Senin, 09 Oktober 2023

Transformasi Digital Pertanahan

 Dipublikasikan pada Kolom ANALISIS

SKH KEDAULATAN RAKYAT

Senin 25 September 2023 Hal 1

 

TRANSFORMASI DIGITAL PERTANAHAN

Oleh:

Dr. Sutaryono[1]

 

Dua tahun lalu kita dikejutkan oleh media yang mengabarkan dan memperbincangkan Sertipikat Tanah Elektronik, yang menunjukkan dimulainya transformasi digital pertanahan. Salah satunya dengan judul ‘Era Baru Pertanahan, Sertifikat Tanah 2021 Sudah Berbeda, Seluruh Sertifikat Tanah akan Ditarik’. Terhadap kabar tersebut publik memberikan tanggapan yang beragam hingga kekhawatiran berkenaan dengan akan ditariknya sertipikat tanah lama. Padahal hingga saat ini belum seluruh bidang tanah bersertipikat. Bagaimana mungkin pensertipikatan tanah saja belum selesai, akan ditarik sertipikat yang sudah ada dan diganti dengan sertipikat elektronik (Analisis KR, 08-02-2021).

Saat ini, bertepatan dengan dimulainya Peringatan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (24 September 2023), kita kembali diingatkan tentang pentingnya transformasi digital dalam pelayanan pertanahan, guna mewujudkan institusi pertanahan dan tata ruang yang maju dan modern. Berkenaan dengan hal tersebut, e-government adalah sebuah keharusan. Dalam konteks ini, disamping menggenjot penyelesaian pendaftaran tanah melalui PTSL Kementerian ATR/BPN juga menginisiasi kebijakan transformasi digital dalam pelayanan pertanahan. Salah satunya adalah kebijakan Sertipikat Elektronik melalui Permen ATR/KBPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik, yang saat ini diganti dengan Permen ATR/KBPN Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penerbitan Dokumen Elektronik dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah. Yang dimaksud dengan dokumen elektronik dalam regulasi tersebut adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

 

Tantangan Transformasi Digital

 

Secara general tantangan yang dihadapi dalam transformasi digital dalam pelayanan pertanahan, khususnya dalam penerbitan dokumen elektronik dalam kegiatan pendaftaran tanah meliputi: (a) ketersediaan regulasi yang lengkap dan detail; (b) ketersediaan dokumen dan system elektronik yang handal; (c) kesiapan sumberdaya manusia, baik kapasitas maupun integritasnya; serta (d) jaminan keamanan dokumen dan sistem elektroniknya.

Regulasi yang lengkap dan detail tidak hanya diorientasikan untuk mendapatkan keabsahan dalam menghasilkan dokumen elektronik semata, tetapi juga memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang memproduksinya serta para pemegang hak atas tanahnya.

Adapun ketersediaan dokumen dan sistem elektronik yang handal tentu terkait dengan operasionalisasi dalam memproduksi dokumen elektronik hingga operasionalisasi dalam berbagai pelayanan pertanahan.  Dokumen elektronik yang dibutuhkan pada kegiatan pendaftaran tanah memuat data pemegang hak, data fisik dan data yuridis bidang tanah yang valid dan autentik, baik yang bersumber atau diterbitkan melalui sistem elektronik dan/atau merupakan hasil pemindaian dokumen cetak. Dokumen elektronik hasil sistem elektronik disahkan menggunakan tanda tangan elektronik dan dokumen elektronik hasil pemindaian dijamin keasliannya melalui segel elektronik.

Kesiapan sumberdaya manusia dalam transformasi digital pelayanan pertanahan tidak hanya terkait pada kualitas dan kuantitasnya, tetapi juga pada integritas dan mindset-nya. Kualitas dan kuantiitas merupakan persyaratan teknis SDM untuk mampu menjalankan proses transformasi digital. Integritas dan mindset SDM merupakan persyaratan attitude penyelenggara transformasi digital, mengingat resiko pelanggaran dan penyalahgunaan dokumen elektronik ini sangat tinggi. Tidak mungkin SDM penyelenggara transformasi digital masih memilik mindset pelayanan konvensional dan manual yang selama ini dijalankan.

Tantangan terakhir yang paling sering mendapatkan perhatian publik adalah jaminan keamanan terhadap dokumen elektronik yang sudah dihasilkan dan jaminan sistem elektronik yang dijalankan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik dalam kegiatan pendaftaran tanah. Publik harus diyakinkan bahwa tingkat keamanan dokumen dan sistem elektronik yang dioperasionalkan dalam pelayanan pertanahan sangat tinggi dan tidak mudah disusupi oleh hacker atau pihak-pihak yang tidak berkepentingan.



[1] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Senin, 25 September 2023

Transformasi Digital Pertanahan


 Kolom ANALISIS
SKH KEDAULATAN RAKYAT, 25 September 2023

Urgensi Kajian Lingkungan Hidup Strategis

 Dipublikasikan pada Kolom OPINI

SKH KEDAULATAN RAKYAT

Kamis, 6 Juli 2023 Hal 11

 

Urgensi Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Oleh: Dr. Sutaryono[1]

 

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) saat ini menjadi suatu yang urgent sekaligus emergence. Mengapa? Karena dalam satu dekade terakhir pemerintah telah melakukan berbagai terobosan guna memberikan akselerasi dan kemudahan dalam berusaha dan berivestasi. Apalagi setelah ditetapkannya UU Cipta Kerja, yang digantikan dengan Perppu 2/2022 dan terakhir dikuatkan melalui UU 6/2023 tentang Penetapan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Namun demikian, kemudahan berusaha dan investasi bukan berarti menafikan dampak lingkungan yang ditimbulkan maupun mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Argumen inilah yang menempatkan KLHS sebagai hal urgent sekaligus emergence. Dalam hal ini KLHS dimaknai sebagai rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

Berdasarkan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah. Kewajiban tersebut  harus dilaksanakan dalam penyusunan atau evaluasi: (a) rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan (b) kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.

Pengarusutamaan KLHS

Sejak terbitnya UU 32/2009 yang mengamanahkan kewajiban KLHS, hingga saat ini masih ada kecenderungan menempatkan dokumen KLHS hanya sebatas formalitas dan kewajiban normatif saja. Kecenderungan ini berdampak pada rendahnya kualitas KLHS dan terabaikannya rekomendasi perbaikan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Disisi yang lain, pemerintah memfasilitasi kemudahan berusaha dan investasi melalui penyederhanaan perizinan berusaha dalam bentuk Online Single Submission (OSS). OSS ini dilakukan untuk: (a) mempermudah pengurusan berbagai perizinan berusaha; dan (b) memfasilitasi pelaku usaha untuk terhubung dengan semua stakeholder dan memperoleh izin secara aman, cepat dan real time (Opini KR, 21-01-2019).

Dalam konteks perizinan berusaha terkait pemanfaatan ruang, telah diterapkan kebijakan OSS KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang). Disamping berperan sebagai perizinan dalam pemanfaatan ruang, KKPR juga berperan sebagai dasar untuk memperoleh tanah bagi pelaku usaha (Opini KR, 08-11-2022). Nah, salah satu prakondisi yang harus dipenuhi untuk penerapan OSS KKPR untuk pemberian izin berusaha di seluruh wilayah Indonesia adalah ketersediaan Rencana Detai Tata Ruang (RDTR). Jadi dalam hal ini RDTR menjadi single reference dalam perizinan pemanfaatan ruang. Disisi lain legalitas RDTR saat ini tidak lagi dalam bentuk peraturan daerah tetapi peraturan kepala daerah, ruang partisipasi publik dalam penyusunan dan penetapannya cenderung lembih sempit.

Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa kebijakan, rencana dan/atau program yang ada dalam RDTR tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, tidak memberikan dampak lingkungan dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan, maka penyusunan RDTR harus terintegrasi dengan KLHS. Kewajiban pengintegrasian tersebut diatur melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN 5/2022 tentang Tata Cara Pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka pengarusutamaan (mainstreaming) KLHS, baik dalam penyusunan rencana tata ruang, RPJP, RPJM maupun kebijakan, rencana, dan/ atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup perlu diprioritaskan melalui: (1) penguatan pemahaman pentingnya KLHS bagi semua pemangku kepentingan; (2) memastikan setiap penyusunan rencana tata ruang dan dokumen perencanaan pembangunan terintegrasi dengan KLHS; (3) pokja penyusun KLHS dan tim penyusun rencana tata ruang ditetapkan melalui satu surat keputusan; dan (4) mengalokasikan anggaran secara memadai dalam penyusunan KLHS. Apabila beberapa hal ini bisa dilakukan, maka keberlanjutan lingkungan akan terus terjaga dan berdampingan dengan pembangunan wilayah yang terus berkembang.



[1] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Tim Ahli Validasi KLHS DIY

GTRA Summit Karimun 2023

 Dipublikasikan pada Kolom OPINI

SKH Kedaulatan Rakyat

Selasa, 29 Agustus 2023 Hal 11

 

GTRA Summit

Oleh:

Dr. Sutaryono[1]

 

Reforma Agraria adalah Program Strategis Nasional yang sudah diamanahkah lebih dari dua dekade yang lalu melalui  Tap No. IX/MPR/2001, tetapi hingga saat ini masih menghadapi berbagai persoalan dalam implementasinya. Kendala regulasi yang bersifat operasional dan sering dipersoalkan tidak lagi menjadi kendala ketika telah diterbitkan  Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria  (Opini KR, 22-10-2018). Terbitnya Perpres 86/2018 tersebut bukanlah suatu kebetulan, tetapi merupakan bagian pemenuhan janji politik pemerintah. Janji politik presiden dalam Nawacita yang kemudian dijabarkan dalam RPJMN Tahun 2015-2019 yang terus berlanjut dalam RPJMN 2020-2024 menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui penyediaan tanah objek Reforma Agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha untuk diredistribusikan.

Berdasarkan regulasi tersebut reforma agraria tidak lagi dimaknai secara sempit sebagai redistribusi tanah belaka, tetapi jauh lebih luas. Reforma agraria merupakan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Adapun penataan asset adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan tanah. Sedangkan penataan akses adalah pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada subjek reforma agrarian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut juga sebagai pemberdayaan Masyarakat.

Untuk menjalankan agenda reforma agraria tersebut dibentuklah Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang merupakan Lembaga lintas sektor melibatkan sejumlah 17 (tujuhbelas) kementerian/Lembaga terkait. Di daerah, mengingat strategisnya agenda reforma agraria,  GTRA dipimpin langsung oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Hal ini menunjukkan bahwa agenda Reforma Agraria adalah agenda Bersama seluruh elemen bangsa yang membutuhkan partisipasi aktif seluruh stake holder terkait.

Dalam implemetasinya agenda reforma agraria sudah berjalan dengan baik dan kontributif dalam memberikan kepastian hukum melalui penataan asset dan meningkatkan perekonomian subjek reforma agraria melalui penataan aksesnya. Namun demikian, dipenghujung berakhirnya RPJMN 2020-2024 ini capaian kinerja reforma agraria masih perlu digenjot lagi. Kementerian ATR/BPN telah mengidentifikasi adanya 4 (empat) tantangan yang harus dihadapi dalam rangka reforma agraria, yakni: (1) penguatan legalisasi aset permukiman di atas air, pulau-pulau kecil dan pulau kecil terluar; (2) penyelesaian konflik agraria yang berkaitan dengan kewenangan lintas sektor, seperti masalah penguasaan lahan oleh masyarakat di atas aset tanah Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah (BUMN/BUMD) dan Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah (BMN/BMD); (3) penyelesaian masalah dan pemenuhan target sertipikat tanah transmigrasi; serta (4) menyangkut Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dari Pelepasan Kawasan Hutan. Disamping ke-4 hal tersebut, penguatan kelembagaan GTRA di daerah juga mutlak diperlukan.

 

Komitmen Bersama

Untuk mengatasi tantangan dan menyelesaikan berbagai persoalan implementasi reforma agraria, maka dibutuhkan komitmen Bersama antar pemangku kepentingan yang terlibat. Oleh karena itu Pertemuan Puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit) 2023 ini diselenggarakan. Acara yang akan digelar pada tanggal 29 – 31 Agustus 2023 di Karimun dan dihadiri langsung oleh Presiden ini mengambil tema “Transformasi Reforma Agraria: Mewujudkan Kepastian Hukum, Keberlanjutan Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat”.

Tema di atas dipilih mengingat persoalan pertanahan dan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah transmigrasi, tanah-tanah yang dikuasai oleh BUMN/BUMD dan tanah-tanah pada kawasaan hutan masih belum terselesaikan dan belum secara optimal berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Komitmen bersama yang diwujudkan melalui kolaborasi multipihak dan berbagi peran antar stake holder ini merupakan prasyarat bagi terselesaikannya berbagai persoalan yang menghambat implementasi reforma agraria. Yang muaranya adalah terwujudnya kepastian hukum penguasaan dan pemilikan tanah, keberlanjutan Pembangunan serta kesejahteraan Masyarakat. Oleh karena itu agenda GTRA Summit 2023 ini merupakan momentum yang sangat tepat dan kuat untuk mengatasi hambatan pelaksanaan sekaligus meneguhkan komitmen Bersama untuk menuntaskan Program Strategis Nasional Reforma Agraria.



[1] Staf Pengajar pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Transformasi Digital Pertanahan

 Dipublikasikan pada Kolom ANALISIS

SKH KEDAULATAN RAKYAT

Senin 25 September 2023 Hal 1

 

TRANSFORMASI DIGITAL PERTANAHAN

Oleh:

Dr. Sutaryono[1]

 

Dua tahun lalu kita dikejutkan oleh media yang mengabarkan dan memperbincangkan Sertipikat Tanah Elektronik, yang menunjukkan dimulainya transformasi digital pertanahan. Salah satunya dengan judul ‘Era Baru Pertanahan, Sertifikat Tanah 2021 Sudah Berbeda, Seluruh Sertifikat Tanah akan Ditarik’. Terhadap kabar tersebut publik memberikan tanggapan yang beragam hingga kekhawatiran berkenaan dengan akan ditariknya sertipikat tanah lama. Padahal hingga saat ini belum seluruh bidang tanah bersertipikat. Bagaimana mungkin pensertipikatan tanah saja belum selesai, akan ditarik sertipikat yang sudah ada dan diganti dengan sertipikat elektronik (Analisis KR, 08-02-2021).

Saat ini, bertepatan dengan dimulainya Peringatan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (24 September 2023), kita kembali diingatkan tentang pentingnya transformasi digital dalam pelayanan pertanahan, guna mewujudkan institusi pertanahan dan tata ruang yang maju dan modern. Berkenaan dengan hal tersebut, e-government adalah sebuah keharusan. Dalam konteks ini, disamping menggenjot penyelesaian pendaftaran tanah melalui PTSL Kementerian ATR/BPN juga menginisiasi kebijakan transformasi digital dalam pelayanan pertanahan. Salah satunya adalah kebijakan Sertipikat Elektronik melalui Permen ATR/KBPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik, yang saat ini diganti dengan Permen ATR/KBPN Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penerbitan Dokumen Elektronik dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah. Yang dimaksud dengan dokumen elektronik dalam regulasi tersebut adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

 

Tantangan Transformasi Digital

 

Secara general tantangan yang dihadapi dalam transformasi digital dalam pelayanan pertanahan, khususnya dalam penerbitan dokumen elektronik dalam kegiatan pendaftaran tanah meliputi: (a) ketersediaan regulasi yang lengkap dan detail; (b) ketersediaan dokumen dan system elektronik yang handal; (c) kesiapan sumberdaya manusia, baik kapasitas maupun integritasnya; serta (d) jaminan keamanan dokumen dan sistem elektroniknya.

Regulasi yang lengkap dan detail tidak hanya diorientasikan untuk mendapatkan keabsahan dalam menghasilkan dokumen elektronik semata, tetapi juga memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang memproduksinya serta para pemegang hak atas tanahnya.

Adapun ketersediaan dokumen dan sistem elektronik yang handal tentu terkait dengan operasionalisasi dalam memproduksi dokumen elektronik hingga operasionalisasi dalam berbagai pelayanan pertanahan.  Dokumen elektronik yang dibutuhkan pada kegiatan pendaftaran tanah memuat data pemegang hak, data fisik dan data yuridis bidang tanah yang valid dan autentik, baik yang bersumber atau diterbitkan melalui sistem elektronik dan/atau merupakan hasil pemindaian dokumen cetak. Dokumen elektronik hasil sistem elektronik disahkan menggunakan tanda tangan elektronik dan dokumen elektronik hasil pemindaian dijamin keasliannya melalui segel elektronik.

Kesiapan sumberdaya manusia dalam transformasi digital pelayanan pertanahan tidak hanya terkait pada kualitas dan kuantitasnya, tetapi juga pada integritas dan mindset-nya. Kualitas dan kuantiitas merupakan persyaratan teknis SDM untuk mampu menjalankan proses transformasi digital. Integritas dan mindset SDM merupakan persyaratan attitude penyelenggara transformasi digital, mengingat resiko pelanggaran dan penyalahgunaan dokumen elektronik ini sangat tinggi. Tidak mungkin SDM penyelenggara transformasi digital masih memilik mindset pelayanan konvensional dan manual yang selama ini dijalankan.

Tantangan terakhir yang paling sering mendapatkan perhatian publik adalah jaminan keamanan terhadap dokumen elektronik yang sudah dihasilkan dan jaminan sistem elektronik yang dijalankan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik dalam kegiatan pendaftaran tanah. Publik harus diyakinkan bahwa tingkat keamanan dokumen dan sistem elektronik yang dioperasionalkan dalam pelayanan pertanahan sangat tinggi dan tidak mudah disusupi oleh hacker atau pihak-pihak yang tidak berkepentingan.



[1] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM

Selasa, 04 Juli 2023

Tanah Desa

 

Tanah Desa[1]

 

Oleh: Sutaryono[2]

 

Beberapa pekan ini kita disuguhi dengan maraknya berbagai pemberitaan terkait dugaan penyalahgunaan tanah desa. Sebetulnya hal ini sudah mendapatkan ‘warning’ pasca terbitnya UU 6/2014 tentang Desa. Semakin bernilainya tanah desa serta menguatnya peran desa, maka saatnya bagi desa dan pemangku kepentingan terkait untuk segera merumuskan agenda pengelolaan tanah desa, agar lebih fungsional, efisien,  terbuka, akuntabilitas, berkelanjutan serta berorientasi untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat (Opini KR, 04-08-2016).

Dalam konsep tradisional, tanah desa dibedakan dengan status penguasaan tanah individual atau kolektif seperti tanah yasan dan  tanah norowito. Tanah yasan, yasa  atau yoso, merupakan tanah hak milik perseorangan. Sedangkan tanah norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan, dan sejenisnya, adalah tanah pertanian milik bersama yang warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap. Selain dua jenis tanah tersebut, dalam sistem penguasaan tanah di DIY  juga mengenal konsep tanah desa. Tanah desa meliputi tiga tipe:  pertama, tanah bengkok, tanah carik atau juga disebut tanah kelungguhan (kedudukan = pelungguh) yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa yang hasilnya dianggap ‘gaji’ selama mereka menduduki jabatan itu. Kedua,  tanah pengarem-arem, yakni tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pensiunan pamong desa. Ketiga,  tanah titisara, bondo deso, kas desa, adalah tanah milik desa yang biasanya disewakan, disakapkan, dengan cara dilelang kepada siapa saja yang mau menggarapnya. Hasilnya digunakan untuk anggaran rutin ataupun pemeliharaan desa   (Wiradi, 1984).

Dalam konteks nasional, berdasarkan PP 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 6/2014 Tentang Desa, pengelolaan tanah desa sebagai kekayaan milik desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan meningkatkan pendapatan Desa. Dalam konteks DIY, berdasarkan Pergub DIY Nomor 34 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Tanah Desa, disebutkan secara jelas bahwa tujuan pemanfaatan Tanah Desa untuk: (a) pengembangan kebudayaan; (b) kepentingan sosial; (c) kesejahteraan masyarakat; dan (d) penyelenggaraan pemerintahan desa.

Berdasarkan hal diatas maka pemanfaatan tanah desa oleh swasta untuk kepentingan komersial dan bersifat privat (pengembangan perumahan) sebagaimana ramai diperbincangkan tidak bisa dibenarkan.

 

Tanah Desa untuk Perumahan?

Pada dasarnya pemenfaatan tanah desa untuk berbagai keperluan termasuk untuk pembangunan perumahan dapat dibenarkan apabila berorientasi pada tujuan pemanfaatan tanah desa. Apalagi kebutuhan (back log) perumahan di DIY masih cukup tinggi. Angka back log perumahan di DIY tahun 2014 mencapai 100 ribu unit (KR, 21-04-2015), dan saat ini tercatat ada kekurangan rumah mencapai 250 ribu unit. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan rumah tinggal bagi warga DIY adalah hal yang sangat urgent. Persoalan utama penyediaan perumahan permukiman bagi warga DIY adalah keterbatasan lahan dan tingginya harga lahan. Oleh karena itu salah satu alternatifnya adalah memanfaatkan tanah desa untuk pembangunan perumahan.

Berdasarkan UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan bahwa beberapa kewenangan pemerintah provinsi adalah; (a) memfasilitasi peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh; (b) mengoordinasikan pencadangan atau penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan bagi MBR; dan (c) menetapkan kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Dalam konteks ini maka pemerintah provinsi dapat mengoordinasikan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan yang dapat berasal dari tanah desa.

Adapun jenis perumahannya adalah rumah umum, yakni rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dengan bentuk rumah susun.   Berdasarkan UU 1/2011 pembangunan untuk rumah rumah susun, dapat dilakukan di atas tanah: (a) hak milik; (b) hak guna bangunan, baik di atas tanah negara maupun di atas hak pengelolaan; atau (c) hak pakai. Dalam konteks ini tanah desa status hak milik kasultanan ataupun hak pakai di atas tanah negara sangat memungkinkan untuk dialokasikan untuk pembangunan perumahan untuk mengurangi back log hunian. Tentu gagasan ini perlu dielaborasi lebih lanjut dan apabila memungkinkan diakomodasi dalam perubahan Pergub 34/2017 yang tengah berlangsung.



[1] Dipublikasikan melalui SKH Kedaulatan Rakyat, 6 Juni 2023

[2] Dr. Sutaryono, Staf Pengajar STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak Geografi UGM

Rabu, 03 Mei 2023

Lahan Sawah Dilindungi

 Dipublikasikan melalui Kolom ANALISIS

SKH Kedaulatan Rakyat, Sabtu 15 April 2023 Hal 1


Lahan Sawah Dilindungi

Oleh: Dr. Sutaryono 


Kesadaran bahwa Indonesia sebagai negara agraris memberikan implikasi kepada pemerintah untuk melakukan upaya penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Salah satu upaya tersebut diwujudkan melalui penerbitan UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Regulasi ini diorientasikan untuk: (a) melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; (b) menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; (c) mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; (d) melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; (e) meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani; (f) meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; (g) meningkatkan penyediaan lapangan kerja: (h) mempertahankan keseimbangan ekologis; dan (i) mewujudkan revitalisasi pertanian.

Namun demikian, upaya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sesuai amanah UU di atas hingga kini belum menampakkan hasilnya. Konversi lahan pertanian terus terjadi dan sulit dikendalikan. Konversi  lahan pertanian ke non pertanian pada tahun 2013 – 2018 mencapai 130 ribu hektar/tahun (Firmansyah et al., 2021), dan saat ini diperkirakan mencapai lebih dari 100 ribu hektar/tahun. 

Alih fungsi lahan tersebut berdampak pada: (a) hilangnya lahan pertanian produktif; (b) ketergantungan impor pangan semakin tinggi; (c) harga pangan meningkat; (d) berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor pertanian; (e) semakin meningkatnya jumlah buruh tani dan petani tanpa tanah; dan (f) meningkatnya pengangguran di perdesaan.Apabila hal ini tidak segera mendapatkan penanganannya maka ancaman dampak tersebut menjadi nyata.

Oleh karena itu, pemerintah kembali menerbitkan regulasi untuk melindungi keberadaan lahan pertanian pangan melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019

Tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah. Perpres ini diorientasikan untuk pengendalian alih fungsi lahan sawah melalui penetapan peta lahan sawah yang dilindungi (LSD) dan pengendalian alih fungsi lahan sawah sebagai program strategis nasional. Artinya pemerintah sangat serius untuk melakukan perlindungan lahan pertanian pangan, utamanya lahan sawah.

Operasionalisasi perpres tersebut dilakukan oleh Kementarian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui identifikasi dan inventarisasi lahan sawah di berbagai daerah pada tahun 2019 yang ditetapkan sebagai Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Hasil identifikasi dan inventarisasi tersebut telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri ATR/KBPN No. 1589/SK-HK.02.01/XII/2021 tentang Penetapan Peta Lahan Sawah Dilindungi pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Tantangan Baru


Ditetapkannya keputusan menteri tersebut ternyata menimbulkan berbagai permasalahan di daerah. Mengapa? Karena peta LSD yang ditetapkan tidak sinkron dengan kondisi eksistingnya dan tidak sinkron juga dengan zona peruntukan lahan sawah yang dialokasikan pada Pola Ruang RTRW. Padahal keputusan Menteri tersebut memberikan Amanah kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menggunakan Peta LSD ini dalam penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan pada rencana tata ruang wilayah dan rencana rinci tata ruang. Disamping itu Peta LSD ini harus dilakukan verifikasi dan sinkronisasi data Lahan Sawah. 

Beberapa temuan lapangan di berbagai daerah yang menjadi tantangan untuk segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkepentingan antara lain: (a) adanya perbedaan luasan antara LSD dengan peruntukan lahan pertanian pada RTRW atau RDTR; (b) bidang tanah/lokasi yang ditetapkan sebagai LSD berada pada zona non pertanian pada RTRW/RDTR; (c) bidang tanah yang masuk dalam LSD, secara eksisting sudah berupa penggunaan non pertanian; (d) bidang tanah yang masuk LSD sudah dikuasai oleh perorangan atau badan hukum yang akan digunakan untuk kepentingan bisnis/investasi; (e) ada perbedaan interest antara kepentingan pengendalian lahan pertanian dengan kebijakan kemudahan investasi; (f) ada perbedaan persepsi antara OPD yang membidangi investasi, pekerjaan umum dan penataan ruang dengan yang membidangi keberadaan lahan pertanian dan pengelolaan lingkungan. Tantangan sekaligus permasalahan di atas harus segera disinkronisasikan agar kebijakan perlindungan lahan pertanian dengan kepentingan investasi tidak saling menegasikan. 


Lahan Sawah Dilindungi

 


Dipublikasikan di SKH KR, 15-04-2023 Hal 1

Rabu, 11 Januari 2023

Mewujudkan Catur Tertib Pertanahan

 

Mewujudkan Catur Tertib Pertanahan[1]

Oleh: Dr. Sutaryono[2]

 

Pada akhir tahun 2022 hingga saat ini kita disuguhi dengan berbagai bencana, utamanya banjir dan tanah longsor, meskipun dengan skala terbatas. Bencana banjir dan longsor tidak hanya disebabkan oleh adanya curah hujan yang tinggi, tetapi juga dipicu oleh adanya gempa bumi, sebagaimana terjadi di Cianjur. Kondisi tersebut tentu tidak terjadi begitu saja, banyak aspek yang mempengaruhinya. Dalam konteks ini, tanpa menafikan kondisi iklim dan cuaca yang kurang baik, salah satu penyebab banjir dan longsor adalah pengelolaan pertanahannya, utamanya pada penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya. Mengapa? Karena matra utama sumberdaya alam dan lingkungan kita adalah tanah, yang direpresentasikan pada persil atau bidang-bidang tanah yang bersifat unik. Persil atau bidang-bidang tanah tersebut berperan sebagai objek yang di atasnya melekat subjek hak atas tanah, baik yang bersifat perorangan, komunal maupun badan hukum.    

Dalam kerangka administrasi pertanahan, pada bidang-bidang tanah tersebut berlaku kaidah-kaidah administrasi pertanahan, yang dikenal dengan Right, Restriction dan Responsibility (3R). Right dimaknai sebagai hak, yakni hubungan hukum yang sah antara objek hak (tanah) dan subjeknya (pemegang hak), yang dibuktikan dengan dokumen hak atas tanah. Kaidah ini mengukuhkan adanya jaminan kepastian hukum penguasaan dan pemilikan tanah.

Restriction dimaksudkan sebagai pembatasan hak, yakni batasan bagi subjek hak dalam menggunakan dan mamanfaatkan tanah, Dalam hal ini bidang tanah yang dikuasai, penggunaan dan pemanfaatannya: (1) harus sesuai dengan rencana tata ruang; (2) mempunyai fungsi social; dan (3) harus dilepaskan apabila akan digunakan bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Responsibility adalah tanggungjawab bagi subjek hak terkait dengan hak atas tanah yang dimilikinya untuk: (1) memelihara tanahnya; (2) menggunakan dan memanfaatkan tanah sesuai hak yang diberikan; (3) memelihara tanda batas & dokumennya. Ketiga hal di atas (3R) saling terkait, melekat dan tidak dapat diterapkan secara terpisah. Dengan demikian, setiap pemegang hak atas tanah, baik perorangan, kolektif maupun badan hukum, di dalam haknya mengandung pula batasan-batasan berikut tanggungjawabnya. Apabila kaidah-kaidah administrasi pertanahan tersebut diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan, maka akan terwujud apa yang disebut dengan tertib pertanahan.

 

Mewujudkan Tertib Pertanahan

Untuk mengantisipasi terjadinya bencana sekaligus dalam rangka mewujudkan tertib pertanahan pemerintah sudah cukup lama menetapkan kebijakan tertib pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Pertanahan. Catur Tertib Pertanahan ini diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1979 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) ke-3. Dalam hal ini Catur Tertib Pertanahan terdiri dari: (a) tertib hukum, dimana setiap bidang tanah diberikan jaminan kepastian hukum berkenaan dengan  penguasaan atau pemilikannya dan dibuktikan dengan tanda bukti/dokumen yang kuat berupa sertipikat tanah; (b) tertib administrasi, terkait dengan tertibnya administrasi pertanahan berikut layanan publik di bidang pertanahan; (c) tertib penggunaan tanah, dalam hal ini setiap hak atas harus dipastikan penggunaannya sesuai dengan sifat hak yang diberikan, sesuai dengan potensi tanahnya serta memberikan kemanfaatan dan kesejahtraan masyarakat; dan (d) tertib pemeliharaan dan lingkungan hidup, yakni memastikan bahwa setiap pemegang hak atas memanfaatkan dan memelihara tanahnya demi keberlanjutan lingkungan.

Untuk mewujudkan tertib pertanahan melalui Catur Tertib Pertanahan, pemerintah juga telah menelorkan Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan. Gerakan ini diatur melalui Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan. Dalam operasionalnya gerakan ini dilakukan secara massif berbasiskan partisipasi masyarakat yang dikenal dengan Kelompok Sadar dan Tertib Pertanahan (Pokmasdartibnah). Namun demikian, sudah lebih dari 2 (dua) dekade ini Gerakan Sadar dan Tertib Pertanahan serta keberadaan Pokmasdartibnah tidak lagi menjadi program pemerintah.   

Oleh karena itu, sebagai langkah untuk mewujudkan tertib pertanahan sekaligus mengantisipasi terjadinya berbagai bencana perlu dikampanyekan lagi Gerakan Sadar dan Tertib Pertanahan secara partisipatif sekaligus menghidupkan kembali Pokmasdartibnah


[1] Dimuat dalam SKH Kedaulatan Rakyat, 11 Januari 2023 hal 11

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak Geografi UGM