URGENSI REFORMA AGRARIA[1]
Reforma Agraria adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, terutama tanah untuk
kepentingan petani, buruh tani dan rakyat kecil pada umumnya ketika terdapat
ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber –
sumber agraria di negeri yang konon disebut agraris ini. Reforma agraria ini
juga diorientasikan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan terjaminnya ketahanan
pangan. Dalam konteks ini dapat dimaknai bahwa reforma agraria adalah upaya
penataan kembali penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria
untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan struktur dan distribusi penguasaan
sumberdaya agraria termasuk di dalamnya adalah
sumberdaya lahan. Namun demikian reforma agraria tidak cukup diletakkan pada
konteks keterbatasan akses masyarakat atas sumberdaya agraria tetapi lebih luas
lagi pada persoalan kelangsungan dan keberlanjutan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
agraria untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terbukanya akses
masyarakat terhadap sumberdaya agraria sama sekali belum bisa menjamin terjadinya
perubahan menuju kesejahteraan apabila kebijakan pembangunan tidak memberikan
peluang bagi keberlanjutan usaha masyarakat atas sumberdaya agraria.
Reforma Agraria yang disebut pula sebagai pembaruan agraria ini perlu
segera diformulasikan menjadi sebuah agenda aksi yang dapat diimplementasikan.
Dalam konteks ini pemerintah tidak perlu ragu lagi untuk mengagendakan
pembaruan agraria menjadi sebuah program
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan kesempatan
kerja yang lebih luas. Landasan legal bagi pemerintah untuk segera melaksanakan
pembaruan agraria sudah ada sejak diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam ketetapan
tersebut diamanahkan bahwa pembaruan agraria
mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. Hal
tersebut dimaksudkan bahwa pembaruan agraria harus diarahkan untuk meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan. Amanah tersebut mensyaratkan
kepada penyelenggara negara untuk menjabarkannya ke dalam berbagai kebijakan
yang memungkinkan untuk dioperasionalisasikan oleh segenap pemangku kepentingan
di bidang keagrariaan.
Pada akhir tahun 2006 ini, beberapa komponen bangsa Indonesia tengah
disibukkan dengan upaya-upaya mewujudkan Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN). Bahkan Presiden Susilo Bambang
Yudoyono telah memberikan komitmen seluas 8,15 juta hektar lahan untuk
diorientasikan pada PPAN. Momentum ini menjadikan program pembaruan agraria
menjadi satu program bersama bangsa ini yang harus diperjuangkan dan didesakkan
pada pengambil kebijakan untuk segera diimplementasikan. Berkaitan dengan hal ini pertanyaan yang
mengedepan adalah apa urgensinya reforma agraria ditengah begitu pesatnya
perkembangan dunia global dengan teknologi informasinya?
Data terakhir yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui
Susenas, menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2006
mencapai 39,30 juta jiwa yang tersebar di wilayah perdesaan mencapai 24,81 juta
jiwa dan di daerah perkotaan mencapai 14,49 juta jiwa (Heriawan, 2006). Apabila
dihitung berdasarkan jumlah Rumah Tangga Miskin, terdapat 19,1 juta Rumah
Tangga Miskin di negeri yang kaya ini. Ironis memang. Berdasarkan data
tersebut, 63,1% penduduk miskin berada di wilayah perdesaan. Lebih dari itu,
72% dari jumlah penduduk miskin di wilayah perdesaan menggantungkan hidupnya di
sektor pertanian. Ini adalah data yang berhubungan dengan jumlah penduduk
miskin perdesaan yang gantungan hidupnya dari sektor pertanian.
Berdasarkan data terbaru BPS, di seluruh Indonesia terdapat 13,253 juta
Rumah Tangga Pertanian yang hanya menguasai
(belum tentu memiliki) luas bidang tanah kurang dari 0,5 hektar (Heriawan,
2006). Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan tanah oleh rumah tangga petani
sangat memprihatinkan, karena sebagian besar petani kita adalah petani gurem. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh petani
di Pulau Jawa, tetapi juga petani di luar Pulau Jawa. Sebagai contoh 74 dari
100 rumah tangga petani di Jawa adalah petani gurem, di Kalimantan petani gurem
mencapai 28%, dan di Sulawesi mencapi 31,05% dari seluruh rumah tangga petani
(Heriawan, 2006). Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani di negeri
ini dapat dikatakan ‘lapar tanah’.
Berdasarkan data jumlah penduduk miskin dan struktur penguasaan tanah bagi
petani di wilayah perdesaan di atas maka selayaknyalah pemerintah segera
mempercepat terwujudnya Program Pembaruan Agraria Nasional. Artinya komitmen Presiden menyediakan 8,15
juta hektar dalam PPAN tersebut harus segera dijabarkan oleh semua pemangku
kepentingan di bidang keagrariaan. Kerjasama dan kolaborasi lintas sektoral
harus segera dibangun untuk memformulasikan program nasional ini. Egosektoral
yang sering ditunjukkan dan dilakukan oleh berbagai institusi/departemen yang
mengelola sumberdaya agraria perlu dieleminasi mengingat keberhasilan PPAN memberikan implikasi pada
terciptanya ketahanan pangan, terciptanya lapangan kerja secara luas,
meningkatnya kesejahteraan masyarakat, dan terjaminnya ketahanan nasional yang
mantap dan tereduksinya konflik sumberdaya agraria yang selama ini menjadi
persoalan yang krusial. Beberapa elemen/institusi
yang dapat disebutkan untuk ikut
bertanggungjawab dalam program reforma agraria ini antara lain institusi
pemerintah (departemen Kehutanan, Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Pekerjaan
Umum, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, BAPPENAS, BPN, BPS, Pemerintah Daerah,
dll.), kalangan NGO/LSM, akademisi dan masyarakat petani dengan organisasi
taninya. Beberapa elemen ini apabila mampu bekerjasama untuk memformulasikan
dan mendukung program ini maka terwujudnya Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN) secara berkelanjutan adalah sebuah keniscayaan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar