PEMBERDAYAAN PEMUDA:
Masa Depan GP
Ansor [1]
Oleh:
Konteks Kekinian Ansor
Berbicara
tentang semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan dan epos kepahlawanan
yang mengiringi kelahiran dan tumbuhnya Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor),
hanyalah romantisme belaka yang dalam konteks kekinian tidak lagi mendapatkan
tempat yang memadai bagi masa depan Ansor beserta segenap anggota dan
konstituen-nya. Harus diakui bahwa sejarah panjang perjuangan Ansor dan
Banser-nya (Barisan Sebaguna Ansor) dengan semangat kebangsaan, kerakyatan dan
juga keagamaan pada perjuangan kemerdekaan dan penumpasan gerakan komunis pada
waktu itu, merupakan bentuk perjuangan dan prestasi yang luar biasa dan patut
menjadi bahan refleksi untuk perjuangan Ansor ke depan.
Dalam
konteks kekinian, konsistensi dan soliditas Ansor sebagai organisasi sosial
keagamaan yang lahir untuk berkhidmat pada perjuangan bangsa dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia menuju terwujudnya masyarakat yang demokratis,
adil, makmur dan sejahtera berdasarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal jama’ah
perlu dicermati kembali, mengingat: (a) munculnya berbagai pemikiran kaum muda
NU yang didasarkan pada teori-teori kontemporer, yang dianggap ‘kemajon’ oleh
sebagian seniornya di NU; (b) di sisi yang lain, pada wilayah basis (di
perdesaan) terjadi stagnasi pemikiran kaum muda yang cenderung terjebak pada
persoalan-persoalan pragmatis & temporer; (c) dalam pengembangan
intelektualitas, sangat kasat mata adanya ‘pembeda’ antara tradisi fiqh dan
tradisi pemikiran kontemporer yang kritis dan dianggap lebih modern; (d)
tergerusnya Ansor dan NU, baik secara kelembagaan maupun secara personal
(orang-orang nahdliyin) oleh massif-nya kampanye dan pergerakan
organisasi sosial ataupun organisasi politik yang menawarkan berbagai peluang instan;
(e) dikontestasikan identitas ke-NU-an (ke-Ansor-an) dengan identitas-identitas
lain yang dianggap lebih modern dan meng-global.
Beberapa
hal di atas, sebuah kewajaran apabila pada aras praksis terjadi fragmentasi di
kalangan anggota Ansor (dan organisasi orang muda NU lainnya) dan
terbengkelainya persoalan kaderisasi. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman di
lapangan (terutama di DIY), fragmentasi yang terjadi telah melahirkan paling
tidak 5 kelompok yang ‘Ansorian’, yakni: (1) kelompok struktural Ansor yang
secara formal menghela organisasi. Kelompok ini terkesan elitis &
eksklusif, sehingga ruang interaksi dengan lapisan paling bawah menjadi
terbatas; (2) kelompok politik praktis, yakni sekelompok anggota Ansor yang memfokuskan
dirinya pada partai politik. Kelompok ini cenderung membawa & mengajak
Ansor untuk memperkuat partai politik yang diikutinya; (3) kelompok aktivis
pergerakan, yakni kelompok anggota Ansor yang aktif dalam organisasi non
pemerintah (ornop, NGO/LSM). Kelompok ini cenderung lebih progresif dan terbuka
tanpa memperhatikan keterikatan kelembagaan dengan Ansor; dan (4) Banser, organ
inti Ansor yang paling mudah dimobilisasi karena sistem komandonya. Kelompok
ini karena over confidence-nya, terkadang bergerak sendiri (baik secara
institusi ataupun personal anggotanya) tanpa mengindahkan kaidah-kaidah
berorganisasi; (5) floating mass-nya Ansor, kelompok yang paling mudah berubah-ubah
haluan, tergantung pada situasi dan pergerakan kekuatan sosial politik yang ada
di sekitarnya.
Idealitas
Ansor
Ansor
sebagai salah satu tulang punggung, garda terdepan dan penerus Ahlussunah Wal
Jama'ah harus memposisikan diri secara cerdas, tegas dan tepat dalam rangka
dakwah di dalam bingkai paham Ahlussunah Wal Jama'ah. Fragmentasi yang terjadi,
bagi Ansor layak dijadikan amunisi dan argumen riil untuk melakukan konsolidasi
dan pembenahan secara serius agar tidak terjebak dalam friksi yang kontraproduktif.
Fanatisme kelompok secara sempit hanya akan melahirkan gejala perpecahan yang
dapat melemahkan bangunan Islam dan ukhuwah di antara umat Islam.
Penguatan
dalam pemahaman dan implementasi nilai-nilai Ahlussunah Wal Jama'ah menjadi
sesuatu yang urgent sekaligus emergency bagi masa depan Ansor.
Nilai tasamuh (toleransi) dalam mensikapi perbedaan, baik perbedaan
keyakinan dengan non Islam, antar umat Islam maupun antar orang muda NU sendiri
akan membawa pada sikap egaliter yang meneduhkan bagi banyak kalangan. Nilai tawazun
(keseimbanGan), dalam keyakinan, pemikiran intelektual maupun dalam praktek
kehidupan akan menuntun Ansor pada kebesaran dan kearifan. Nilai tawassuth
(moderat), akan menjadikan diakuinya eksistensi Ansor secara berkelanjutan. Nilai-nilai utama ini menjadikan Ansor dapat
menerima perkembangan ilmu pengetahuan baru yang mengedepankan rasionalitas dan
pemikiran kontemporer, tetapi tetap menghargai dan menerima pemahaman dan
tradisi keagamaan yang lama, sepanjang memberikan kemaslahatan, manfaat dan
kesejahteraan ummat. Dalam konteks inilah kaderisasi Ansor dibingkai.
Pemberdayaan
Pemuda: Prasyarat Kaderisasi
Pemberdayaan (empowerment)
adalah kata benda, sedangkan action-nya
adalah kata kerja yaitu memberdayakan atau empowering. Kalau ditilik
lebih jauh lagi, pemberdayaan atau lebih tepatnya disebut sebagai
empowerment merupakan konsep yang sejalan dengan depowerment terhadap
pemikiran-pemikiran mistifikasi keagamaan yang telah berkembang menjadi sebuah
mitos yang membelenggu pemikiran-pemikiran rasionalisitik. Substansi dari konsep empowerment adalah
emansipasi dan liberalisasi serta penguasaan terhadap segala kekuasaan dan
penguasaan (Pranarka & Moeljarto, 1996). Implikasi dari adanya emansipasi
dan liberalisasi ini adalah sesuatu yang disebut sebagai pembebasan yakni
pembebasan manusia dari sebuah kungkungan kekuasaan yang melingkupinya melalui
proses empowerment of the powerless.
Dengan
kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan (Kartasasmita,
1996). Ini berarti bahwa pemberdayaan pemuda adalah upaya untuk memampukan dan
memandirikan dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran terhadap
potensi yang dimilikinya untuk lebih berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini
dapat dimaknai bahwa pemberdayaan pemuda itu salah satunya adalah bagaimana
merubah mind set seseorang dari perasaan tidak mampu, tidak bisa dan
tidak mungkin menjadi merasa mampu, bisa dan sangat mungkin untuk melakukan
perubahan. Adanya pencerahan pada pemuda akan kekuatan dan potensi yang
dimiliki dapat memberikan kesadaran bersama bahwa perubahan menuju
kesejahteraan adalah sebuah keniscayaan.
Nah, apabila Ansor dengan segala
keterbatasannya mampu memberdayakan pemuda secara luas, maka persoalan krusial
yang berhubungan dengan kaderisasi telah terselesaikan. Kaderisasi melaui upaya
pemberdayaan memberikan berbagai peluang untuk: (1) menguatkan kapasitas
pemuda; (2) memberikan visi; (3) mengakui dan menghargai potensi; (4)
memberikan tantangan perubahan; (5) menguatkan hubungan emosional dan
kelembagaan antara pemuda dan Ansor sebagai aktor yang memberdayakan; dan (6) menumbuhkan
sense bergabung dengan Ansor adalah kebutuhan.
Untuk dapat berperan dalam
pemberdayaan pemuda, tampilan Ansor harus mampu memberikan jaminan dinamisasi
aktivitas kepemudaan, mewadahi pergulatan pemikiran fiqh dan kontemporer,
memastikan runtuhnya elitisitas dan ekslusivisme struktural, mengusung agenda
perubahan, responsif terhadap problematika masyarakat dan bangsa, memberikan
kontribusi nyata pada upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tampilan-tampilan yang menimbulkan kekhawatiran, rasa takut, pembebanan sosial
dalam masyarakat mesti direduksi secara maksimal agar dapat mempercepat
akselerasi dalam pemberdayaan.
Akhir kata, pemberdayaan pemuda adalah sebuah
keharusan bagi Ansor apabila akan mengembalikan keemasan Ansor sebagaimana masa
perjuangan tempo dulu. Pemberdayaan pemuda dalam hal ini adalah bagian dari
kaderisasi Ansor secara berkelanjutan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar