KEMBALI KE AGRARIA[1]
Oleh:
Hari ini 24 September 2012
adalah 52 tahun kelahiran Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang sekaligus
juga diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Lebih dari setengah abad,
Indonesia sebagai nation state telah
memproklamirkan diri sebagai negara agraris. Sebagai konsekuensinya, negara
telah melahirkan kebijakan yang pro petani dan pro sumberdaya agraria dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, yang dikenal dengan UUPA. Lima misi utama yang mengiringi kelahiran
UUPA yang meliputi: (1) perombakan hukum agraria; (2) pelaksanaan land reform;
(3) penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang
agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feudal dalam bidang agraria, merupakan
bukti nyata bahwa kelahiran UUPA dicita-citakan mengakhiri derita petani,
dimana sejak jauh sebelum masa kolonialisme petani kesejahteraan petani tidak
kunjung membaik. Kelima misi yang menjadi ’roh’ kelahiran UUPA yang kemudian
sering tercakup dalam sebutan Reforma Agraria merupakan cita-cita bersama
seluruh bangsa Indonesia.
Pertanyaan yang kemudian pantas untuk diajukan
adalah kenapa kita mesti kembali ke agraria? Bukankah sejak negara ini
berdaulat, Indonesia sudah dikenal dan memprokamirkan diri sebagai negara
agraris?
Regulasi yang pro
petani dan penuh ‘spirit’ keagrariaan (UUPA), baru mulai diterapkan diakhir
runtuhnya rejim Orde Lama. Praktis pada era Orde Baru kebijakan keagrariaan
selalu bias pada penguasa dan kaum pengusaha. Perubahan
strategi kekuasaan dari “politik sebagai panglima” pada rejim Orde Lama menjadi
“ekonomi sebagai panglima” pada rejim Orde Baru menjadi legitimasi untuk
mendorong strategi pertumbuhan sebagai strategi pembangunan. Akibatnya,
berbagai regulasi terbit untuk menopang tumbuhnya berbagai macam industry dan korporasi, meskipun harus
dibayar dengan berbagai macam pengorbanan rakyat. Pengorbanan rakyat dengan
tanah adatnya yang dikuasai negara dan kemudian di kapling-kapling dalam bentuk
HPH (Hak Pengusahaan Hutan), Kuasa Pertambangan, HGU (Hak Guna Usaha) untuk
perkebunan maupun hutan produksi lainnya menjadikan jumlah petani gurem semakin
meningkat.
Pada
tahun 1973 – 1980 jumlah petani meningkat 2,8% pertahun, yakni 14 juta menjadi
17 juta petani.Petani gurem yang menggarap lahan pertanian kurang dari 0,5 ha
jumlahnya meningkat dari 6,6 juta menjadi 11 juta orang. Petani tidak bertanah pada
periode yang sama meningkat dari 490.000 menjadi 2 juta orang. Sensus Penduduk
(SP) 1993, jumlah Petani sebesar 20,8 juta, meningkat menjadi 25,4 juta (SP
2003). Jumlah Petani gurem meningkat dari 10,8 juta (SP 1993) menjadi 13,7 juta
petani (SP 2003). Persentase Petani gurem terhadap RT Petani pengguna lahan
juga meningkat dari 52,7% menjadi 56,5%.
Data diatas menunjukkan
bahwa kita sudah meninggalkan karakter sebagai negara agraris. Dimana negara agraris adalah negara yang
sebagian besar penduduknya menggantungkan perikehidupannya dari sektor agraria
dan negaranyapun bergantung pada kekayaan sumberdaya agraria dan sumberdaya
alam yang terkandung didalamnya sebagai sumber kesejahteraan. Munculnya ketimpangan atas penguasaan
sumberdaya agraria, meluasnya eskalasi konflik agraria dan semakin tingginya
ketergantungan pangan kepada negara lain adalah wujud nyata ketidakpedulian
pengambil kebijakan pada masalah agraria.
Ternyata semakin jauhnya
negeri ini dari ke-agraria-an, tidak hanya ditunjukkan oleh kebijakan yang pro
kapital, tetapi juga hilangnya kajian dan studi keagrariaan dari sudut-sudut
kampus. Bahkan pada era rejim
Orde Baru, dapat dikatakan bahwa kajian dan studi keagrarian absen dari
blantika ilmiah dan akademik nasional, sekalipun di perguruan-perguruan tinggi
ternama (Wiradi dan White, 1984). Baru pada awal abad 21 ini, diskursus dan kajian keagrariaan mulai
muncul kembali. Kalangan praktisi pertanahan, pegiat keagrariaan dan kalangan
akademisi yang dimotori oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), mencoba
mengajak kembali ke agraria melalui berbagai kajian dan publikasi. Bahkan reforma agraria tidak sekedar menjadi
gagasan, tetapi sudah menjadi agenda negara- meskipun masih terbatas di
lingkungan BPN RI.
Akankah peringatan
hari agraria dan hari tani ini menjadi tonggak untuk kembali ke agraria?
Ataukah hanya sekedar serimoni yang mengingatkan kembali bahwa negeri kita
adalah negeri agraris, gemah ripah loh jinawi, tongkat kayu dan bambu jadi
tanaman? Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar