Senin, 25 Januari 2021

Saatnya Audit Tata Ruang

 

Audit Tata Ruang[1]

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

Dalam sepekan ini di tengah pandemic Covid-19 yang belum berakhir, kita Bangsa Indonesia berduka. Berbagai musibah datang secara bersamaan, di awali dengan tanah longsor di Sumedang dan beberapa wilayah lain, jatuhnya pesawat, banjir di Kalimantan Selatan, gempa bumi di Sulawesi Barat, serta gelombang tinggi yang menerjang kota Manado. Kesemuanya itu adalah kuasa Tuhan yang tidak bisa ditolak, kita hanya bisa melakukan upaya-upaya pencegahan dan mitigasi untuk bencana-bencana yang bersifat struktural, utamanya terkait bencana banjir dan tanah longsor.

Bencana banjir dan tanah longsor sejatinya adalah bencana yang terstruktur, dimana penyebab dan cara penanganannya secara umum sudah diketahui khalayak luas. Hutan dieksploitasi, kawasan yang sejuk di daerah atas dibangun, semakin berkurangnya luasan recharge area, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian marak, menyempitnya ruang terbuka hijau, bantaran sungai yang penuh dengan hunian, menumpuknya sampah di sepanjang sungai, merupakan penyebab utama banjir dan tanah longsor (Sutaryono, Opini KR, 22-04-2016).

 Alih Fungsi

Dalam konteks ini, banjir dengan intensitas tertinggi dan cakupan wilayah terluas adalah banjir di Kalimantan Selatan. Di samping curah hujan yang tinggi, penyebab banjir diduga oleh adanya alih fungsi lahan yang kurang terkendali. Release Tim Tanggap Darurat LAPAN mengkonfirmasi dugaan tersebut. Analisis yang dilakukan menggunakan citra satelit terhadap perubahan penutup lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito dalam kurun waktu 2010 – 2020 adalah sebagai berikut: (1) telah terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13 ribu hektar, hutan sekunder sebesar 116 ribu hektar, luas sawah berkurang 146 ribu hektar dan semak belukar berkurang 47 ribu hektar; (2) terjadi peningkatan perluasan area perkebunan yang cukup signifikan, yakni 219 ribu hektar. Analisis Tim Tanggap Darurat LAPAN tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan guna lahan yang diduga sangat berpengaruh terhadap tingginya intensitas dan cakupan wilayah banjir. Persoalannya adalah, bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Apakah tidak ada upaya-upaya pengendalian alih fungsi lahan atau sudah ada tetapi kurang efektif?

Persoalan tersebut tidak hanya ditujukan untuk kasus banjir di Kalimantan Selatan, tetapi juga di seluruh wilayah Indonesia dimana ancaman banjir dan tanah longsor selalu menghantui. Upaya-upaya mitigasi bencana, baik secara regulasi maupun secara praksis pasti sudah dilakukan utamanya melalui kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang.

Melanggar Kebijakan 

Pada dasarnya, kita sudah mempunyai kebijakan dan instrumen untuk mengetahui apakah perubahan guna lahan itu melanggar kebijakan tata ruang atau tidak. Apabila sejak dini sudah diketahui adanya gejala alih fungsi lahan yang bisa menjadi penyebab bencana, maka segera dapat dilakukan penindakan dan penertiban. Kebijakan dan instrumen tersebut adalah Audit Tata Ruang yang diatur melalui Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Pedoman Audit Tata Ruang.

Audit Tata Ruang adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan dan evaluasi terhadap data dan informasi spasial serta dokumen pendukung untuk mengevaluasi suatu laporan atau temuan yang diduga sebagai indikasi pelanggaran di bidang penataan ruang. Hal di atas menunjukkan bahwa audit tata ruang menjadi salah satu upaya untuk mengungkap adanya indikasi pelanggaran. Audit tata ruang juga merupakan alat untuk menindaklanjuti adanya hasil-hasil pengawasan dan adanya pengaduan dari masyarakat terhadap indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang terhadap rencana tata ruang.

Oleh karena itu sebagai bentuk pengawasan sekaligus sebagai upaya pencegahan sejak dini atas indikasi pelanggaran tata ruang dan/atau langkah awal upaya penertiban atas pelanggaran tata ruang maka audit tata ruang adalah suatu keharusan. Hasil audit yang dikemas dalam Laporan Hasil Audit (LHA) dapat ditindaklanjuti melalui penetapan kebijakan sesuai rekomendasi maupun ditindaklanjuti melalui penyidikan untuk indikasi pelanggaran pidana penataan ruang.

Berdasarkan hal-hal diatas, maka audit tata ruang harus menjadi prioritas, agar berbagai bencana banjir dan tanah longsor dapat diantisipasi dan bahkan tidak terjadi lagi di kemudian hari.



[1] Dimuat dalam Opini SKH Kedaulatan Rakyat, Sabtu 23-1-2021 hal 11

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM