Selasa, 02 April 2013

Strategisnya Perdais Pertanahan

www.facebook.com
STRATEGISNYA PERDAIS PERTANAHAN[1]

Oleh:
Dr. Sutaryono[2]

          Terbitnya UU Nomor 13 tahun 2012 tentang Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kemudian diikuti dengan penyusunan perdais lima urusan keistimewaan- yang saat ini masih berproses- merupakan sebuah keniscayaan sejarah yang harus berkontribusi dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis, mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat, menjamin ke-bhinnekatunggalika-an, menciptakan pemerintahan yang baik serta melembagakan peran dan tanggungjawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta. Relevan dengan itu maka penyusunan perda keistimewaan menjadi sesuatu yang urgent dan emergence bagi tujuan UU Keistimewaan. Salah satu raperdais yang menyita perhatian publik adalah raperdais tentang pertanahan.
          Dialog Keistimewaan DIY dalam rangka Penyusunan Raperdais DIY tentang Pertanahan dan Tata Ruang (21-03-2013), yang diselenggarakan oleh Sekretariat Daerah Pemda DIY, menunjukkan strategisnya perdais pertanahan. Adanya kekhawatiran berbagai elemen masyarakat terhadap identifikasi serta perubahan penguasaan dan pemanfaatan atas SG-PAG muncul dalam forum tersebut. Berkenaan dengan identifikasi keberadaan SG-PAG, masih belum menunjukkan adanya data tunggal. Data yang direlease narasumber mencapai sekitar 3% dari seluruh luas wilayah DIY. Sementara itu inventarisasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Kanwil BPN DIY dan Pihak Kraton pada tahun 1993, luas SG-PAG sekitar 1%. Perbedaan data ini perlu segera dilakukan validasi secara menyeluruh, agar tidak terjadi kesimpangsiuran mana yang termasuk SG-PAG dan mana yang bukan.
          Berkenaan dengan penguasaan dan pemanfaatan tanahnya, masyarakat yang selama ini menguasai SG/PAG baik dalam bentuk magersari ataupun bukan, perlu diidentifikasi secara tertib dengan tetap mengedepankan azas kearifan lokal, keberpihakan pada rakyat dan diskriminasi positif sebagaimana telah disebut dalam raperdais.
Berkenaan dengan Tanah Kas Desa, perlu dilakukan pendalaman terhadap regulasi yang mengatur selama ini, mengingat sebagian TKD sudah bersertipikat. Meskipun TKD bersertipikat hak pakai, dalam hal perubahan pemanfaatan dan pelepasan harus seijin Gubernur sesuai dengan Pergub 11/2008 tentang Pengelolaan Tanah Kas Desa. Dengan demikian maka pengaturan terhadap keberadaan TKD, perlu disesuaikan dengan kondisi eksisting pengelolaan selama ini, tanpa harus ditarik kembali menjadi bagian dari tanah SG/PAG sebagaimana substansi dalam raperdais.
Berkenaan dengan hak atas tanah dan hak pemanfaatan atas tanah, dalam raperdais perlu dipisahkan secara jelas. Hak atas tanah hanya dimiliki oleh Kasultanan dan Kadipaten sebagai subjek hak atas tanah berdasarkan UU Keistimewaan DIY. Hak-hak turunan atas tanah SG dan PAG hanya berupa hak pemanfaatan, bukan sebagai hak atas tanah. Dengan demikian, berhubungan dengan pemanfaatan tanah SG/PAG pengaturannya dilakukan melalui hak pemanfaatan atas tanah. Hal ini bermakna bahwa Hak Milik Atas Tanah Kasultanan dan Kadipaten bersifat privat dan bersifat publik. Artinya hak milik ini terdapat kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan secara sekaligus, yang ditujukan bagi sebesar-besar pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Inilah keunikan hak milik atas tanah kasultanan dan kadipaten yang jelas berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Beberapa hal di atas menunjukkan bahwa betapa strategisnya pengaturan pertanahan dalam raperda istimewa ini, yang berimplikasi pada terakomodasinya seluruh elemen masyarakat, baik perorangan, kelompok masyarakat, pemerintah desa maupun badan hukum yang selama ini telah menguasai dan memanfaatkan tanah-tanah kasultanan dan kadipaten.
Mengingat secara substansial, raperdais tentang pertanahan diorientasikan untuk kepentingan kebudayaan, kepentingan sosial, dan/atau kesejahteraan masyarakat, maka ruh ‘Tahta untuk Rakyat’ sebagaimana terelaborasi pada buku yang berjudul “Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Bowono IX” yang disunting oleh Atmakusumah, April 1982 yang berulangkali dicetak kembali, betul-betul menjiwai raperdais pertanahan ini. Terkait dengan hal ini, khsusnya tanah magersari, Ngerso Dalem Sultan telah meminta kepada masyarakat yang mengelola SG tidak perlu resah (KR, 31-08-2012), hal ini mengisyaratkan bahwa pengaturan SG/PAG tetap memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana telah ditunjukkan selama ini bahwa sejatinya tanah-tanah kraton dan kadipaten telah memberikan manfaat bagi pemerintah dan masyarakat luas.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, Selasa 2 April 2013 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM. Deputi Direktur Matapena Institute Yogyakarta