Kamis, 09 Januari 2014

Diskusi Klas Perpetaan: Pemberdayaan



DISKUSI KELEMBAGAAN
PENGENDALIAN PERTANAHAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pengalaman penulis ketika mendiskusikan terminologi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat dengan Direktur Pengendalian Pertanahan (Alm. Riptono Sri Mahodo, pada saat penyusunan silabus dan satuan acara perkuliahan untuk mata kuliah Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan masyarakat), tampaknya ada sesuatu yang perlu didiskusikan ulang. Terminologi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat seolah-olah dimaknai sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pemaknaan ini didasarkan pada logika sederhana yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang mempunyai akses berlebih terhadap tanah perlu dikendalikan dan pihak-pihak yang miskin atau tidak punya akses terhadap tanah perlu diberdayakan. Pemaknaan ini terlihat sebagai upaya mensimplifikasi makna sebenarnya.
Belum solidnya kelembagaan di daerah mengindikasikan bahwa tugas pokok dan fungsi bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat ini  belum optimal. Bahkan agenda kerja yang disusun banyak bersinggungan atau malah overlaping dengan bidang lain. Hal ini juga didorong oleh adanya program yang diagendakan kelembagaan di pusat belum membumi dan cenderung masih sebatas wacana. Kalau toh sudah berupa program kerja, implementasinya masih banyak dipertanyakan, terutama terkait tupoksi, personel dan pendanaan.  
      Memprihatinkan juga ketika penulis mendengar berbagai statemen tentang bidang, seksi ataupun subseksi pemberdayaan masyarakat di berbagai kantor pertanahan maupun kantor wilayah BPN sebagai bidang, seksi atau subseksi yang “kering”, tidak memberikan kontribusi pada pelayanan pertanahan, sumberdaya manusianya adalah orang buangan, program kerjanya tidak jelas dan sudah ada di seksi lain, struktur yang mengada-ada, bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BPN, dan beberapa statemen minor lainnya. Bahkan pada level direktorat, pemberdayaan masyarakat dimaknai ’hanya’ sebatas pada sertifikasi bidang tanah pada sektor Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) yang bekerjasama dengan pihak perbankan ataupun koperasi.  Hal-hal tersebut penulis tangkap pada saat berkesempatan mengunjungi beberapa daerah di Jawa, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat maupun pada saat terlibat penelitian dan Focus Group Discussion (FGD) di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN.
Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat (direktorat, bidang, seksi dan sub seksi) di lingkungan BPN mestinya bisa menjadi entry point bagi eksistensi BPN untuk menjalankan tugas pertanahan yang bersifat nasional, regional maupun sektoral. Tidak jamannya lagi BPN sebagai lembaga vertikal mengambil jarak dengan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Persoalan otonomi pertanahan mestinya sudah selesai dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pada saat ini BPN dengan Perpres 10/2006-nya harus mulai membuka diri, melakukan kolaborasi dengan berbagai stake holder dan institusi yang berkompeten terhadap sumberdaya tanah. Peran kehumasan dan negosiasi dengan pihak eksternal inilah yang harus dimainkan oleh lembaga Pemberdayaan Masyarakat di BPN. Artinya, lembaga Pemberdayaan Masyarakat di berbagai tingkatan di BPN harus menjadi leading sector-nya pembangunan pertanahan.  Sebagai contoh, percepatan pendaftaran tanah tidak akan berjalan dengan baik tanpa pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam contoh ini sub seksi Pemberdayaan Masyarakat di kantor kertanahan harus mampu menjembatani kantor pertanahan dengan pemda maupun dengan masyarakat, sehingga resources yang ada di pemerintah daerah dan masyarakat dapat digunakan untuk mengurangi dan menyelesaikan permasalahan yang timbul yang berada di luar kewenangan kantor pertanahan. Contoh lain adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Dalam program ini sudah sepantasnyalah lembaga Pemberdayaan Masyarakat dalam segala tingkatan berperan dalam mengagregasi dan mengartikulasikan keseluruhan stake holder yang terlibat dalam program tersebut.
Fokus diskusi kita adalah, bagaimana mendudukkan kelembagaan pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat dalam bingkai Kelembagaan BPNRI, yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat ?

Diskusi Klas Manajemen: Pemberdayaan



DISKUSI KELEMBAGAAN
PENGENDALIAN PERTANAHAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pengalaman penulis ketika mendiskusikan terminologi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat dengan Direktur Pengendalian Pertanahan (Alm. Riptono Sri Mahodo, pada saat penyusunan silabus dan satuan acara perkuliahan untuk mata kuliah Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan masyarakat), tampaknya ada sesuatu yang perlu didiskusikan ulang. Terminologi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat seolah-olah dimaknai sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pemaknaan ini didasarkan pada logika sederhana yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang mempunyai akses berlebih terhadap tanah perlu dikendalikan dan pihak-pihak yang miskin atau tidak punya akses terhadap tanah perlu diberdayakan. Pemaknaan ini terlihat sebagai upaya mensimplifikasi makna sebenarnya.
Belum solidnya kelembagaan di daerah mengindikasikan bahwa tugas pokok dan fungsi bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat ini  belum optimal. Bahkan agenda kerja yang disusun banyak bersinggungan atau malah overlaping dengan bidang lain. Hal ini juga didorong oleh adanya program yang diagendakan kelembagaan di pusat belum membumi dan cenderung masih sebatas wacana. Kalau toh sudah berupa program kerja, implementasinya masih banyak dipertanyakan, terutama terkait tupoksi, personel dan pendanaan.  
      Memprihatinkan juga ketika penulis mendengar berbagai statemen tentang bidang, seksi ataupun subseksi pemberdayaan masyarakat di berbagai kantor pertanahan maupun kantor wilayah BPN sebagai bidang, seksi atau subseksi yang “kering”, tidak memberikan kontribusi pada pelayanan pertanahan, sumberdaya manusianya adalah orang buangan, program kerjanya tidak jelas dan sudah ada di seksi lain, struktur yang mengada-ada, bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BPN, dan beberapa statemen minor lainnya. Bahkan pada level direktorat, pemberdayaan masyarakat dimaknai ’hanya’ sebatas pada sertifikasi bidang tanah pada sektor Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) yang bekerjasama dengan pihak perbankan ataupun koperasi.  Hal-hal tersebut penulis tangkap pada saat berkesempatan mengunjungi beberapa daerah di Jawa, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat maupun pada saat terlibat penelitian dan Focus Group Discussion (FGD) di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN.
Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat (direktorat, bidang, seksi dan sub seksi) di lingkungan BPN mestinya bisa menjadi entry point bagi eksistensi BPN untuk menjalankan tugas pertanahan yang bersifat nasional, regional maupun sektoral. Tidak jamannya lagi BPN sebagai lembaga vertikal mengambil jarak dengan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Persoalan otonomi pertanahan mestinya sudah selesai dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pada saat ini BPN dengan Perpres 10/2006-nya harus mulai membuka diri, melakukan kolaborasi dengan berbagai stake holder dan institusi yang berkompeten terhadap sumberdaya tanah. Peran kehumasan dan negosiasi dengan pihak eksternal inilah yang harus dimainkan oleh lembaga Pemberdayaan Masyarakat di BPN. Artinya, lembaga Pemberdayaan Masyarakat di berbagai tingkatan di BPN harus menjadi leading sector-nya pembangunan pertanahan.  Sebagai contoh, percepatan pendaftaran tanah tidak akan berjalan dengan baik tanpa pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam contoh ini sub seksi Pemberdayaan Masyarakat di kantor kertanahan harus mampu menjembatani kantor pertanahan dengan pemda maupun dengan masyarakat, sehingga resources yang ada di pemerintah daerah dan masyarakat dapat digunakan untuk mengurangi dan menyelesaikan permasalahan yang timbul yang berada di luar kewenangan kantor pertanahan. Contoh lain adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Dalam program ini sudah sepantasnyalah lembaga Pemberdayaan Masyarakat dalam segala tingkatan berperan dalam mengagregasi dan mengartikulasikan keseluruhan stake holder yang terlibat dalam program tersebut.
Fokus diskusi kita adalah, bagaimana mendudukkan kelembagaan pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat dalam bingkai Kelembagaan BPNRI, yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat ?

Senin, 06 Januari 2014

Jogja 'BERHENTI' Nyaman




JOGJA ‘BERHENTI’ NYAMAN[1]
Oleh:
Sutaryono[2]


Penghujung tahun 2013 hingga awal 2014, bertepatan dengan liburan sekolah, natal dan tahun baru sungguh merupakan berkah bagi pelaku pariwisata dan institusi kepariwisataan di Yogyakarta. Betapa tidak, Yogyakarta yang Istimewa, bak magnet yang menarik dengan kuatnya para wisatawan, baik wisatawan manca negara maupun domestik. Terlebih dengan julukan sebagai Kota Ternyaman di Indonesia (The Most Liveable City) dan sebagai Kota Pusaka, Yogyakarta semakin kukuh sebagai Kota Istimewa yang menjadi tujuan utama wisata di Indonesia. Tepat kiranya slogan Yogyakarta Berhati Nyaman (bersih, sehat, asri dan nyaman) dijadikan trade mark (merek dagang) untuk ‘menjual’ Yogyakarta. Namun demikian, persoalan yang muncul dari berkah pariwisata tersebut adalah hal yang sangat paradoks. Jogja ‘Berhenti’ Nyaman adalah sebuah Kerisauan seorang kawan yang menginspirasi tulisan ini. Mengapa?
          Kemacetan yang luar biasa pada beberapa pekan ini, penggenangan di sana-sini saat hujan, sampah visual yang semakin tidak karuan, tindak kriminal yang membuat was-was warga dan ketidakjelasan penataan ruang kota ke depan merupakan fakta yang mengindikasikan terganggunya kenyamanan Kota Yogyakarta bagi warganya. Apabila kondisi demikian tidak segera mendapatkan perhatian sekaligus aksi untuk menyelesaikannya maka Jogja ‘berhenti’ nyaman adalah sebuah keniscayaan.
          Satu dekade yang lalu dalam konteks penataan ruang kota, Pemda DIY telah memunculkan gagasan tentang Greater Yogyakarta, dimana kawasan tumbuh cepat di DIY yang melibatkan Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta  dipandang sebagai satu kawasan perkotaan. Strategi pengembangannya dilakukan melalui pembangunan: (1) New international airport dan Fish Port di Kulon Progo; (2) Jogja – Bawen dan Jogja – Solo Toll Road; (3) Jogja outer Ring Road; (4) Bus Rapid Transit di Jombor; (5) Multimoda Terminal di Kota Yogyakarta; (6) Southern Highway di Pantai Selatan (Pansela) ; dan (7) Tunnel Toll antara Parangtritis dan Baron. Dari tujuh agenda besar tersebut, pembangunan yang sudah terealisasi (meskipun fungsinya belum optimal) adalah terminal bus di Jombor dan jalur lintas selatan di Pansela. Bandara internasional dan fish port di Kulon Progo sudah mulai berproses, dan yang lainnya tampaknya belum ada tindaklanjutnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap masa depan Greater Yogyakarta seakan terlupakan. Bahkan beberapa gagasan dan permasalahan pada Kawasan Perkotaan Yogyakarta dewasa ini belum juga mendapatkan alternatif solusinya. Misal, pembangunan area parkir di eks Bioskop Indra masih belum dapat diwujudkan, gagasan revitalisasi Stasiun Tugu dan pembangunan parkir di bawah alun-alun terhenti di tengah jalan serta masih adanya tumpang-tindihnya penataan ruang kota antara Pemerintah Kota dan Pemda DIY. 
          Ternyata untuk mengukuhkan Yogyakarta Berhati Nyaman sebagai salah satu ikon keistimewaan tidak cukup dengan terbitnya UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY dan diterapkannya prinsip dan filosofi hamemayu hayuning bawana, sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, serta tahta untuk rakyat. Tetapi lebih dari itu, untuk mewujudkan kesejahteraan dan keberlanjutan seluruh masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat- yang salah satunya adalah terwujudnya Yogyakarta Berhati Nyaman secara berkelanjutan- dibutuhkan strategi penataan ruang yang secara makro mampu mengakomodasi kebutuhan ruang pada kawasan Greater Yogyakarta dan secara mikro mampu membentuk tata kota dan tata bangunan yang mendukung terwujudnya kota pusaka, mendisain rekayasa transport yang mampu mengurai kemacetan, mengendalikan menjamurnya sampah visual di seluruh sudut-sudut kota, mengefektifkan saluran drainase dan ruang terbuka hijau untuk antisipasi genangan dan banjir serta mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan ancaman kriminalitas.
Hal-hal di atas hanya dapat terwujud apabila semua pemangku kepentingan terhadap masa depan Yogyakarta sebagai daerah istimewa, duduk bersama untuk menentukan kebijakan strategis  dan menyelenggarakannya secara bersama-sama, tanpa saling menafikan satu dengan yang lainnya. Strategi penataan ruang dan pembangunan wilayah yang dulu pernah ada perlu dicermati kembali agar ada ketersambungan kebijakan. Hal ini harus segera dilakukan agar agenda keistimewaan Yogyakarta dapat berproses secara produktif tanpa adanya kekhawatiran munculnya istilah Jogja ‘Berhenti’ Nyaman.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 6 Januari 2014 hal 14
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM