebijakan pembangunan nasional.
Pada awal
2007, negara melalui pemerintah menunjukkan semakin ’melek’ agraria. Kesadaran bahwa
dalam rangka mewujudkan tanah untuk
keadilan dan kesejahteraan, ditetapkan empat
prinsip pengelolaan pertanahan, meliputi: (1) pertanahan berkontribusi
secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber
baru kemakmuran rakyat, (2) pertanahan berkontribusi nyata untuk meningkatkan
tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan; (3) pertanahan berkontribusi
nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan Indonesia; dan (4) pertanahan berkontribusi nyata dalam menciptakan
tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi sengketa dan konflik,
menata sistem pengelolaan yang tidak melahirkan sengketa dan konflik baru.
Dalam
konteks nasional, ‘melek’ agraria yang ditunjukkan oleh negara juga diimbangi
oleh masyarakat, pegiat agraria, dan kalangan akademisi. Wujudnya adalah
munculnya berbagai aksi masyarakat menuntut hak atas tanah, hutan dan
sumberdaya agraria lainnya yang kian hari intensitasnya semakin meningkat. Di
kalangan pegiat dan akademisi muncul Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria
(LiBBRA) yang diinisiasi oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), PKA IPB,
SAINS dan KARSA. Lingkar belajar ini mempelajari,
mendiskusikan dan memproduksi pengetahuan keagrariaan/pertanahan dalam berbagai
bentuk publikasi ilmiah dan buku referensi.
Dalam
konteks lokal, kunjungan Komisi II DPR RI ke Yogyakarta (16-18 Juli 2012) yang
ditandai oleh munculnya aksi oleh berbagai elemen masyarakat yang mengatasnamakan
Forum Sekolah Bersama (Sekber) menunjukkan gejala ‘melek’ agraria di DIY. Dalam
kesempatan tersebut, Forum Sekber di antaranya menuntut untuk dihentikannya
perampasan tanah rakyat dan dilaksanakannya UUPA secara menyeluruh. ‘Melek’
Agraria ditunjukkan juga pada forum kunjungan kerja Komisi II, baik dengan
jajaran Pemprov, DPRD, ORI dan jajaran Kanwil BPN dan STPN. Dalam kesempatan
tersebut tampak jelas bahwa pemaknaan terhadap sumberdaya agraria/tanah di DIY
tidak semata-mata mendasarkan pada aspek yuridis formal belaka, tetapi juga
mempertimbangkan aspek historis, sosiologis dan faktual yang terjadi dalam
masyarakat.
‘Melek’
Agraria pada aras nasional dan lokal, hendaknya diikuti dengan ‘melek’ agraria
pada aras mikro (personal). Pemaknaan bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial, harus terus didorong. Hal ini dilakukan agar penguasaan atas
tanah tetap menjamin pihak lain untuk dapat memanfaatkan secara sosial. Bahkan
pendirian bangunan pada setiap bidang tanah tidak dilakukan dengan menghabiskan
seluruh luasan bidang, sehingga masih ada ruang yang dapat digunakan untuk
fungsi sosial. Dengan demikian tidak akan muncul komplain masyarakat berkenaan
dengan tertutupnya akses/jalan, ataupun tidak jelasnya batas-batas kepemilikan.
Akhirnya, ‘melek’ agraria merupakan
keharusan bagi semua stakeholder yang berhubungan dengan sumberdaya
agraria/tanah, agar tercapai keseimbangan antara hak dan kewajiban serta
munculnya kesadaran bersama bahwa tanah mempunyai fungsi sosial sekaligus
menjadi sumber kesejahteraan seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar