QUO
VADIS ANSOR[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
Tanggal 24 April tahun ini
merupakan 78 tahun (1934 – 20112) usia Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Usia
yang tidak lagi muda, sebagaimana entitas yang berada di dalamnya. Meskipun
tidak lagi muda, Ansor tetap memiliki pesona dan daya tarik yang luar biasa, utamanya
bagi kepentingan politik kekuasaan. Pesona dan daya tarik inilah yang
memunculkan pertanyaan, kemana Ansor kemudian akan melangkah?
Sebagai sebuah organisasi
kepemudaan sekaligus organisasi
sosial keagamaan yang lahir untuk berkhidmat pada perjuangan bangsa dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju terwujudnya masyarakat yang
demokratis, adil, makmur dan sejahtera berdasarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal
jama’ah, menjadikan Ansor harus menempatkan dirinya secara cerdas dan tepat
dalam pusaran kontestasi politik yang semakin sulit ditebak arahnya. Pilihan
cerdas dan tepat ini sangat diperlukan untuk menuntaskan cita-cita pendirian
organisasi ini sekaligus untuk mengukuhkan idealitas Ansor sebagai pengawal kebhinekaan
NKRI.
Pilihan
cerdas dan tepat yang diringi dengan penguatan pemahaman dan implementasi
nilai-nilai Ahlussunah Wal Jama'ah menjadi sesuatu yang urgent sekaligus
emergency bagi pilihan masa depan Ansor. Nilai tasamuh
(toleransi) dalam mensikapi perbedaan, baik perbedaan keyakinan dengan non
Islam, antar umat Islam maupun antar orang muda NU sendiri akan membawa pada
sikap egaliter yang meneduhkan bagi banyak kalangan. Nilai tawazun (keseimbangan),
dalam keyakinan, pemikiran intelektual maupun dalam praktek kehidupan akan
menuntun Ansor pada kebesaran dan kearifan. Nilai tawassuth (moderat), akan
menjadikan diakuinya eksistensi Ansor secara berkelanjutan. Nilai-nilai utama ini menjadikan Ansor dapat
menerima perkembangan ilmu pengetahuan baru yang mengedepankan rasionalitas dan
pemikiran kontemporer, tetapi tetap menghargai dan menerima pemahaman dan
tradisi keagamaan yang lama, sepanjang memberikan kemaslahatan, manfaat dan
kesejahteraan ummat.
Kondisi
kekinian Ansor, sebagaimana organisasi kepemudaan lain di Indonesia telah terfragmentasi
ke dalam beberapa kelompok. Fragmentasi di Ansor telah melahirkan paling tidak
5 kelompok ‘Ansorian’ (Sutaryono, 2009), yakni: (1) kelompok struktural Ansor
yang secara formal menghela organisasi. Kelompok ini terkesan elitis &
eksklusif, sehingga ruang interaksi dengan lapisan paling bawah menjadi
terbatas; (2) kelompok politik praktis, yakni sekelompok anggota Ansor yang
memfokuskan dirinya pada partai politik. Kelompok ini cenderung membawa &
mengajak Ansor untuk memperkuat partai politik yang diikutinya; (3) kelompok
aktivis pergerakan, yakni kelompok anggota Ansor yang aktif dalam organisasi
non pemerintah (ornop, NGO/LSM). Kelompok ini cenderung lebih progresif dan
terbuka tanpa memperhatikan keterikatan kelembagaan dengan Ansor; dan (4)
Banser, organ inti Ansor yang paling mudah dimobilisasi karena sistem
komandonya. Kelompok ini karena over confidence-nya, terkadang bergerak
sendiri (baik secara institusi ataupun personal anggotanya) tanpa mengindahkan
kaidah-kaidah berorganisasi; (5) floating mass-nya Ansor, kelompok yang paling mudah berubah-ubah
haluan, tergantung pada situasi dan pergerakan kekuatan sosial politik yang ada
di sekitarnya.
Fragmentasi
di atas dikukuhkan dengan tingginya kontestasi politik saat Konggres terakhir
di Surabaya.
Dapat ditengok bahwa pada konggres tersebut semua partai politik besar
menyertakan ‘delegasinya’ untuk bertarung memperebutkan ketua umum. Dan betul,
akhirnya terpilihlah seorang politikus muda sebagai Ketua
Umum GP Ansor. Berakhirnya konggres bukan berarti kontestasi politik pada tubuh
Ansor berakhir, justru pada titik itulah kontestasi politik yang ‘nyata’
dimulai. Statemen Ketua Umum pada berbagai kesempatan menunjukkan terbukanya
peluang meningkatnya ekskalasi kontestasi politik pada instituasi yang
dipimpinnya. Misal statemen: “silahkan aktivis Ansor bergabung dengan partai
politik, apapun partainya, yang penting jadi”, atau juga statemen klasik yang
merupakan strategi politik NU, bahwa “Ansor tidak kemana-mana, tetapi Ansor
berada di mana-mana”.
Disisi
lain ekspektasi yang tinggi juga diletakkan pada Ansor. Bukti ekspektasi yang
tinggi ini dikemukakan oleh Presiden
pada Pidato Harlah Ansor tahun 2008 di
Pasuruan, yang menyatakan bahwa ”GP Ansor tidak cukup menjadi bentengnya ulama,
tidak hanya berjuang untuk Nahdatul Ulama- meskipun itu sangat
penting-, GP Ansor harus menjadi bentengnya Indonesia, harus menjadi bentengnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia, NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari
Myangas sampai Pulau Rote”.
Kemana Ansor akan melangkah,
itu sangat tergantung pada segenap fungsionaris dan anggota organisasinya.
Berbagai macam peluang dan tantangan, beragam ancaman & kelemahan yang
dimiliki, merupakan bekal bagi Ansor untuk menentukan pilihan. Pilihan menuju
penguatan semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan terhadap
segala macam penindasan, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sebagaimana
semangat yang mengiringi kelahiran dan tumbuhnya GP Ansor. Ataukah menceburkan diri ke dalam
putaran kontestasi politik yang kian sengit, dengan harapan mendapatkan
multiplier effect dan spread effect dari para politisi dan parpol. Atau
memainkan peran sebagai institusi yang asik dengan diri sendiri untuk tidak
terbebani pada hiruk pikuk persoalan bangsa dan Negara yang carut marut.
Kesemuanya berpulang
pada Ansor dan segenap anggotanya. Semoga pilihan cerdas dan tepat dapat
dilakukan oleh Ansor untuk tetap berkhidmat pada perjuangan bangsa dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis,
adil, makmur dan sejahtera berdasarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal jama’ah.
Selamat Ulang Tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar