Selasa, 05 Desember 2017

Bank Tanah untuk Lahan Pangan Berkelanjutan



Bank Tanah untuk Lahan Pangan Berkelanjutan[1]

Oleh: Sutaryono[2]

Sebagai upaya mewujudkan swasembada pangan melalui ketersediaan lahan, Pemerintah sudah menerbitkan UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Regulasi ini terbit dengan pertimbangan bahwa negara menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi warga negara sehingga negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Namun demikian, hingga kini agenda tersebut masih tampak kedodoran. Konversi lahan pertanian terus terjadi dan sulit dikendalikan. Konversi  lahan pertanian secara nasional diperkirakan mencapai lebih dari 100 ribu hektar per tahun. Dan belum  semua pemerintah daerah mempunyai Perda tentang PLP2B.
Dalam konteks DIY, langkah produktif dan progresif sudah dilakukan. UU 41/2009 tentang PLP2B telah ditindaklanjuti dengan Perda Nomor 10/2011. Sejumlah lebih dari 35 ribu hektar telah diorientasikan untuk penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Lahan tersebut berada di Sleman seluas 12.377 ha,   Bantul dengan luas sekitar 13.000 ha, KulonProgo dengan luas paling kurang 5.029 ha dan Gunungkidul dengan luas 5.505 ha. Meskipun belum sinkron dan terakomodasi dalam RTRW Provinsi DIY dan RTRW Kabupaten/Kota, paling tidak komitmen untuk menjalankan UU dan menyelamatkan lahan pertanian pangan berkelanjutan sudah diwujudkan melalui kebijakan (KR, 22-11-2016).
Pada tahun 2016 yang lalu, Pemda DIY melalui Dinas Pertanian telah melakukan Kajian Evaluasi Implementasi Perda 10/2011 tentang PLP2B. Kajian yang berorientasi untuk mengidentifikasi dan merekomendasikan kawasan lahan pertanian di wilayah DIY yang secara indikatif dapat ditetapkan sebagai Kawasan PLP2B yang kemudian diinputkan dalam Revisi RTRW DIY. Hasil kajian tersebut digunakan untuk mengevaluasi sekaligus memantapkan implementasi  Perda PLP2B di DIY.
Pada akhir tahun ini Dinas Pertanian DIY juga tengah menyelesaikan Kajian Pemberian Insentif dalam Program PLP2B. Agenda ini bertujuan untuk (1) mendorong perwujudan lahan pertanian pangan berkelanjutan; (2) meningkatkan upaya pengendalian alih fungsi LP2B; (3) meningkatkan pemberdayaan, pendapatan, dan kesejahteraan bagi petani; (4) memberikan kepastian hak atas tanah bagi petani; dan (5) meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan dan pengembangan LP2B sesuai dengan tata ruang (Dinas Pertanian DIY, 2017).
Dalam konteks ini persoalan yang muncul berkenaan dengan implementasi UU PLP2B di DIY salah satunya adalah bentuk dan mekanisme pengelolaan LP2B. Oleh karena itu gagasan bank tanah (land banking) dalam pengelolaan LP2B menjadi sebuah kebutuhan yang harus diprioritaskan.
Secara umum konsepsi bank tanah dimaksudkan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyediakan tanah, yang akan dialokasikan penggunaannya di kemudian hari untuk berbagai kepentingan pembangunan baik bagi pelaksanaan pembangunan, baik bank tanah umum (general land banking) maupun bank tanah khusus (special atau project land banking) (Sumardjono, M. 2008). Dalam konteks ini agricultural land banking menjadi layak dikedepankan.
Prinsip Bank tanah, khususnya agricultural land banking  diarahkan pada upaya memberdayakan tanah sebagai kekayaan pemerintah daerah untuk pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sekaligus menjaga keberlanjutan lahan pertanian pangan. Lebih dari itu  lembaga bank tanah ini juga memberikan jaminan ketersediaan lahan dengan mengupayakan peningkatan dayaguna dan hasil guna dalam pemanfaatan lahan pertanian secara optimal dengan cara melibatkan para pemilik secara aktif dalam setiap kegiatan sejak tahap perencanaan, penguasaan sampai pengelolaannya.
Skema land banking untuk mendukung implementasi PLP2B dapat dilakukan melalui pengadaan tanah maupun melalui pendayagunaan tanah terlantar. Mengingat lahan pertanian untuk mendukung penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan bukan termasuk pada kepentingan umum bedasarkan UU 2/2012 maka pengadaan tanah dapat dilakukan melalui mekanisme pembelian langsung berdasarkan kesepakatan antara pemilik lahan dan Pemda DIY sebagai pembeli. Bidang tanah petani dibeli oleh Pemda DIY dengan harga pasar, melalui mekanisme pelepasan hak dan dimohonkan hak baru oleh Pemda dalam bentuk Hak Pakai (HP). Skema melalui pendayagunaan tanah terlantar yang diorientasikan untuk redistribusi tanah kepada petani diperuntukkan sebagai lahan pertanian pangan dan pengaturan pemanfaatannya sebagai lahan pertanian abadi.


[1] Dimuat pada SKH Kedaulatan Rakyat, 05-12-2017
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Prodi Pembangunan Wilayah, Fak Geografi UGM