Senin, 14 Desember 2015

Mengingat Kembali Deklarasi Djoeanda



MENGINGAT KEMBALI DEKLARASI DJOEANDA[1]

Oleh:
Sutaryono[2]

Banyak orang melupakan atau bahkan tidak tahu, bahwa tanggal 13 Desember adalah hari bersejarah yang mengukuhkan wilayah kedaulatan Republik Indonesia sebagai wilayah yang utuh hingga saat ini. Tepatnya 13 Desember 1957, adalah terbitnya Deklarasi Djoeanda yang diorientasikan untuk: (a) mewujudkan bentuk wilayah NKRI yang utuh; (b) menentukan batas wilayah NKRI sesuai dengan asas negara kepulauan; (c) pengaturan lalu lintas pelayaran yang lebih menjamin keselamatan dan keamanan NKRI; dan (d) menggantikan ‘Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939’, yang menyatakan bahwa laut teritorial hanya 3 mil laut dari garis pantai ketika surut terendah, yang berdasarkan pada asas pulau demi pulau secara terpisah. (BIG, 2012). Menurut ordonansi peninggalan Belanda tersebut, di antara pulau-pulau di Indonesia terdapat perairan internasional yang bukan wilayah kedaulatan NKRI.
Deklarasi Djoeanda memiliki arti penting bagi wilayah kedaulatan bangsa Indonesia, mengingat wilayah Indonesia menjadi wilayah yang utuh dengan laut teritorial diukur sejauh 12 mil dari garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau terluar. Hal inilah yang menjadikan Deklarasi Djoeanda merupakan titik penting dari sejarah wilayah kedaulatan NKRI, dimana sebelumnya tidak memiliki menjadi memiliki perairan kepulauan dengan kedaulatan penuh.

Kedaulatan Negara

Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia berkehendak untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan Negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, jelas merupakan misi utama Indonesia sebagai negara berdaulat. Perlindungan terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meliputi wilayah darat dan lautan. Inilah yang mendasari pentingnya memperluas perspektif agraria, tidak sekedar tanah tetapi juga laut dan sumberdaya alam lainnya.
Secara konstitusional, makna agraria terdapat dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang  terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".  Makna tersebut dijabarkan ke dalam UUPA yang menempatkan pengertian agraria dalam perspektif ‘ruang’ dan bukan semata-mata ‘bidang tanah’. Ternyata pengertian ‘agraria’ dalam UPPA hakikatnya adalah sama dengan pengertian ‘ruang’ dalam UU Penataan Ruang. Dalam konteks ini maka laut merupakan bagian dari agraria yang juga berperan sebagai ruang hidup.

Implementasi Hak Menguasai Negara

Pengelolaan dan alokasi sumberdaya agraria oleh negara harus dilakukan secara adil dan berkelanjutan, melalui prinsip Hak Menguasai oleh Negara (HMN) atas bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang operasionalnya selama ini ‘hanya’ terbatas pada tanah. Padahal sumberdaya agraria sebagai ruang hidup tidak hanya terbatas pada tanah saja tetapi juga laut.
Untuk itu dapat dipahami bersama bahwa agraria merupakan sebuah sistem dan objek sumberdaya yang terdiri dari bumi, air, dan ruang angkasa beserta potensi yang dikandungnya untuk sebesar-besar kemakmuran bagi seluruh rakyat secara berkelanjutan, tidak hanya sumberdaya tanah tetapi juga laut. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian oleh seluruh pemangku kepentingan berkaitan dengan Hak Menguasai Negara untuk mengelola sumberdaya agraria.
Pertama, di samping negara agraris, Indonesia juga sebagai negara kepulauan (archipelago states). Ini bukan sekedar klaim, tetapi sudah mendasarkan pada hukum laut internasional (United Nations Convention Law of the Sea – UNCLOS). Konsekuensinya adalah, negara perlu segera memprioritaskan pengelolaan sumberdaya laut berikut isinya tanpa mengurangi perhatian pada pengelolaan tanah dan sumberdaya alam; Kedua, menempatkan potensi negara kepulauan sebagai peluang dalam meningkatkan integrasi bangsa melalui pengelolaan sumberdaya agraria termasuk laut dengan mengakomodasi kepentingan ekologis dan kepentingan-kepentingan daerah, masyarakat lokal berikut ragam budaya dan etnisnya; Ketiga, mengintegrasikan kebijakan pengelolaan sumberdaya agraria termasuk laut dan isinya, diorientasikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan terwujudnya kemandirian bangsa.
Untuk itu peringatan Deklarasi Djoeanda ini perlu dijadikan momentum untuk bersama-sama membangun negeri ini dengan mengoptimalkan seluruh wilayah kedaulatan NKRI tanpa kecuali.   



[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 12-12-2015 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Pengajar pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta

Selasa, 08 Desember 2015

Keadilan Agraria Basis Persatuan Indonesia



Keadilan Agraria Basis Persatuan Indonesia[1]

Oleh:
Sutaryono*

            Pekan ini, 28 Oktober 2015 adalah 87 tahun Sumpah Pemuda, yang merupakan tonggak persatuan seluruh Bangsa Indonesia. Secara ringkas isi naskah Sumpah Pemuda adalah “Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu Bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
Secara substantif sumpah tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah nasionalisme ke-Indonesiaan yang luar biasa, yang mengandung daya ikat dan patriotisme kebangsaan bagi seluruh anak bangsa. Refleksi yang perlu kita lakukan berkenaan dengan momen Sumpah Pemuda ini adalah, apakah nasionalisme dan patriotisme kebangsaan tersebut masih kita junjung bersama? Pertanyaan ini muncul ketika, rasa keadilan kita terkoyak oleh munculnya konflik horisontal di Tolikara dan Aceh, konflik dan perebutan lahan diberbagai wilayah, termarjinalkannya masyarakat di wilayah sumberdaya alam oleh berbagai aktivitas korporasi, hingga hilangnya akses petani terhadap lahan pertanian.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa persoalan nasionalisme dan patriotisme akan mulai luntur ketika ada ketidakadilan, utamanya berhubungan dengan ruang hidup dan penghidupan masyarakat. Artinya, kohesivitas dan solidaritas sosial akan tumbuh dan berkembang mewujud pada Persatuan Indonesia manakala setiap warga negara telah terpenuhi kebutuhan dasarnya, yakni pangan, sandang, papan serta kesehatan dan pendidikan.

Agraria sebagai Ruang Hidup

Berkaitan dengan ruang hidup masyarakat Indonesia, baru saja kita peringati hari agraria, hari pangan, sebentar lagi kita peringati hari tata ruang, bahkan baru saja dicanangkan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (Hantaru), yang kesemuanya berupaya mewujudkan keadilan agraria. Lebih dari itu, tema Hantaru 2015 adalah ‘tanah untuk ruang hidup yang memakmurkan dan menenteramkan’. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh elemen bangsa Indonesia telah bersepakat untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.  
Cita-cita luhur tersebut tidak bakal terwujud tanpa adanya Persatuan Indonesia. Dalam hal ini Persatuan Indonesia dimaknai sebagai negara yang melindungi segenap bangsa Indonesi, mengatasi segala macam paham, aliran, etnis dan golongan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Melindungi segenap bangsa memiliki makna bahwa negera berkewajiban menjamin kelangsungan hidup seluruh warganya melalui akses terhadap ruang hidup dan penghidupan masyarakat yang berupa sumberdaya agraria secara adil dan berkelanjutan.

Keadilan Agraria

Keadilan agraria tidak hanya dimaknai pada pada distribusi sumberdaya tanah belaka, tetapi meliputi ruang darat (bumi), ruang laut (perairan) dan seluruh kekayaan alam di dalamnya, termasuk hutan, pertambangan dan sumberdaya kelautan. Landasan politik untuk mewujudkan keadilan agraria ini sudah muncul pasca reformasi, yakni melalui Tap MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pembaruan agraria dimaknai sebagai proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Sumberdaya agraria perlu ditata kembali agar ketimpangan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Apabila hal ini dapat dilakukan, maka setiap warga negara dapat mempunyai akses yang sama terhadap sumberdaya agraria, sehingga ruang hidup dan penghidupannya dapat terjaga. Ketersediaan ruang hidup dan penghidupan masyarakat melalui akses terhadap sumberdaya agraria inilah yang mampu berperan dalam menjaga kohesivitas dan solidaritas sosial. 
Berkenaan dengan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang yang tidak dapat dilakukan oleh masyarakat, maka negara mempunyai peran untuk mengaturnya, baik melalui perusahaan milik negara maupun kerjasam dengan pihak swasta. Dalam hal ini pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan, dan diorientasikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Akhirnya, akankah peringatan hari Sumpah Pemuda ini mampu menjadi tonggak untuk Persatuan Indonesia yang memberikan keadilan agraria sebagai ruang hidup? Ataukah hanya sekedar serimoni yang mengingatkan kembali bahwa negeri kita pernah mempunyai mimpi untuk mewujudkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 5 Nopember 2015
* Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM.

Kamis, 26 November 2015

Stop Pembangunan Hotel



Tegakkan Aturan Pembangunan Hotel[1]
Oleh:
Sutaryono[2]

“Tak Ada Regulasi, Perang Tarif Hotel Kian Memprihatinkan’ (KR, 27-6-2015), menunjukkan bukti nyata bahwa maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta perlu dicermati secara seksama dan hati-hati. Meskipun sudah ada moratorium pembangunan hotel, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan hotel masih nampak di sana-sini. Pembangunan hotel seyogyanya tidak hanya untuk kepentingan investasi dan pendapatan daerah semata, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi ekologis (ketersediaan ruang & air), kenyamanan warga masyarakat, keberadaan bangunan cagar budaya serta keberlanjutan Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan daerah tujuan wisata.
Secara ekologis, ketersediaan ruang di Kota Yogyakarta sudah semakin terbatas. Meskipun ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Yogyakarta sudah memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, yakni 31,65% yang terdiri dari RTH Publik sebesar 17,17% dan RTH Privat sebesar 14,49%, tetapi ada kecenderungan mengalami penurunan apabila tidak ada perlindungan secara kuat terhadap keberadaan RTH. Demikian pula yang terjadi terhadap lahan pertanian yang semakin menyusut.
Berkenaan dengan sumberdaya air, kondisinya semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian Dinas PUP-ESDM DIY, penurunan muka air tanah di Kawasan Perkotaan Yogyakarta terjadi secara permanen, dengan rata-rata 20 – 30 cm per tahun. Salah satu penyebabnya adalah gencarnya pembangunan fisik yang menggusur daerah resapan air serta  eksploitasi air tanah oleh sejumlah hotel dalam jumlah yang besar.
Munculnya isu ‘Jogja Asat’, ‘Jogja Ora Didol’ dan ‘Jogja Berhenti Nyaman’ menunjukkan gerahnya sebagian warga Yogya yang kenyamanannya sudah mulai terganggu. Padahal kenyamanan sebuah wilayah adalah harapan semua warga, yang sekaligus prasyarat teruwujudnya sustainable city. Chapin & Kaiser, (1979) menyebutkan bahwa ruang kota/wilayah harus memiliki 4 (empat) fungsi, yakni: (1) works areas, lokasi yang berfungsi sebagai tempat bekerja; (2) living areas, lokasi yang berfungsi sebagai tempat tinggal; (3) shopping and leisure-time/entertainment center areas, lokasi yang berfungsi untuk sarana prasarana dan fasilitas umum; dan (4) open space system and environmental protection, lokasi yang berfungsi untuk ruang terbuka hijau dan pelestarian lingkungan.
 Keprihatinan yang lain adalah diberitakannya pada berbagai media mengenai ‘musnah’-nya bangunan cagar budaya akibat pembangunan sebuah hotel di tengah kota. Realitas ini menunjukkan bahwa pembangunan hotel semakin mengkhawatirkan.
Semangat membangun hotel tidak diikuti dengan peningkatan jumlah wisatawan, sehingga terjadi over supply kamar yang berujung pada perang tarif antara hotel (KR, 27-06-2015). Pertanyaan yang menggelitik adalah, mengapa sudah terjadi over supply kamar tetapi pembangunan hotel masih terus berlangsung?
Berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, saat ini terdapat 80 hotel berbintang (80 ribu kamar) dan 1.100 hotel non bintang dengan sekitar 12 ribu kamar. Jumlah hotel yang terus meningkat ternyata belum berkontribusi positif dalam peningkatan pendapatan daerah, justru pendapatan pajak daerah dari hotel di Dinas Pajak dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta tidak mencapai target (KR, 27-06-2015).
Berkenaan dengan hal di atas, beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seluruh stake holder yang berkepentingan terhadap keberadaan hotel adalah: (a) melakukan kajian secara cermat kebutuhan dan ketersediaan kamar hotel (berbintang dan non bintang), termasuk home stay, wisma, losmen dan penginapan milik warga masyarakat, agar diketahui secara pasti masih diperlukan pembangunan hotel baru atau tidak; (b) mengoptimalkan pemanfaatan home stay, wisma, losmen dan penginapan milik warga masyarakat untuk menampung wisatawan, sebagai bagian keistimewaan Yogyakarta sebagai destinasi wisata; (c) melindungi wilayah Yogyakarta dari kerusakan ekologis yang semakin parah, utamanya ketersediaan RTH dan sumberdaya air; (d) menjaga bangunan cagar budaya yang dilindungi dari berbagai ancaman tumbuhnya bangunan modern, seperti hotel, apartemen dan mal; (e) memastikan Yogya sebagai wilayah yang nyaman, baik bagi warga masyarakatnya maupun bagi para pendatang dan wisatawan.
Kiranya filosofi hamemayu hayuning bawana masih mampu menjaga kelestarian dan keberlanjutan Yogyakarta sebagai daerah istimewa, apabila betul-betul dijadikan dasar dalam pembangunan, termasuk pembangunan hotel. 


[1] Dimuat di SKH KR, 30 Juli 2015 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Jumat, 16 Oktober 2015

Tantangan Kelembagaan Penataan Ruang



TANTANGAN KELEMBAGAAN[1]
DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN RUANG

Sutaryono
Email: taryo_jogja@yahoo.com
www.manajemenpertanahan.blogspot.com
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta


ABSTRAK

Kelembagaan penataan ruang pada Kabinet Kerja Joko Widodo – Jusuf Kalla menapaki babak baru, dengan digabungnya ke dalam Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Persoalannya adalah, bagaimana kelembagaan tata ruang yang selama ini sudah eksis dengan Kementerian PU dan penyelenggaraan penataan ruang menjadi domain pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, harus bergeser ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, yang selama ini merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersifat vertikal.
Naskah ini mencoba mengelaborasi peluang dan tantangan implementasi kebijakan penataan ruang dalam kelembagaan yang baru. Content analisys dipilih sebagai metode yang tepat untuk mengkaji regulasi dan kelembagaan yang berhubungan dengan penataan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang yang selama ini bias pada perencanaan dan pemanfaatan ruang serta seolah abai dengan pengendalian pemanfaatan ruang, mendapatkan momentum tepat dengan bergabungnya kelembagaan penataan ruang ke dalam Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Hasilnya menunjukkan bahwa: (a) Penyatuan agraria dan tata ruang dalam satu kementerian bukanlah suatu hal yang a-historis, tetapi ‘senapas’ dengan konstitusi. Bumi, air dan kekayaan alam adalah makna agraria secara konstitusi yang kemudian dijabarkan dalam UUPA. Makna ini inherent dengan makna ruang dalam Undang-Undang Penataan Ruang; (b) sinkronisasi penyelenggaraan penataan ruang dengan pengelolaan pertanahan mutlak diperlukan agar terwujudnya tertib ruang dan tertib penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat terealisasi; (c) integrasi kelembagaan penataan ruang dan pertanahan perlu dilakukan pada level pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Kata kunci: penataan ruang, agraria, pertanahan, kelembagaan  


1.    PENDAHULUAN
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja, merupakan babak baru dalam penataan kelembagaan pertanahan dan tata ruang. Hal ini ditunjukkan oleh munculnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang disandingkan dengan Badan Pertanahan Nasional. Kementerian ini lingkup kerjanya meliputi penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang tata ruang dan bidang pertanahan. Berdasarkan peraturan presiden tersebut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional memimpin dan mengkoordinasikan: (a) penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang tata ruang yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum; dan (b) penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional,
Tampak bahwa penyatuan bidang keagrariaan, tata ruang dan pertanahan adalah upaya menata kelembagaan yang berlandaskan pada konstitusi dan regulasi dalam pengelolaan agraria dan sumberdaya alam, Visi dan Misi Pemerintah RI 2014 – 2019 serta kebutuhan dalam menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan pertanahan, agraria dan tata ruang.
Pada dasarnya kelembagaan pertanahan mengalami dinamika yang luar biasa, apalagi apabila ditarik sejak kelahiran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan UUPA. Lima misi utama yang mengiringi kelahiran UUPA yang meliputi: (1) perombakan hukum agraria; (2) pelaksanaan land reform; (3) penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feudal dalam bidang agraria. Pencapaian misi utama UUPA tersebut mensyaratkan ketersediaan berbagai resources yang memadai, utamanya adalah sumberdaya manusia yang ahli dan profesional di bidang keagrariaan.  Sumberdaya manusia yang ahli dan professional tersebut dimaknai sebagai sumberdaya manusia yang mempunyai kecakapan, kemahiran dan ketrampilan untuk melaksnakan tugas dan mengembangkan pelayanan dalam bidang penataan kembali penguasaan dan pemilikan tanah, pengaturan dan pendaftaran hak atas tanah, pengaturan administrasi pertanahan, pengaturan penggunaan tanah maupun dalam penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan. Sumberdaya manusia di bidang ini hanya mungkin diwujudkan melalui kelembagaan keagrarian dan pertanahan.
Dalam konteks kekinian, Perpres Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja, telah ditindaklanjuti dengan Perpres Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Perpres Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional. Kedua perpres ini mengganti Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang diubah dengan Perpres 85 Tahun 2012 dan terakhir dengan Perpres 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana kelembagaan tata ruang yang selama ini diatur oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan menjadi domain pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, harus bergeser ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, yang selama ini merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersifat vertikal?

2.    DINAMIKA KELEMBAGAAN AGRARIA, PERTANAHAN DAN TATA RUANG
Secara garis besar sejarah kelembagaan agraria tidak bisa dipisahkan dengan kelembagaan keagrariaan pada masa kolonial. Pada masa kolonial (Belanda), telah diberlakukan Agrarische Wet, mulai Tahun 1870. Pada masa ini Pemerintah Belanda mengeluarkan Ordonansi (Staatblad 1823 No. 164), dimana penyelenggaraan kadastral diserahkan kepada lembaga kadastral yang bernama Kadasteral Dient. Mengingat strategisnya lembaga ini, pejabatnya diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Lembaga ini masih terus berlaku hingga lahirnya Undang-undang Pokok Agraria[2].
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), pengaturan keagrariaan – pertanahan tidak berbeda jauh dengan masa penjajahan Belanda. Jawatan Kadasteral Dient, masih tetap berada di bawah Departemen Kehakiman dengan sebutan Jawatan Pendaftaran Tanah. Pada masa ini Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan pelarangan pemindahan hak atas benda tetap/tanah (Osamu Sierei No. 2 Tahun 1942) dan penguasaan tanah-tanah partikelir oleh Pemerintah Dai Nippon juga dihapuskan[3].
Pada masa kemerdekaan (1945-1960), pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri berupaya menyempurnakan regulasi yang mengatur tentang keagrariaan – pertanahan, mengingat hukum pertanahan yang berlaku saat itu adalah hukum Belanda. Upaya pertama yang dilakukan pemerintah adalah membentuk Panitia Agraria Yogyakarta berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948. Pembentukan panitia ini bertujuan untuk menyiapkan lahirnya unifikasi hukum agraria-pertanahan nasional yang berbasiskan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia. Pada tahun 1951, melaui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951 dibentuk Panitia Agraria Jakarta yang menggantikan Panitia Agraria Yogyakarta.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955, pemerintah membentuk Kementerian Agraria yang dipisahkan dari Departemen Dalam Negeri. Pembentukan Kementerian Agraria ini diorientasikan untuk: (a) mempersiapkan pembentukan perundang-undangan di bidang keagrariaan; (b) melaksanakan dan mengawasi perundang-undangan keagrariaan serta memberikan petunjuk tentang pelaksanaannya; (c) menjalankan segala upaya untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah bagi rakyat Indonesia.
Pada tahun 1956, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta yang menggantikan Panitia Agraria Jakarta dan bertugas untuk mempersiapkan proses pembentukan Undang-undang Pokok Agraria. Pada tanggal 1 Juni 1957, draf Rancangan UUPA telah dapat diselesaikan oleh Panitia Negara Urusan Agraria. Pada saat yang sama, melalui Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula berada di bawah Kementerian Kehakiman dialihkan ke Kementerian Agraria.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958, ditetapkan pengalihan tugas dan wewenang yang menyangkut keagrariaan dari Menteri Dalam Negeri ke Menteri Negara Agraria serta dimulainya pembentukan kelembagaan agraria di tingkat provinsi, karesidenan dan kabupaten/kotamadya.
Pada tanggal 24 April 1958 Rancangan UUPA diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan pada tanggal 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang selanjutnya dikenal dengan UUPA. Berlakunya undang-undang ini mengakhiri adanya dualisme hukum agraria di Indonesia dan Agrarisch Wet dinyatakan tidak berlaku.
Begitu pentingnya pengaturan keagrariaan, maka pada tahun 1964 era Kabinet Dwikora, keagrariaan dikoordinasikan oleh Kementerian Kompartemen Agraria, yang membawahi: (1) Menteri Pertanian (Menteri Mr. Sadjarwo; (2) Menteri Perkebunan (Drs. Frans Seda); (3) Menteri Kehutanan (Sujarwo); (4) Menteri Agraria (Mr. R. Hermanses); (5) Menteri Pembangunan Masyarakat Desa (Ipik Gandamana); dan (6) Menteri Pengairan Rakyat (Ir. Surahman)[4];
Susunan Departemen Agraria diatur melalui Peraturan menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964. Dalam hal ini Kantor Inspeksi Agraria, Kantor Pengawasan Agraria dan Kantor Agraria Daerah, semuanya berada di bawah Kantor Pusat.  Satu tahun kemudian Permenag No 1/1964 ini disempurnakan melalui Permenag No 1/1965 tentang Tugas Departemen Agraria serta penambahan Direktorat Transmigrasi dan Kehutanan ke dalam Kementerian Agraria. Pada tahun ini juga, lembaga keagrariaan-pertanahan ini dikecilkan kembali menjadi setingkat Direktorat Jenderal, meskipun cakupannya bertambah dengan transmigrasi, yakni Dirjend Agraria dan Transmigrasi, dibawah Departemen Dalam Negeri. Tidak sampai satu tahun, urusan transmigrasi ditarik kembali ke Departemen Veteran, Transmigrasi dan Koperasi, sehingga menjadi Dirjend Agraria di bawah Kemendagri.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 1982 susunan Kantor Agraria di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya menjadi Direktorat Agraria Provinsi dan Kantor Agraria Kabupaten/Kotamadya. Sejalan dengan meningkatnya permasalahan keagrariaan, maka Dirjend Agraria Departemen Dalam Negeri ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988.
Berdasarkan regulasi ini, BPN tidak lagi bertanggungjawab kepada Mendagri tetapi langsung kepada Presiden dan cakupan kerjanya semakin luas. Melalui Keputusan Kepala BPN  1/1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah BPN di Propinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kotamadya, maka Kanwil BPN di tingkat provinsi dan Kantah di tingkat kabupaten/kotamadya merupakan instansi vertikal dan bertanggungjawab kepada Kepala BPN.
Kelembagaan pertanahan sebelum Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Jokowi – JK, adalah Badan Pertanahan Nasional yang diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 10/2006 tentang Badan Pertanahan Nasional sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 dan terakhir dengan Perpres 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional. Meskipun pada level perpres sudah mengalami 3 kali perubahan, tetapi kelembagaan di daerah masih mengacu pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 4/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan.
Berdasarkan regulasi di atas secara kelembagaan Badan Pertanahan Nasional merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh Kepala dengan tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dinamika kelembagaan di atas menunjukkan bahwa kelembagaan tata ruang belum atau tidak pernah menjadi bagian dari kelembagaan agraria dan pertanahan. Meskipun pada tahun 1964 sudah terbentuk Menteri Kompartemen Agraria, tetapi di dalamnya belum secara eksplisit disebutkan adanya kelembagaan/kementerian tata ruang. Hal ini karena isu dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang panataan ruang masih belum belum manjadi perhatian. Bahkan dalam konsideran UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang belum menampung tuntutan perkembangan pembangunan, sehingga perlu ditetapkan Undang-undang tentang Penataan Ruang. Salah satu klausulnya, kelembagaan dalam penyelenggaraan, kewenangan, dan pembinaan penataan ruang di tingkat nasional dilaksanakan oleh Menteri. Pada Pasal 29 disebutkan pula bahwa Presiden menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang, meskipun dalam hal ini menteri yang dimaksud juga tidak secara terang disebutkan.
Sedikit lebih maju dibanding UU 24/1992, dalam hal ini UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Panataan Ruang telah menyebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh seorang Menteri (Pasal 9), dan dalam ketentuan umum telah disebutkan bahwa menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang.
Kelembagaan penataan ruang di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH), yang masuk dalam  kabinet Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Perhatian, gagasan serta pemikiran tentang konsep dan pendekatan tata ruang dalam pengembangan wilayah secara kelembagaan masuk struktur pada Kementerian PPLH, yakni pada level Pembantu urusan Tata Ruang yang berada di bawah Asisten Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Hidup Binaan. Secara operasional kelembagaan tata ruang yang bertautan dengan lingkungan hidup adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) nomor 48 tahun 1983 tentang Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di luar Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur, dan Kota Cibinong. Dalam Keppres tersebut diatur koordinasi penataan ruang kawasan dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum, sedangkan koordinasi pengawasan terhadap kegiatan pembangunan dilakukan oleh Menteri Negara PPLH[5].
Sebelum itu, pada awal orde baru telah terbentuk embrio kelembagaan tata ruang pada Departemen Cipta Karya dan Konstruksi (April 1965). Untuk Direktorat Perencanaan Kota dan Daerah. Sampai dengan tahun 1994, Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah masih bertahan di lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Pada tahun 1988-1990, dikembangkan “Konsep Penataan Ruang yang Tanggap terhadap Dinamika Pembangunan Kota” yang lebih dikenal secara ringkas disebut “Konsep Tata Ruang Dinamis”. Konsep ini bertujuan agar penataan ruang itu lebih membumi dalam pelaksanaan yang dapat didukung berbagai program pembangunan di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum maupun departemen lainnya, melalui kelompok kerja manajemen pertanahan, lingkungan hidup perkotaan, pendanaan dan investasi pembangunan kota, kerjasama pemerintah-swasta dan masyarakat, serta kelompok kerja kota baru dan perumahan skala besar. Kelompok-kelompok kerja itu melibatkan berbagai instansi, antara lain Agraria, Perindustrian, Dalam Negeri dan Kantor Lingkungan Hidup[6].
Munculnya Kelompok Kerja Manajemen Pertanahan yang melibatkan berbagai institusi yang dikoordinasikan oleh Departemen Pekerjaaan Umum pada waktu itu menunjukkan bahwa kesadaran bahwa persoalan tata ruang bertautan erat dengan pertanahan dan lingkungan. Sejak itu penataan ruang mulai dirasakan perlu dan kemudian dibentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1989 yang diketuai Menteri Negara PPN/Ketua BAPPENAS. Dalam hal ini Direktorat Tata Ruang dan Tata Daerah (Ditada) tetap diperlukan untuk menyiapkan berbagai rencana tata ruang. Saat itu juga disiapkan Strategi Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR) secara terpadu melalui pendekatan wilayah. Strategi inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Istilah SNPPTR tersebut  muncul pertama kali dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 1980 tentang Jalan[7], jauh sebelum diterbitkannya UU 24/1992 tentang Penataan Ruang.
Pada tahun 1994, Ditada yang masih dalam lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya, berubah menjadi Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Perdesaam (BTPP). Pada masa inilah terbit Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang dalam pemabahasannya melibatkan Menteri Lingkungan Hidup yang pada waktu itu dijabat oleh Emil Salim. Setelah itu ditindaklanjuti dengan dibentuknya Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) melalui Keppres Nomor 75 tahun 1993 berdasarkan amanat pasal 29 UU tersebut dan sebagai pengganti Keppres nomor 53 tahun 1989. Dalam hal ini Direktorat BTPP berperan lebih sebagai “dapur”-nya BKTRN. Dalam dekade ini pula kelembagaan penataan ruang naik kelas menjadi Direktorat Jenderal tersendiri Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah.
Kelembagaan penataan ruang pada kabinet era reformasi terakomodasi melalui terbentuknya Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah (Kimbangwil) yang Departemen ini merupakan departemen pertama yang sangat “berbau” penataan ruang, meskipun masih ada Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum. Pada tahun 2001 terjadi restrukturisasi kelembagaan yang melahirkan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah yang merupakan gabungan dari Departemen Kimbangwil dan Menteri Negara Pekerjaan Umum[8]. Kelembagaan terakhir yang menangani penataan ruang hingga terbentukna Kabinet Kerja Jokowi-JK adalah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, pada Kementerian PU.

3.    KELEMBAGAAN TATA RUANG EKSISTING
Secara kelembagaan, negara mempunyai kewajiban dalam menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang pelaksanaan tugasnya negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Berdasarkan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang mempunyai wewenang dalam:
a.    pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
b.    pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
c.    pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
d.   kerja sama penataan ruang antarnegara dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarprovinsi.
Sampai dengan terbantuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) kelembagaan yang menangani penataan ruang adalah Direktorat Jenderal Penataan Ruang pada Kementerian PU. Ditjend Penataan Ruang ini mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penataan ruang. Tugas pokok dan fungsi kelembagaan penataan ruang yang ditangani oleh Ditjend Penataan Ruang menjadi terintegrasi dengan keagrariaan dan pertanahan dengan terbentuknya Kementerian ATR/BPN. Bahkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 tentang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, urusan penataan ruang berkembang dari satu ditjend menjadi dua ditjend, yakni Ditjend Tata Ruang dan Ditjend Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah.
Direktorat Jenderal Tata Ruang pada Kementerian ATR mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang, dan menyelenggarakan fungsi:
a.    perumusan kebijakan di bidang perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang;
b.    pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan tata ruang, koordinasi pemanfaatan ruang, pembinaan perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang daerah;
c.    penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang;
d.   pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang;
e.    pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang;
f.     pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Tata Ruang; dan
g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, serta menyelenggarakan fungsi:
a.    perumusan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
b.    pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
c.    penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
d.   pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
e.    pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
f.     pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah; dan
g.    pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Menteri.
Kedua kelembagaan tata ruang ini menunjukkan bahwa urusan penataan ruang menjadi hal yang sangat penting dan bertautan dengan keagrariaan – pertanahan. Di samping itu, munculnya kelembagaan pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah pada level ditjend menunjukkan bahwa aspek pengendalian adalah aspek yang sangat strategis dan perlu mendapatkan perhatian. Hal ini sejalan dengan dicanangkannya Program Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R) oleh Ditjend Penataan Ruang, Kementerian PU pada tahun 2014 lalu. Program ini dikedepankan, mengingat sudah saatnya mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan ruang dan perencanaan tata ruang ke pengendalian pemanfaatan ruang (Hadimoeljono, B. 2013).
Program P5R ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang di pusat dan di daerah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta menciptakan tertib tata ruang. Untuk mencapai tujuan tersebut, sasaran yang hendak dicapai program ini adalah:
a.    Terwujudnya tata kelola dan kelembagaan pengawasan dan  pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisien;
b.    Peningkatan peran serta masyarakat atau komunitas dalam  pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang;
c.    Tersedianya mekanisme/tata cara dalam manajemen  pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang;
d.   Tersedianya Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK)  pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang;
e.     Terciptanya aparatur atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang  berkualitas dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Meskipun belum operasional karena adanya restrukturisasi kelembagaan, tetapi program ini sejalan dengan menguatnya rejim pengendalian pemanfaatan ruang sekaligus dengan terbentuknya ditjend pengendalian pemanfaatan ruang dan pertanahan. Bahkan content pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah serta penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar yang berada dalam satu ditjend merupakan langkah produktif dan sangat tepat dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah. Kata pentingnya adalah penyatuan pengendalian pemanfaatan ruang dengan pengendalian penguasaan tanah, yang selama ini masih sektoral dan belum terhubung satu sama lain.
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan pembangunan dan pemanfaatan ruang yang cenderung sektoral, maka dibentuklah Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) melalui Keppres Nomor 4 Tahun 2009 tentang BKPRN. Pada awalnya BKPRN ini berupa Tim Tata Ruang yang dibentuk melalui Keppres Nomor 57 Tahun 1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional, kemudian berubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) melalui Keppres Nomor 75 Tahun 1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. BKTRN tersebut diketuai oleh Menteri PPN/Ketua Bappenas. Pada tahun 2000, BKTRN ini berubah menjadi BKPRN yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Ekuin) melalui Keppres Nomor 62 Tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Terakhir, seiring dengan terbitnya UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, terbit pula Keppres 4/2009 tentang BKPRN. Dalam konteks daerah dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
Pembentukan lembaga BKPRN dan BKPRD ini menunjukkan bahwa urusan tata ruang adalah urusan yang kompleks, multisektor dan multidimensi sehingga dalam penyelenggaraan penataan ruang harus melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan di bawah satu koordinasi. Meskipun demikian, penyelenggaraan penataan ruang di daerah secara khusus dilakukan oleh institusi atau SKPD pemerintah provinsi dan kab/kota. Ada yang menjadi urusan Bappeda dan ada yang berada pada SKPD teknis (dinas), sesuai dengan pengaturan kelembagaan pemerintah daerah masing-masing.

4.    TANTANGAN KELEMBAGAAN TATA RUANG
Pada dasarnya perubahan nomenklatur kementerian tidak hanya sekedar berkenaan dengan tugas dan fungsi kementerian berikut struktur organisasinya yang berubah, tetapi juga ‘ruh’, semangat bahkan ideologi dalam penyelenggaraan pemerintahan juga berubah. Dalam hal ini penyatuan agraria, tata ruang dan pertanahan dalam satu kementerian mempunyai landasan filosofis dan yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang  terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".  Frase ‘dikuasai negara’, dalam hal ini negara tidak memiliki tetapi menguasi dengan ‘Hak Menguasai oleh Negara’ (HMN), yang mempunyai wewenang mengatur, mengelola, dan menyelenggarakan agar tanah-air Indonesia digunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan frasa ‘untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’, mempunyai makna bahwa pemanfaatan sumberdaya alam bukan untuk kepentingan negara atau pemerintah, tetapi untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
            Amanat pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang menurut Yance Arizona (2014) sebagai konstitusi agraria, menjadi landasan yang kuat untuk mewujudkan agenda kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan agraria, ruang dan pertanahan secara terintegrasi. Disisi lain, Nawacita yang dicita-citakan oleh Jokowi–JK, paling tidak memuat tiga agenda yang bertautan sangat kuat dengan persoalan agraria, tata ruang dan pertanahan, yakni: (1) memberikan jaminan kepastian hukum hak kepemilikan atas tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat; (2) peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong landreform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar; serta (3)  mewujudkan kedaulatan pangan melalui perbaikan jaringan irigasi dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru.
Berkaitan dengan konteks pengelolaan pertanahan (land management), Williamson[9] mengemukakan bahwa “Land Administration Systems (LAS) provide the infrastructure for implementing land policies and land management strategies in support of sustainable development”. Dalam hal ini Sistem Administrasi Pertanahan yang menyediakan berbagai infrastruktur untuk menerapkan kebijakan pertanahan dan strategi pengelolaannya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, mutlak diperlukan dalam rangka memastikan terwujudnya tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. LAS terdiri atas land tenure (penguasaan tanah), land use (penggunaan dan pemanfaatan tanah), land value (penilaian tanah), dan land development. Hal ini senada dengan yang tertuang dalam Land Administration Guidelines yang diterbitkan oleh PBB[10]. Berkaitan dengan regulasi, ternyata pengertian ‘agraria’ dalam UPPA hakikatnya adalah sama dengan pengertian ‘ruang’ dalam UU Penataan Ruang (Hutagalung, 2015).
Berkenaan dengan beberapa hal tersebut, beberapa peluang sekaligus tantangan yang perlu direspon dan disiapkan secara kelembagaan dalam implementasi kebijakan penataan ruang:
a.    Harmonisasi regulasi dan content; Makna yang sama antara ‘agraria’ dalam UUPA dan ‘ruang’ dalam UUPR merupakan entry point dalam harmonisasi pengaturan penguasaan tanah (land tenure) dan sumber-sumber agraria lainnya dengan penggunaan dan pemanfaatan ruangnya. Kelembagaan penataan ruang dalam Kementerian ATR/BPN harus mampu melakukan harmonisasi ini, mengingat kelembagaan tersebut sudah berada dalam satu kementerian.
b.    Menempatkan penyelenggaraan penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan) dalam bingkai land management. Dalam hal ini, penguasaan dan pemilikan tanah merupakan satu kesatuan dengan penggunaan dan pemanfaatan ruang. Secara administratif, proses pemberian hak atas tanah harus terintegrasi dengan pemanfaatan ruangnya.
 
Gambar 1. Skema Integrasi Pemberian Hak dan Penataan Ruang
c.    Integrasi Kelembagaan Tata Ruang Daerah. Selama ini kelembagaan tata ruang di daerah berada di pemerintah daerah, baik di Bappeda maupun di SKPD lainnya. Bahkan ada pemda yang memiliki beberapa struktur institusi yang mengurusi tata ruang, misal: di Bappeda ada Bidang Tata ruang, di Dinas PU juga ada Bidang Tata Ruang dan di Sekretariat Daerah juga ada Bagian Tata Ruang. Sinkronisasi dilakukan oleh BKPRD yang diketuai oleh Sekretaris Daerah. Dalam hal adanya beberapa struktur institusi tata ruang yang berbeda-beda, maka perlu dilakukan integrasi menjadi satu SKPD teknis yang berupa dinas, agar kelembagaan tata ruang daerah dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Disisi lain, pengelolaan agraria dan pertanahan dilakukan oleh Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai institusi vertikal di bawah BPN. Dalam hal ini, Kementerian ATR/BPN mempunyai ‘dua kaki’ di daerah, yakni Pemda dan BPN Daerah (Kanwil dan Kantah). Dalam hal ini, sinkronisasi kelembagaan dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN.
d.   Pengaturan hubungan antara kelembagaan tata ruang daerah dengan Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pengaturan hubungan ini penting dalam rangka integrasi pemberian hak atas tanah (oleh BPN) dengan penggunaan dan pemanfaatan ruang (oleh Pemda) yang keduanya berada di bawah koordinasi Kementerian ATR/BPN.
Beberapa hal di atas menjadi tantangan yang harus segera mendapatkan respon, baik oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN maupun oleh Pemerintah Daerah. Perbedaan kewenangan antara BPN sebagai lembaga vertikal dengan Pemerintah Daerah sebagai lembaga pemerintahan yang otonom perlu dijadikan peluang yang produktif untuk menguatkan sinkronisasi dan integrasi penyelenggaraan penataan ruang. Pengintegrasian pemberian hak atas tanah dengan kebijakan penggunaan dan pemanfaatan ruang akan memberikan kemudahan dalam proses-proses perijinan, sekaligus berperan dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan mengantisipasi terjadinya konflik penguasaan atas tanah dan konflik penggunaan dan pemanfaatan ruang.

5. KESIMPULAN
a.    Penyatuan agraria dan tata ruang dalam satu kementerian bukanlah suatu hal yang a-historis, tetapi ‘senapas’ dengan konstitusi. Bumi, air dan kekayaan alam adalah makna agraria secara konstitusi yang kemudian dijabarkan dalam UUPA. Makna ini inherent dengan makna ruang dalam Undang-Undang Penataan Ruang;
b.    Integrasi kelembagaan penataan ruang di daerah perlu dilakukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan penataan ruang sekaligus dalam sinkronisasi kelembagaan tata ruang dengan kelembagaan pertanahan. dengan pengelolaan pertanahan mutlak diperlukan agar terwujudnya tertib ruang dan tertib penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat terealisasi;
c.    Perlunya integrasi dalam pemberian hak atas tanah dengan penggunaan dan pemanfaatan ruang melalui perumusan kebijakan pengaturan kelembagaan tata ruang di daerah dengan Kanwil BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.








6.    DAFTAR PUSTAKA

Arie D.D. Djoekardi & Isa Karmisa, (tt). ‘Kelembagaan Penataan Ruang di Kementerian Lingkungan Hidup’ dalam Sejarah Penataan Ruang Indonesia (Jakarta: Ditjend Penataan Ruang, Kementerian PU).
Arizone, Y. (2014). Konstitusionalisme Agraria. (Yogyakarta: STPN Press)
Badan Pertanahan Nasional, (1998). Dasawarsa Bhumibhakti Adhiguna. (Jakarta: BPN)
Hadimoeljono, B. (2013). ‘Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan Pemanfaatan Ruang yang Efektif’ dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan. Edisi II Tahun 2013. (Jakarta: Direktorta Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas).
Hutagalung, AS (2015). Dibentuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang (tidak dipublikasikan)
Luthfi, AN (2014). Pentingnya Kementerian Kompartemen Agraria. Diakses dari http://koranopini.com/antitesis/item/2276-merancang-tugas-pokok-kementerian-agraria
Renyansih & Budisantoso, (tt). ‘Kelembagaan Tata Ruang di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum sampai Departemen Kimpraswil’ dalam Sejarah Panataan Ruang Indonesia. (Jakarta: Ditjend Penataan Ruang, Kementerian PU)
Sekoleh Tinggi Pertanahan Nasional (2015). Transformasi Kelembagaan Dan Revolusi Mental: Dari Badan Pertanahan Nasional Menuju Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. (Yogyakarta: STPN, tidak dipublikasikan)
United Nations, (1996). Land Administration Guidelines. (New York and Geneva: UN).
Williamson, et all, (2010). Land Administration for Sustainable Development. (ESRI Pres Academic)


[1] Makalah pada Seminar Nasional Tata Ruang dan Sustainable Planning & Culture 2, di UNHI Denpasar, 15 Oktober 2015
[2] BPN, 1998. Dasawarsa Bhumibhakti Adhiguna. Jakarta
[3] Ibid BPN, 1998
[4] Baca tulisan Ahmad Nashih Luthfi, 2014
[5] Arie D.D. Djoekardi & Isa Karmisa, tt. ‘Kelembagaan Penataan Ruang di Kementerian Lingkungan Hidup’ dalam Sejarah Penataan Ruang Indonesia.
[6] Baca lebih detail dalam Renyansih & Budisantoso, tt. ‘Kelembagaan Tata Ruang di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum sampai Departemen Kimpraswil’ dalam Sejarah Panataan Ruang Indonesia.
[7] Ibid, Renyansih & Budisantoso, tt.
[8] Ibid, tt.
[9] Williamson, et all, 2010. Land Administration for Sustainable Development. ESRI Pres Academic
[10] United Nations, 1996. Land Administration Guidelines, New York and Geneva.