Selasa, 09 November 2021

Era Baru Penataan Ruang

 

Era Baru Penataan Ruang[1]

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

 

Selamat Hari Tata Ruang. Hari ini (8 November) adalah Hari Tata Ruang Nasional, berdasarkan  Keppres 28/2013. Tidak banyak yang merayakannya, tetapi peringatan Hari Tata Ruang ini perlu dijadikan momentum untuk menjadikan rencana tata ruang (RTR) sebagai guidance pembangunan sekaligus menjadi acuan agar terwujud tertib ruang dan terjaga kelestarian lingkungan. Mengapa? Karena hingga saat ini RTR belum menjadi mainstream (arus utama) dalam pembangunan, bahkan ada kecenderungan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat investasi.

Sewindu peringatan Hari Tata Ruang ini, penataan ruang menapaki babak baru. Terbitnya Undang-undang 11/2020 tentang Cipta Kerja yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, memberikan beberapa terobosan kebijakan penataan ruang dan implementasinya. Pertama, penyederhanaan produk RTR melalui: (a) penghapusan RTR Kawasan Strategis Provinsi dan Kabupaten/Kota; (b) terintegrasinya RTR darat dan laut; (c) pemanfaatan peta dasar selain peta rupa bumi, dengan rekomendasi dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Kedua, percepatan proses penetapan RTRW melalui: (a) pembatasan jangka waktu penyusunan dan penetapan; (b) pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ke dalam materi teknis RTRW; (c) penetapan RDTR melalui peraturan kepala daerah, bukan lagi peraturan daerah.

 Ketiga, penghapusan izin pemanfaatan ruang dan menggantinya dengan mekanisme Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Untuk setiap kegiatan dikenakan mekanisme konfirmasi KKPR pada wilayah yang sudah ada RDTR-nya dan persetujuan KKPR untuk wilayah yang belum ada RDTR-nya. Keempat, mengembangkan pengendalian pemanfaatan ruang melalui: (a) penilaian pelaksanaan KKPR; (b) penilaian perwujudan RTR; (c) pemberian insentif – disinsentif; (d) pengenaan sanksi; dan (e) penyelesaian sengketa penataan ruang. Kelima, pelibatan masyarakat dalam penataan ruang melalui pembentukan Forum Penataan Ruang (FPR), baik pada level pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. FPR ini beranggotakan unsur pemerintah, asosiasi profesi, asosiasi akademisi dan tokoh masyarakat.

Beberapa terobosan kebijakan di atas diharapkan mampu menempatkan RTR sebagai guidance pembangunan, mendukung dan sinergis dengan iklim usaha sekaligus mampu mewujudkan tertib ruang. Namun demikian, terdapat beberapa terobosan kebijakan yang dinilai hanya mempertimbangkan ranah ekonomi dan mengesampingkan ranah sosial dan ekologis.

Terkait dengan hal tersebut, Kertas Kebijakan Catatan Kritis terhadap UUCK (FH UGM, 2020) memuat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: (a) penghapusan perizinan,  yang sebelumnya berupa izin pemanfaatan ruang, izin lingkungan, hingga izin mendirikan bangunan diintegrasikan ke dalam perizinan berusaha melalui mekanisme KKPR berdasarkan pada peta RDTR. Mekanisme ini dikhawatirkan mereduksi kompleksitas dan realitas sosial di lapangan yang berpotensi memunculkan konflik; (b) hilangnya kewajiban penyusunan dan validasi KLHS dalam penyusunan RDTR, dikhawatirkan aspek lingkungan terabaikan; (c) penghilangan kriteria kawasan hutan minimal 30% dalam RTRW, berpotensi mengurangi luas Kawasan hutan demi kepentingan investasi; (d)   penambahan satu kriteria untuk melakukan peninjauan kembali tata ruang kurang dari 5 (lima) tahun karena adanya perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis; (e) adanya pengurangan ruang partisipasi masyarakat, dalam penyusunan dan penetapan RDTR, karena RDTR cukup ditetapkan dengan peraturan kepala daerah; dan (f) adanya perubahan pengenaan sanksi yang lebih mengarah kepada sanksi administratif.

Hal-hal di atas perlu diletakkan sebagai bagian dari upaya produktif dan konstruktif agar penyelenggaraan penataan ruang mampu mendukung kepentingan investasi tetapi tetap berorientasi pada terwujudnya tertib ruang menuju pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu beberapa hal perlu dilakukan, seperti: (a) terobosan kebijakan terkait penyusunan dan penetapan RTR perlu direspon secara serius melalui peningkatan kualitas RTR; (b) kemudahan pemanfaatan ruang melalui KKPR, perlu dijawab melalui proses-proses konfirmasi dan persetujuan yang inklusif dan taat azas; (c) pembentukan dan optimalisasi Forum Penataan Ruang untuk menguatkan partisipasi publik dalam penataan ruang; (d) keterbukaan data dan informasi terkait penataan ruang, utamanya untuk kepentingan investasi agar publik dapat terlibat dalam pengendalian dan pengawasan; dan (e) mengarusutamakan penataan ruang sebagai upaya bersama untuk mewujudkan tertib ruang dan pembangunan berkelanjutan.      



[1] Dimuat pada SKH Kedaulatan Rakyat, Senin 8 November 2021

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM.

Era Baru Penataan Ruang