Kamis, 26 November 2015

Stop Pembangunan Hotel



Tegakkan Aturan Pembangunan Hotel[1]
Oleh:
Sutaryono[2]

“Tak Ada Regulasi, Perang Tarif Hotel Kian Memprihatinkan’ (KR, 27-6-2015), menunjukkan bukti nyata bahwa maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta perlu dicermati secara seksama dan hati-hati. Meskipun sudah ada moratorium pembangunan hotel, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan hotel masih nampak di sana-sini. Pembangunan hotel seyogyanya tidak hanya untuk kepentingan investasi dan pendapatan daerah semata, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi ekologis (ketersediaan ruang & air), kenyamanan warga masyarakat, keberadaan bangunan cagar budaya serta keberlanjutan Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan daerah tujuan wisata.
Secara ekologis, ketersediaan ruang di Kota Yogyakarta sudah semakin terbatas. Meskipun ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Yogyakarta sudah memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, yakni 31,65% yang terdiri dari RTH Publik sebesar 17,17% dan RTH Privat sebesar 14,49%, tetapi ada kecenderungan mengalami penurunan apabila tidak ada perlindungan secara kuat terhadap keberadaan RTH. Demikian pula yang terjadi terhadap lahan pertanian yang semakin menyusut.
Berkenaan dengan sumberdaya air, kondisinya semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian Dinas PUP-ESDM DIY, penurunan muka air tanah di Kawasan Perkotaan Yogyakarta terjadi secara permanen, dengan rata-rata 20 – 30 cm per tahun. Salah satu penyebabnya adalah gencarnya pembangunan fisik yang menggusur daerah resapan air serta  eksploitasi air tanah oleh sejumlah hotel dalam jumlah yang besar.
Munculnya isu ‘Jogja Asat’, ‘Jogja Ora Didol’ dan ‘Jogja Berhenti Nyaman’ menunjukkan gerahnya sebagian warga Yogya yang kenyamanannya sudah mulai terganggu. Padahal kenyamanan sebuah wilayah adalah harapan semua warga, yang sekaligus prasyarat teruwujudnya sustainable city. Chapin & Kaiser, (1979) menyebutkan bahwa ruang kota/wilayah harus memiliki 4 (empat) fungsi, yakni: (1) works areas, lokasi yang berfungsi sebagai tempat bekerja; (2) living areas, lokasi yang berfungsi sebagai tempat tinggal; (3) shopping and leisure-time/entertainment center areas, lokasi yang berfungsi untuk sarana prasarana dan fasilitas umum; dan (4) open space system and environmental protection, lokasi yang berfungsi untuk ruang terbuka hijau dan pelestarian lingkungan.
 Keprihatinan yang lain adalah diberitakannya pada berbagai media mengenai ‘musnah’-nya bangunan cagar budaya akibat pembangunan sebuah hotel di tengah kota. Realitas ini menunjukkan bahwa pembangunan hotel semakin mengkhawatirkan.
Semangat membangun hotel tidak diikuti dengan peningkatan jumlah wisatawan, sehingga terjadi over supply kamar yang berujung pada perang tarif antara hotel (KR, 27-06-2015). Pertanyaan yang menggelitik adalah, mengapa sudah terjadi over supply kamar tetapi pembangunan hotel masih terus berlangsung?
Berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, saat ini terdapat 80 hotel berbintang (80 ribu kamar) dan 1.100 hotel non bintang dengan sekitar 12 ribu kamar. Jumlah hotel yang terus meningkat ternyata belum berkontribusi positif dalam peningkatan pendapatan daerah, justru pendapatan pajak daerah dari hotel di Dinas Pajak dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta tidak mencapai target (KR, 27-06-2015).
Berkenaan dengan hal di atas, beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seluruh stake holder yang berkepentingan terhadap keberadaan hotel adalah: (a) melakukan kajian secara cermat kebutuhan dan ketersediaan kamar hotel (berbintang dan non bintang), termasuk home stay, wisma, losmen dan penginapan milik warga masyarakat, agar diketahui secara pasti masih diperlukan pembangunan hotel baru atau tidak; (b) mengoptimalkan pemanfaatan home stay, wisma, losmen dan penginapan milik warga masyarakat untuk menampung wisatawan, sebagai bagian keistimewaan Yogyakarta sebagai destinasi wisata; (c) melindungi wilayah Yogyakarta dari kerusakan ekologis yang semakin parah, utamanya ketersediaan RTH dan sumberdaya air; (d) menjaga bangunan cagar budaya yang dilindungi dari berbagai ancaman tumbuhnya bangunan modern, seperti hotel, apartemen dan mal; (e) memastikan Yogya sebagai wilayah yang nyaman, baik bagi warga masyarakatnya maupun bagi para pendatang dan wisatawan.
Kiranya filosofi hamemayu hayuning bawana masih mampu menjaga kelestarian dan keberlanjutan Yogyakarta sebagai daerah istimewa, apabila betul-betul dijadikan dasar dalam pembangunan, termasuk pembangunan hotel. 


[1] Dimuat di SKH KR, 30 Juli 2015 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM