Selasa, 08 November 2022

Perizinan KKPR

 

Perizinan KKPR[1]

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

 

Hari ini, 8 November 2022 adalah Hari Tata Ruang Nasional, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2013. Tidak banyak yang merayakannya, karena Hari Tata Ruang ini oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional diintegrasikan dengan Hari Agraria (24 September) menjadi Hari Agraria dan Tata Ruang (HANTARU). Namun demikian momentum ini perlu dijadikan sebagai media untuk melihat kembali bagaimana Rencana Tata Ruang (RTR) menjadi pengatur beraneka pemanfaatan ruang.

Terbitnya Undang-undang 11/2020 tentang Cipta Kerja yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah 21/2021, penyelenggaraan penataan ruang memasuki babak baru (Opini KR, 8-11-2021). Salah satunya adalah semangat untuk menempatkan RTR sebagai single reference dalam berbagai perizinan pemanfaatan ruang. Pada rezim UU 26/ 2007 jo PP 15/2010 terdapat berbagai perizinan pemanfaatan ruang, yang meliputi: (1) izin prinsip; (2) izin lokasi; (3) izin penggunaan pemanfaatan tanah; (4) izin mendirikan bangunan; dan (5) izin lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Melalui rezim UU 11/2020 jo PP 21/2021 berbagai perizinan tersebut digantikan menjadi satu sistem perizinan yang disebut dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).

 

Kemudahan Berusaha

 

Pada awalnya pemerintah telah menerbitkan PP 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik yang dalam implementasinya dikenal sebagai On Line Single Submission (OSS). Sistem perizinan OSS ini diterapkan dengan tujuan agar menjadi pendukung dalam pengembangan usaha dan/atau kegiatan dan bukan sebagai penghambat kegiatan berusaha (Opini KR, 21-1-2019). Dalam konteks ini, KKPR merupakan salah satu layanan dasar OSS.

 Operasionalisasi KKPR diatur melalui Pemen ATR/Kepala BPN Nomor 13 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang. Jelas dan tegas disebutkan dalam regulasi tersebut bahwa seluruh kegiatan pemanfaatan ruang harus terlebih dahulu memiliki KKPR.  Dalam kerangka ini KKPR diterapkan untuk kegiatan berusaha, kegiatan non berusaha dan kegiatan yang bersifat strategis nasional.

Disamping berperan sebagai perizinan dalam pemanfaatan ruang, KKPR juga berperan sebagai dasar untuk memperoleh tanah bagi pelaku usaha. atau untuk pemohon yang telah memperoleh tanah untuk kegiatan berusahanya. Tidak sekedar sebagai syarat untuk memperoleh tanah saja, tetapi KKPR juga menjadi dasar dalam administrasi pertanahan untuk tanah yang diperoleh oleh pelaku usaha. Dalam konteks ini, KKPR benar-benar berfungsi sebagai single reference dalam pemanfaatan ruang dan perolehan tanah bagi para pelaku usaha.  

Dalam implementasinya, masih terdapat berbagai kendala yang memunculkan beragam permasalahan, yang meliputi permasalahan: (a) regulasi; (b) kelembagaan; (c) sumberdaya manusia; dan (d) sistem dan tata kerja pelayanannya. Berbagai permasalahan tersebut membutuhkan alternatif solusi, agar implementasi perizinan KKPR dapat berjalan dengan baik.

Alternatif solusi terkait regulasi antara lain: (a) mengharmonikan berbagai peraturan yang masih bertubrukan; (b) mendorong dan memfasilitasi pemerintah daerah untuk menerbitkan regulasi (perda atau perkada) yang mengatur pelaksanaan perizinanan KKPR. Alternatif Solusi terkait kelembagaan dapat dilakukan melalui: (a) penguatan koordinasi antar kementerian/Lembaga; (b) penyusunan system dan mekanisme kerja layanan KKPR pada level pemerintah kabupaten/kota; (c) perlunya percepatan penetapan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan mengintegrasikannya ke dalam RDTR dan/atau RTRW; (d) perlunya fasilitasi percepatan pembentukan FPR.

Alternatif Solusi terkait aspek Sumberdaya Manusia, perlu dilakukan melalui: (a) penempatkan SDM secara tepat, baik dari kualitas maupun kuantitas; (b) pemberian edukasi kepada masyarakat luas, khususnya pada para pelaku usaha. Alternatif Solusi pada aspek system kerja adalah: (a) mempercepat proses penyusunan RDTR; (b) penyempurnaan system aplikasi perizinan KKPR yang terintegrasi; (c) peningkatan intensitas sosialisasi kepada semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam perizinan KKPR dan para pelaku usaha.

Beberapa alternatif solusi di atas, perlu segera diprioritaskan agar perizinan berusaha melalui KKPR dapat berjalan dengan baik, memberikan kemudahan dalam perizinan dan memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha maupun masyarakat yang bersinggungan dengan pemanfaatan ruang.


[1] Dimuat pada Kolom Opini SKH Kedaulatan Rakyat, 8 November 2022 hal 11

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM.

Rabu, 19 Oktober 2022

Tuntaskan PTSL

 Tuntaskan PTSL[1]

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) saat ini menjadi icon Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Mengapa? Karena saat ini hampir semua energi dan sumberdaya Kementerian ATR/BPN dikerahkan untuk menyelesaikan PTSL. Mengapa, karena kepastian hak atas tanah sekaligus perlindungan hukumnya menjadi kebutuhan warga negara baik perorangan, badan hukum maupun masyarakat hukum adat. Disamping itu, perintah pendaftaran tanah sudah diamanahkan sejak terbitnya UUPA tahun 1960. Pasal 19 UUPA menyatakan “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia”. Penjelasan Pasal 19 menegaskan bahwa “Pendaftaran tanah akan diselenggarakan dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan”. Amanah pendaftaran tanah tidak hanya dibebankan kepada pemerintah tetapi juga rakyat pemegang hak juga berkewajiban untuk menjalankannya. Inilah barangkali yang menjadi dasar perintah Presidan kepada Menteri ATR/Kepala BPN pada saat pelantikan, untuk segera menyelesaikan pendaftaran tanah.

PTSL adalah kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua objek Pendaftaran Tanah dalam satu wilayah desa/kelurahan yang meliputi pengumpulan data fisik dan yuridis mengenai satu atau beberapa objek Pendaftaran Tanah. Dalam hal ini produk PTSL tidak harus berupa sertipikat, sebagaimana banyak dipahami khalayak, tetapi berupa 4 (empat) produk yakni: (1) K1, bidang tanah yang data fisik dan yuridisnya memenuhi syarat untuk diterbitkan Sertipikat; (2) K2, bidang tanah yang data fisik dan yuridisnya memenuhi syarat untuk diterbitkan Sertipikat namun terdapat perkara dan/atau sengketa;  (3) K3, bidang tanah yang data fisik dan yuridisnya tidak dapat dibukukan dan diterbitkan Sertipikatnya karena subjek dan/atau objek haknya belum memenuhi persyaratan; dan (4) K4, bidang tanah yang objek dan subjeknya sudah terdaftar dan sudah bersertipikat.

 Respon Cepat

Amanah UUPA dan perintah presiden dalam percepatan pendaftaran tanah direspon secara cepat oleh Menteri beserta segenap jajaran Kementerian ATR/BPN untuk segera menuntaskan PTSL dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk kalangan kampus, mengingat begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi. Seturut dengan itu, Kementerian ATR/BPN bekerjasama dengan Fakultas Hukum UGM dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dalam rangka memperingati “62 Tahun UUPA” menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema “Menuntaskan Pendaftaran Tanah Melalui PTSL, Hambatan dan Alternatif Jalan Keluarnya” (15-10-2022).

Pada kesempatan tersebut, Pak Menteri memerintahkan kepada segenap jajaran Kementerian ATR/BPN dan mengajak kepada semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama menuntaskan PTSL. Pada tahun 2025 ditargetkan 126 juta bidang yang ada di seluruh Indonesia dapat diselesaikan pendaftarannya. Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan bahwa PTSL yang sudah dimulai sejak tahun 2017 hingga akhir tahun 2021 telah menghasilkan total bidang tanah terdaftar sejumlah 94,2 Juta (74,8%) dan total bidang tanah bersertipikat sejumlah 79,4 Juta (63 %).

Dalam proses penyelenggaraan PTSL ditemui banyak kendala dan hambatan yang dihadapi. Prof Maria SW Sumardjono selaku Penasehat Utama Menteri ATR/BPN dan Tenaga Ahli Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-undangan, merumuskan berbagai hambatan dan rekomendasi penyelesaiannya, meliputi: (1) teknis-yuridis; (2) tata kelola, dan (3) sosial-budaya; yang apabila tidak diantisipasi dan diatasi berpotensi menghasilkan produk PTSL yang kurang menjamin kepastian hukum. Hambatan teknis-yuridis dicoba diatasi melalui penguatan pengumpulan data pertanahan khususnya data yuridis dengan melakukan verifikasi secara teliti. Hambatan terkait tatakelola diatasi dengan monitoring dan evaluasi berkelanjutan yang hasilnya ditindaklanjuti bersama melalui koordinasi internal pada Kementerian ATR/BPN, antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta koordinasi antara Kementerian ATR/BPN dengan K/L lain. Hambatan sosial-budaya diatasi dengan membangun kesadaran bahwa agenda PTSL adalah agenda bersama yang membutuhkan partisipasi aktif segenap pemangku kepentingan yang terkait dengan penguatan dan kepastian hukum ha katas tanah di seluruh wilayah Indonesia.  

Semoga momentum Peringatan “62 Tahun UUPA” pada tahun 2022 ini memberikan spirit bagi segenap jajaran Kementerian ATR/BPN dan pihak-pihak terkait untuk segera menuntaskan kerja besar PTSL. Semoga.



[1] Dimuat pada Opini Kedaulatan Rakyat, 19 Oktober 2022

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional & Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Senin, 26 September 2022

Amanat UUPA

 

Mengimplementasikan Amanat UUPA

Oleh:

Dr. Sutaryono[1]

 

Hari ini, 24 September 2022 adalah tepat 62 tahun lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sungguh, UUPA ini adalah produk politik dan kebijakan yang luar biasa. Disamping prosesnya yang lama (bahkan terlama) dan melibatkan khalayak luas dalam proses penyusunannya, secara substansi mempunyai spirit nasionalisme yang sungguh-sungguh berorientasi pada kemandirian bangsa dan kesejahteraan masyarakat melalui pembaruan agraria.

Orientasi di atas dicerminkan oleh misi utama yang mengiringi kelahiran UUPA, yakni: (1) merupakan tonggak perombakan hukum agraria; (2) memberikan amanat pelaksanaan land reform; (3) pentingnya penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feudal dalam bidang agraria. Kelima misi tersebut menunjukkan bukti bahwa terbitnya UUPA dicita-citakan untuk mewujudkan hukum agraria nasional, menatakembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Inilah yang dimaksudkan dengan Amanat UUPA.

Secara politis, pasca tumbangnya rezim Orde Baru amanat UUPA kembali diingatkan untuk segera diimplementasikan. Melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, pemerintah ditugaskan untuk segera mengimplementasikan amanat UUPA tersebut. Dalam rangka pembaruan agraria tersebut pemerintah bersama DPR ditugaskan untuk segera mengatur pelaksanaan pembaruan agraria melalui beberapa arah kebijakan yang meliputi: (1) melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor; (2) melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan; (3) menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis; (4) menyelesaikan konflik-konflik  sekaligus dapat mengantisipasi munculnya potensi konflik; (5) memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik; (6) mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik.

Dalam konteks kekinian, Amanat UUPA yang ditegaskan kembali melalui Tap IX/MPR/2001 tersebut telah menjadi spirit Visi-Misi Presiden-Wakil Presiden yang merintah saat ini. Pada Visi-Misi “Meneruskan Jalan Perubahan Untuk Indonesia Maju: Berdaulat, Mandiri, Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”, secara jelas menempatkan “redistribusi asset (reforma agraria) demi pembangunan berkeadilan” sebagai salah satu program aksinya. Ada 3 agenda yang ditawarkan, yakni: (1) mempercepat redistribusi aset (reforma agraria) dan perhutanan sosial yang tepat sasaran guna memberikan peluang bagi rakyat yang selama ini tidak memiliki lahan/asset untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi; (2) melanjutkan pendampingan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan, dan produksi atas tanah objek reforma agraria dan perhutanan sosial; dan (3) melanjutkan percepatan legalisasi (sertifikasi) atas tanah milik rakyat dan tanah wakaf, sehingga memiliki kepastian hukum dan mencegah munculnya sengketa atas tanah.

Publik tentu mengkhawatirkan, bagaimana mungkin ketiga agenda tersebut bisa dijalankan dengan baik ketika pemerintah tengah mengedepankan dan mengakselerasi kemudahan berusaha dan investasi melalui UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja? Inilah tantangan yang harus dihadapi. Saat ini Presiden telah memerintahkan Kementerian ATR/BPN melalui Menteri dan Wakil Menteri yang baru untuk segera: (1) menyelesaikan pensertifikatan tanah milik rakyat; (2) penanganan sengketa dan konflik pertanahan, termasuk mafia tanah; serta (3) menangani permasalahan tanah dan tata ruang di Ibu Kota Nusantara (IKN). Ketiga perintah presiden ini tentu melengkapi agenda strategis nasional yang sedang diemban oleh Kementerian ATR/BPN yang lain seperti akselerasi reforma agraria, percepatan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan transformasi digital. Inilah agenda-agenda pemerintah dalam rangka menjalankan amanat UUPA, yang tentu saja harus diharmonikan dengan kebijakan kemudahan berusaha dan investasi. 

Momentum peringatan hari lahir UUPA ini perlu dijadikan refleksi bersama, sekaligus pengingat bahwa kita semua berkewajiban untuk menjalankan Amanat UUPA dengan sungguh-sungguh agar misi yang diemban oleh UUPA dapat diwujudkan, Semoga.



[1] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Sabtu, 13 Agustus 2022

Merdeka dari Mafia Tanah

 

KR, 13 Agustus 2022 Hal 1

Merdeka dari Mafia Tanah

 

Merdeka dari Mafia Tanah[1]

Oleh: Dr. Sutaryono[2]

 

Momentum Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-77 ini musti dijadikan spirit bersama untuk membebaskan diri dari mafia tanah. Mengapa? Karena kejahatan dengan objek tanah hingga saat ini masih sangat meresahkan dan menjadi ancaman bagi kita. Hal ini ditunjukkan Ketika pada pekan lalu, publik kembali disuguhi terungkapnya beberapa dugaan mafia tanah. Terungkapnya kasus ini memunculkan spekulasi bahwa kasus mafia tanah laksana ‘gunung es’ yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan serius.

Komitmen penanganan dan penanggulangan mafia tanah telah ditunjukkan oleh pemerintah melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan jajarannya. Hal ini tentu sejalan dengan perintah Presiden saat melantik Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto, S.I.P, sebagai Menteri ATR/KBPN menggantikan Sofyan A. Djalil. Arahan Presiden sangat jelas dan tegas, yakni memberikan 3 (tiga) tugas kepada Menteri ATR/KBPN yang baru untuk: (1) menyelesaikan pensertifikatan tanah milik rakyat; (2) penanganan sengketa dan konflik pertanahan, termasuk mafia tanah; serta (3) menangani permasalahan tanah dan tata ruang di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Dalam beberapa kesempatan Menteri ATR/KBPN menyatakan bahwa “dalam penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan, termasuk pemberantasan mafia tanah harus terjalin sinergi antara 4 (empat) pilar, yaitu Kementerian ATR/BPN, Pemerintah Daerah, Aparat Penegak Hukum dan Lembaga Peradilan”. Sinergi inilah yang tampaknya sudah mulai menunjukkan hasilnya, yakni terungkapnya beberapa kasus yang diduga melibatkan mafia tanah.

Mafia tanah adalah penjahat yang menggunakan tanah sebagai objek kejahatan, melalui persekongkolan yang melibatkan berbagai pihak yang terkait dalam pengurusan dan pelayanan pertanahan. Mengapa tanah menjadi sasaran objek kejahatan bagi para mafia? Paling tidak terdapat 4 (empat) alasan mengapa tanah menjadi objek mafia, yakni: (a) tanah merupakan properti yang paling bernilai; (2) tanah mempunyai sifat scarcity atau langka; (3) tanah mempunyai sifat transferability atau mudah untuk dipindahtangankan; (4) sistem administrasi pertanahan yang belum sepenuhnya memberikan jaminan keamanan bagi pemegang hak atas tanah (Opini KR, 27-12-2021).

 

Antisipasi Munculnya Mafia

Upaya penanganan mafia tanah harus dilakukan secara bersama-sama dan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Tidak hanya melibatkan 4 (empat) instansi sebagaimana disebutkan oleh Pak Menteri, tetapi lebih luas dengan melibatkan pemerintah desa, warga masyarakat dan pihak lain yang terkait. Strategi yang perlu dikembangkan adalah top down dan bottom up.  Strategi yang dimaksudkan disini lebih bersifat preventif atau pencegahan, mengingat strategi penanganan yang bersifat kuratif sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Strategi top down menjadi domain Kementerian ATR/BPN. Beberapa agenda yang sedang dan perlu diupayakan oleh Jajaran Kementerian ATR/BPN antara lain adalah: (1) transformasi digital terhadap data dan informasi pertanahan; (2) digitalisasi layanan pertanahan. Layanan ini diorientasikan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas pelayanan, sekaligus mencegah manipulasi data dan informasi; (3) pencanangan Program Desa Lengkap atau Kalurahan Lengkap yang berujung pada terwujudnya Kabupaten/Kota Lengkap. Desa/Kalurahan Lengkap adalah desa/kalurahan yang seluruh bidang-bidang tanah yang berada di wilayah tersebut sudah memenuhi syarat lengkap dan valid baik secara spasial maupun yuridis; (4) mengkampanyekan kembali pentingnya mewujudkan Catur Tertib Pertanahan yang berisikan tertib, hukum, tertib administrasi, tertib penggunaan serta tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. 

Strategi bottom up dimulai dari masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah dan pemerintah desa/kalurahan, antara lain: (1)   pemegang hak atas tanah harus memastikan bahwa tanahnya sudah terdaftar dan bersertipikat; (2) pemegang hak atas harus menjaga dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan sifat hak yang dimilikinya. Prinsip right, restriction dan responsibility harus terinternalisasi pada semua pemegang hak atas tanah; (3) Pemerintah desa/kalurahan harus memiliki dan/atau dapat mengakses data pertanahan secara lengkap, sehingga peluang untuk penyalahgunaan data dan informasi pertanahan pada level desa dapat diantisipasi.

Strategi top down dan bottom up ini apabila dapat dilakukan secara simultan, maka kemerdekaan terhadap ancaman mafia tanah dapat diwujudkan.



[1] Dimuat pada Kolom ANALISIS, SKH Kedaulatan Rakyat, 13 Agustus 2022 Hal 1

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Kamis, 09 Juni 2022

GTRA Summit 2022

 

GTRA Summit[1]

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]


Pertemuan Puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit), saat ini tengah digelar di Wakatobi, Sulawesi Tenggara (8 – 10 Juni 2022). Acara yang akan dihadiri langsung oleh Presiden ini merupakan pertemuan puncak dari rangkaian pembahasan lintas sektor yang difasilitasi melalui forum GTRA  yang dibentuk oleh Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, dengan tanggung jawab menuntaskan hambatan pelaksanaan Program Strategis Nasional Reforma Agraria.

Lebih dari dua dekade sejak amanah Reforma Agraria digulirkan melalui Tap No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, realisasinya hingga saat ini dapat dikatakan masih minimalis. Problem utama Reforma Agraria pasca terbitnya Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) dan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria adalah permasalahan kelembagaan.

Permasalahan kelembagaan sangat terkait dengan delivery kebijakan dan alokasi anggaran. Saat ini pada level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sudah terbentuk GTRA. Selama lebih dari 2 tahun GTRA Pusat sangat gencar melakukan sosialisasi dan koordinasi antar kementerian/lembaga untuk mencari bentuk kolaborasi dan sinergi yang tepat dan produktif untuk menjalankan agenda Reforma Agraria. Namun demikian, pada level daerah masih terdapat beberapa permasalahan, seperti belum adanya kelembagaan yang menangani agenda Reforma Agraria pada level desa. Sementara itu pemerintah provinsi dan bupaten/kota yang menjadi leading sector agenda Reforma Agraria melalui GTRA belum berperan secara optimal. Oleh karena itu agenda GTRA Summit 2022 ini merupakan momentum yang sangat tepat dan kuat untuk menuntaskan hambatan pelaksanaan Program Strategis Nasional Reforma Agraria.

GTRA Summit ini juga menjadi bagian dari agenda Presidensi G20 di Indonesia, yang secara khusus akan mendiskusikan persoalan sustainability dan inclusivity, utamanya dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah. Tema yang diusung dalam perhelatan ini adalah “Menuju Puncak Presidensi G20: Pemulihan Ekonomi yang Inklusif dan Berwawasan Lingkungan melalui Reforma Agraria, Harmonisasi Tata Ruang, dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Kepulauan”.

                                                      Berbagi Peran

Tema di atas dipilih mengingat persoalan pertanahan dan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum secara optimal berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bahkan ada kecenderungan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih jauh tertinggal dibandingkan wilayah lain.  Padahal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini banyak hidup masyarakat lokal yang terus termarjinalkan akibat keterbatasan sarana prasarana dan keterbatasan aksesibilitas. Di sisi lain, status penguasaan dan pemilikan tanah dan ruang pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum mendapatkan kepastian hukum secara jelas dan tegas. Tumpang tindih penguasaan tanah dan pemanfaatan ruang antara masyarakat lokal dengan otoritas kehutanan, pertambangan maupun kawasan pengembangan pariwisata yang dikelola oleh suatu badan usaha, masih menjadi permasalahan yang memerlukan penyelesaian secara cepat dan tepat. Kepastian hukum penguasaan dan pemilikan tanah bagi masyarakat lokal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dijamin oleh Negara menjadi sesuatu yang urgent sekaligus emergence.

Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana tema diatas membutuhkan kolaborasi multipihak, yang masing-masing memahami kewenangan, tugas dan fungsinya serta mempunyai komitmen kuat untuk menjalankannya. Berbagi peran antar stake holder adalah sebuah keniscayaan, mengingat: (a) agenda Reforma Agraria merupakan agenda bersama yang membutuhkan partisipasi aktif seluruh stake holder terkait; (b) kementerian/lembaga terkait sudah mempunyai komitmen yang kuat untuk menjalankan reforma agraria; (c) GTRA dipimpin langsung oleh Gubernur dan Bupati/Walikota yang mempunyai otoritas dalam kebijakan dan penganggaran; (d) OPD pemerintah daerah mempunyai tugas menyiapkan program dan mengalokasikan anggaran untuk mendukung agenda reforma agraria apabila Gubernur dan Bupati/Walikota mempunyai political will untuk menjalankannya; (e) kalangan akademisi dan organisasi masyarakat sudah memahami urgensi reforma agraria untuk dijalankan; dan (f) masyarakat selaku pihak yang akan mendapatkan benefit pasti akan berpartisipasi aktif apabila dilibatkan. Semoga GTRA Summit ini menghasilkan arahan kebijakan dan program yang dapat segera direalisasikan untuk suksesnya reforma agraria.



[1] Dimuat pada Kolom Opini, SKH Kedaulatan Rakyat, 9 Juni 2022 hal 11

[2] Staf Pengajar pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Rabu, 18 Mei 2022

Gumregah Bersama, Membangun Sleman

 

Gumregah Bersama, Membangun Sleman[1]

Oleh: Sutaryono[2]

Tanggal 15 Mei 2022 adalah tahun ketiga peringatan Hari Jadi Kabupaten Sleman di tengah suasana pandemi. Peringatan hari jadi ini mengambil tema “Sesarengan Mbangun Sleman, Sleman Gumregah”. Tema ini adalah tema yang tepat dan sangat relevan dengan kondisi masyarakat Sleman saat ini.

Masa pandemi memberikan dampak yang cukup significant terhadap kondisi sosial ekonomi Kabupaten Sleman. Pertumbuhan ekonomi di Sleman turun cukup tajam, hingga minus 3,91%. Sementara itu, angka kemiskinan pada tahun 2020 naik menjadi 8,12% dari 7,41%. Begitu juga dengan angka pengangguran yang trend-nya menurun, sampai ke 3,93% pada tahun 2019, pada tahun 2020 naik menjadi 5,09%. Nilai Indeks Pembangunan Manusia yang menunjukkan kemudahan akses penduduk terhadap hasil-hasil pembangunan juga mengalami penurunan, dari 83,85 di tahun 2019 menjadi 83,84 di tahun 2020 (RPJMD Kabupaten Sleman 2021 – 2025).

Tahun lalu, melalui tema Optimalisasi Potensi Lokal Dalam Rangka Penanganan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi Masyarakat”, masyarakat beserta seluruh unsur Pemerintah Daerah secara bersama-sama berupaya memulihkan ekonomi masyarakat yang terpuruk akibat pandemi. Upaya tersebut belum mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Angka kemiskinan pada tahun 2021 justru naik menjadi 8,64% dan angka pengangguran menjadi 5,17%. Namun demikian, nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sleman justru mengalami kenaikan, menjadi 84,0. Angka ini merupakan IPM Kabupaten tertinggi secara nasional,

Angka IPM yang baik ini menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat Kabupaten Sleman di tengah suasana pandemi-pun mampu membangun dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui perbaikan usia harapan hidup dan hidup sehat, akses dan layanan pengetahuan serta adanya perbaikan standar hidup layak.       

Pemulihan sektor ekonomi mengalami kemajuan yang positif. Pertumbuhan minus 3,91% pada tahun 2020, melalui berbagai upaya mampu di atasi dengan pertumbuhan positif hingga 5,56%. Namun demikian, pertumbuhan positif ini belum mampu mengurangi angka ketimpangan yang diukur dengan Indeks GINI. Indeks GINI Kabupaten Sleman pada masa pandemi terus menunjukkan kenaikan (semakin timpang). Pada tahun 2019 pada angka 0,417, naik menjadi 0,42 pada tahun 2020 dan menjadi 0,425 pada tahun 2021. Secara spesifik, permasalahan pada sektor ekonomi teridentifikasi sebagai berikut: (a) masih terdapat ketimpangan pendapatan; (b) belum kuatnya daya saing sektor pertanian, pariwisata, perdagangan dan industri; (c) masih tingginya angka pengangguran; dan (d) masih kurangnya jumlah dan lama tinggal wisatawan (RKPD Kabupaten Sleman 2023).

Berbagai permasalahan ekonomi dan sosial yang dihadapi masyarakat Sleman sebagaimana di atas, ternyata tidak berdampak pada pengurangan usia harapan hidup warga. Bahkan usia harapan hidup warga Sleman terus menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2019 pada angka 74,77 meningkat menjadi 74,81 pada tahun 2020 dan pada tahun 2021 menjadi 74,92. Angka ini berada di atas rata-rata nasional dan menjadi angka harapan hidup tertinggi di Indonesia.

 

Gumregah Membangun Sleman

 

 Melalui momentum Peringatan Hari Jadi Sleman Ke-106 (1916 – 2022) ini, Pemerintah Kabupaten Sleman beserta segenap warganya berupaya untuk bersama-sama gumregah membangun Sleman. Beberapa prioritas pembangunan sudah dicanangkan melalui Musrenbang RKPD Tahun 2023 yang meliputi: (a) mengurangi angka kemiskinan; (b) memperkuat ketahanan ekonomi; (c) meningkatkan kualitas Kesehatan; (d) meningkatkan kualitas pendidikan; (e) memperkuat infrastruktur untuk mengurangi ketimpangan wilayah; (f) meningkatkan kualitas pelayanan publik; (g) meningkatkan kualitas lingkungan hidup; dan (h) meningkatkan penerapan nilai-nilai budaya di masyarakat.

Prioritas pembangunan di atas hendak dicapai melalui tag line ”Sesarengan Mbangun Sleman, Sleman Gumregah” sebagai tema peringatan hari jadi tahun 2022. Tema ini dimaknai sebagai ajakan untuk bersama-sama membangun Sleman dengan semangat dan bangkit pasca pandemi agar ekonomi bangkit dan kondisi sosial masyarakat segera pulih.

Upaya membangun Sleman tersebut dibingkai dalam 3 (tiga) tema pembangunan yang meliputi: (a) pemulihan ekonomi dan reformasi struktural; (b) meningkatkan daya saing SDM dan sektor ekonomi unggulan; dan (c) meningkatkan daya saing dan perekonomian rakyat untuk peningkatan kesejahteraan Masyarakat Sleman.  



[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 13 Mei 2022

[2] Dr. Sutaryono, Pengajar pada STPN Yogyakarta dan Anggota Dewan Penelitian dan Pengembangan Sleman

Senin, 18 April 2022

Manajemen Pertanahan IKN

 

Manajemen Pertanahan IKN[1]

 

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

 

Pada tanggal 18 Januari 2022 RUU Ibu Kota Negara resmi disahkan menjadi UU 3/2022 tentang Ibu Kota Negara. Pro kontra tentu mengiringi kebijakan dan implementasi kebijakan pemindahan ibu kota tersebut. Naskah ini tidak dimaksudkan untuk masuk dalam perdebatan pro dan kontra, tetapi lebih pada elaborasi pemindahan IKN dalam perspektif manajemen pertanahan, mengingat seluruh tapak pembangunan IKN masih bertumpu pada tanah.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan manajemen pertanahan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya tanah untuk mendapatkan hasil yang baik. Hal ini meliputi semua kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan pertanahan sebagai sumberdaya baik dari aspek lingkungan maupun aspek ekonomi, termasuk sektor pertanian, pertambangan, perkebunan, maupun sektor properti serta perencanaan wilayah kota dan daerah (UN, 1996). Dalam perkembangannya manajemen pertanahan menjadi sebuah paradigma yang digunakan dalam tata kelola pertanahan pada negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, yakni land management paradigm (Enemark, 2005). Paradigma manajemen pertanahan ini terdiri atas tiga komponen utama yaitu: (1) kerangka kebijakan pertanahan (land policy framework); (2) infrastruktur informasi pertanahan (land information infrastructure); dan (3) pengaturan kelembagaan (institutional arrangement). Ketiga komponen tersebut bekerja secara simultan dan mendukung fungsi administrasi pertanahan (land administration function).   

Dalam praksis ke-Indonesia-an, saat ini paradigma manajemen pertanahan diadopsi oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) ke dalam Rencana Strategis Kementerian ATR/BPN Tahun 2020 – 2024. Disebutkan dalam renstra tersebut bahwa tata kelola pertanahan yang diwujudkan dalam fungsi administrasi pertanahan mencakup proses-proses yang terkait dengan penguasaan tanah (land tenure), nilai tanah (land value), penggunaan tanah (land use) dan pengembangan tanah (land development). Terciptanya empat fungsi administrasi pertanahan dengan berbasiskan bidang-bidang tanah, akan menjamin terwujudnya pengelolaan pertanahan yang berkelanjutan.

Data dari beberapa sumber menunjukkan bahwa luas tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan IKN sekitar 256 ribu hektar, yang akan dialokasikan untuk kawasan pengembangan seluas 193 ribu hektar, kawasan ibu kota 56 ribu hektar, dan kawasan inti 6.700 hektar. Dalam konteks ini Kementerian ATR/BPN telah memastikan bahwa status tanah Kawasan IKN clean and clear.

Dalam kerangka kebijakan pertanahan, pembangunan kota perlu diarahkan pada kebijakan yang mendasarkan pada Tap MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yakni: (1) terselenggaranya pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T) secara komprehensif dan sistematis; (2) mampu menyelesaikan konflik-konflik pertanahan dan pemanfaatan ruang sekaligus dapat mengantisipasi munculnya potensi konflik.

Terkait dengan komponen infrastruktur informasi pertanahan, pembangunan IKN ini mensyaratkan tersedianya data kadaster dan informasi geospasial tematik pertanahan dan ruang multiguna, yang siap untuk mendukung fungsi administrasi pertanahan dan penataan ruang untuk mendukung tata kelola pertanahan yang baik menjadi poin penting dalam pembanguan IKN sebagai kota berkelanjutan. Dalam konteks ini infrastruktur informasi pertanahan dimaknai sebagai Informasi Data Spasial yang merupakan integrasi dari teknologi informasi, kebijakan dan administrasi pertanahan, yang memiliki tujuan untuk mempermudah kegiatan berbagi pakai informasi spasial guna pengambilan keputusan, mengurangi duplikasi dan redundansi data serta meningkatkan kualitas data spasial (Pinuji, 2016). Secara praksis, data pertanahan berbasis bidang yang dihasilkan melalui IP4T dapat ditindaklanjuti melalui pengukuran dan pemetaan secara kadastral dan menjadi IDS utama, yang dapat diisi dengan informasi-informasi tematik yang dibutuhkan dalam pembangunan dan pengelolaan IKN.

Dalam pengaturan kelembagaan, berdasarkan UU 3/2022 tentang IKN, pelaksana kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara, dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. Namun demikian, kelembagaan yang mengelola pertanahan tetap berada pada Kementerian ATR/BPN, yang operasionalisasinya ada pada Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan. Dalam konteks ini penerapan manajemen pertanahan dalam pembangunan IKN menjadi hal yang urgent sekaligus emergence.


[1] Dimuat pada Kolom ANALISIS SKH Kedaulatan Rakyat, 16-04-2022

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM