KEDAULATAN NEGARA Vs KEDAULATAN PANGAN[1]
Indonesia, sebagai sebuah
nation state dengan mayoritas
penduduknya beragama Islam baru saja merayakan dua kemenangan sekaligus. Kemenangan pertama adalah terlepasnya
bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, yang sudah kita nikmati dan
peringati sepanjang 67 tahun. Sepanjang 67 tahun itu pula-lah Indonesia menjadi
sebuah negara yang berdaulat. Kemenangan
kedua adalah keberhasilan menuntaskan puasa ramadhan menuju kesucian
kembali (fitri) sebagai manusia. Ragam kemenangan ini termanifestasi dalam
berbagai bentuk perayaan yang bisa jadi menghabiskan puluhan bahkan ratusan
milyar. Tradisi perayaan 17-an tingkat kampung, kalurahan, kecamatan,
kabupaten, provinsi hingga tingkat nasional dengan berbagai atraksi, termasuk
atraksi & manuver pesawat tempur TNI beriringan dengan tradisi mudik yang
‘menghamburkan’ banyak energi adalah biaya yang harus dibayarkan dalam
merayakan dua kemenangan sekaligus.
Pertanyaan yang kemudian
diajukan secara kritis adalah apakah benar bahwa Indonesia sebagai nation state sudah benar-benar
berdaulat? Apabila sudah, apakah kedaulatan negara ini sudah ditunjukkan oleh
penyelenggara negara melalui terjaminnya kebutuhan pangan bagi seluruh
penduduknya? Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat perayaan dua kemenangan
kita seolah menafikan terancamnya berbagai krisis pangan yang selalu menghantui
bangsa ini. saat. Realitas yang menunjukkan bahwa setiap tahun kita mengimpor
lebih dari 200.000 ekor sapi, 40% kebutuhan gula, 50% kebutuhan garam, 71%
kebutuhan kedelai, 90% kebutuhan susu dan ratusan ribu - jutaan ton beras,
sejatinya adalah ancaman krisis pangan yang begitu menyesakkan.
Sebagai negara yang
berdaulat, Indonesia berkehendak untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Tujuan Negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan
UUD 1945, jelas merupakan misi utama Indonesia sebagai negara berdaulat. Perlindungan
terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, tidak terbatas pada
perlindungan wilayah/teritori negara dari gangguan musuh & ancaman negara
lain, tetapi juga perlindungan terhadap ancaman krisis pangan bagi penduduknya
secara berkelanjutan.
Selama ini perlindungan
terhadap ancaman krisis pangan selalu dibaca sebagai keberhasilan negara dalam
menciptakan ketahanan pangan. Dalam hal ini ketahanan pangan dimaknai sebagai kondisi terpenuhinya pangan
bagi seluruh penduduk, yang tercermin dari tersedianya pangan secara
cukup- baik dalam jumlah maupun mutunya-, aman,
merata, dan terjangkau. Tidak
perduli apakah ketersediaan pangan tersebut tercukupi oleh produksi nasional
ataupun oleh membanjirnya produk impor. Pemaknaan
inilah yang menjadikan negara ini selalu bergantung pada negara lain untuk
mencukupi kebutuhan pangan nasional. Padahal potensi wilayah dengan luas lahan kering sekitar 148 juta ha dan lahan basah termasuk lahan
sawah sekitar 42,9 juta ha (Sabiham, 2007), sangat memungkinkan
Indonesia mampu berdaulat dalam penyediaan pangan.
Setelah 67 tahun bangsa Indonesia
berdaulat secara politik, sudah selayaknya dan sudah seharusnya negara ini
mampu mewujudkan kedaulatan pangan sebagai wujud berdaulat secara ekonomi. Kedaulatan
pangan dimaknai sebagai suatu hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk
memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian,
peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar. Untuk
mewujudkan kedaulatan pangan, diperlukan: (1) pembaruan pgraria; (2) penguatan
akses rakyat terhadap pangan; (3) penggunaan sumberdaya alam secara
berkelanjutan; (4) pangan untuk pangan, tidak sekadar komoditas yang
diperdagangkan; (5) pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi; (6) larangan
penggunaan pangan sebagai senjata; dan (7)pemberian akses petani dalam
perumusan kebijakan pertanian. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari
ketahanan pangan. Mustahil tercipta ketahanan pangan kalau suatu bangsa dan
rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya
(SPI, 2008). Kondisi inilah yang saat ini terjadi di negeri agraris ini.
Kedaulatan
negara secara politis ataupun sering terungkap sebagai kedaulatan politik,
sesungguhnya tidak akan terwujud tanpa kehadiran kedaulatan pangan yang
merupakan satu esensi perwujudan perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia. Untuk itu, dua kemenangan sekaligus ini dapat dijadikan
momentum untuk secara bersama-sama mewujudkan kedaulatan pangan di dalam NKRI
yang berdaulat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar