Kamis, 31 Januari 2013

Kembali Ke Agraria



KEMBALI KE AGRARIA[1]
Oleh:
Sutaryono

            Hari ini 24 September 2012 adalah 52 tahun kelahiran Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang sekaligus juga diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Lebih dari setengah abad, Indonesia sebagai nation state telah memproklamirkan diri sebagai negara agraris. Sebagai konsekuensinya, negara telah melahirkan kebijakan yang pro petani dan pro sumberdaya agraria dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang dikenal dengan UUPA. Lima misi utama yang mengiringi kelahiran UUPA yang meliputi: (1) perombakan hukum agraria; (2) pelaksanaan land reform; (3) penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feudal dalam bidang agraria, merupakan bukti nyata bahwa kelahiran UUPA dicita-citakan mengakhiri derita petani, dimana sejak jauh sebelum masa kolonialisme petani kesejahteraan petani tidak kunjung membaik. Kelima misi yang menjadi ’roh’ kelahiran UUPA yang kemudian sering tercakup dalam sebutan Reforma Agraria merupakan cita-cita bersama seluruh bangsa Indonesia.

Pertanyaan yang kemudian pantas untuk diajukan adalah kenapa kita mesti kembali ke agraria? Bukankah sejak negara ini berdaulat, Indonesia sudah dikenal dan memprokamirkan diri sebagai negara agraris?
Regulasi yang pro petani dan penuh ‘spirit’ keagrariaan (UUPA), baru mulai diterapkan diakhir runtuhnya rejim Orde Lama. Praktis pada era Orde Baru kebijakan keagrariaan selalu bias pada penguasa dan kaum pengusaha. Perubahan strategi kekuasaan dari “politik sebagai panglima” pada rejim Orde Lama menjadi “ekonomi sebagai panglima” pada rejim Orde Baru menjadi legitimasi untuk mendorong strategi pertumbuhan sebagai strategi pembangunan. Akibatnya, berbagai regulasi terbit untuk menopang  tumbuhnya berbagai macam industry dan korporasi, meskipun harus dibayar dengan berbagai macam pengorbanan rakyat. Pengorbanan rakyat dengan tanah adatnya yang dikuasai negara dan kemudian di kapling-kapling dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan), Kuasa Pertambangan, HGU (Hak Guna Usaha) untuk perkebunan maupun hutan produksi lainnya menjadikan jumlah petani gurem semakin meningkat.
Pada tahun 1973 – 1980 jumlah petani meningkat 2,8% pertahun, yakni 14 juta menjadi 17 juta petani.Petani gurem yang menggarap lahan pertanian kurang dari 0,5 ha jumlahnya meningkat dari 6,6 juta menjadi 11 juta orang. Petani tidak bertanah pada periode yang sama meningkat dari 490.000 menjadi 2 juta orang. Sensus Penduduk (SP) 1993, jumlah Petani sebesar 20,8 juta, meningkat menjadi 25,4 juta (SP 2003). Jumlah Petani gurem meningkat dari 10,8 juta (SP 1993) menjadi 13,7 juta petani (SP 2003). Persentase Petani gurem terhadap RT Petani pengguna lahan juga meningkat dari 52,7% menjadi 56,5%.
Data diatas menunjukkan bahwa kita sudah meninggalkan karakter sebagai negara agraris. Dimana negara agraris adalah negara yang sebagian besar penduduknya menggantungkan perikehidupannya dari sektor agraria dan negaranyapun bergantung pada kekayaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang terkandung didalamnya sebagai sumber kesejahteraan. Munculnya ketimpangan atas penguasaan sumberdaya agraria, meluasnya eskalasi konflik agraria dan semakin tingginya ketergantungan pangan kepada negara lain adalah wujud nyata ketidakpedulian pengambil kebijakan pada masalah agraria.
Ternyata semakin jauhnya negeri ini dari ke-agraria-an, tidak hanya ditunjukkan oleh kebijakan yang pro kapital, tetapi juga hilangnya kajian dan studi keagrariaan dari sudut-sudut kampus. Bahkan pada era rejim Orde Baru, dapat dikatakan bahwa kajian dan studi keagrarian absen dari blantika ilmiah dan akademik nasional, sekalipun di perguruan-perguruan tinggi ternama (Wiradi dan White,  1984). Baru pada awal abad 21 ini, diskursus dan kajian keagrariaan mulai muncul kembali. Kalangan praktisi pertanahan, pegiat keagrariaan dan kalangan akademisi yang dimotori oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), mencoba mengajak kembali ke agraria melalui berbagai kajian dan publikasi.  Bahkan reforma agraria tidak sekedar menjadi gagasan, tetapi sudah menjadi agenda negara- meskipun masih terbatas di lingkungan BPN RI.
Akankah peringatan hari agraria dan hari tani ini menjadi tonggak untuk kembali ke agraria? Ataukah hanya sekedar serimoni yang mengingatkan kembali bahwa negeri kita adalah negeri agraris, gemah ripah loh jinawi, tongkat kayu dan bambu jadi tanaman? Wallahua’lam.


[1] Dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, 24 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar