Rabu, 30 November 2016

Lahan Pangan Berkelanjutan



Lahan Pangan Berkelanjutan[1]

Oleh:
Sutaryono[2]

Optimisme Pemerintah untuk merealisasikan swasembada pangan nasional akan dilakukan melalui percepatan penyediaan infrastruktur pendukung pertanian. Betul, infrastruktur pendukung pertanian mutlak diperlukan untuk mewujudkan swasembada pangan, tetapi ketersediaan lahan pertanian pangan yang memadai adalah prasyaratnya. Mengapa? Data BPS menunjukkan bahwa luas lahan pertanian pangan dari tahun ke tahun mengalami penurunan, rata-rata pemilikan lahan oleh petani hanya 0,36 hektar, dan terdapat lebih dari 11 juta rumah tangga petani tidak memiliki tanah. Hal yang merisaukan adalah konversi lahan pertanian ke non pertanian tidak bisa dielakkan, dan intensitasnya semakin meningkat.  Pertanyaannya, bagaimana mungkin swasembada pangan dapat diwujudkan sementara lahan pertanian pangan ketersediaannya semakin menurun?

Kebijakan Lahan Pangan Berkelanjutan

Untuk menunjang perwujudan swasembada pangan melalui ketersediaan lahan, Pemerintah sudah menerbitkan UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Regulasi ini terbit dengan pertimbangan bahwa negara menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi setiap warga negara sehingga negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Disamping itu disadari betul bahwa pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri berdampak pada degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan.
Namun demikian, upaya ‘pengamanan’ lahan pertanian pangan berkelanjutan sesuai amanah UU di atas hingga kini belum menampakkan hasilnya. Konversi lahan pertanian terus terjadi dan sulit dikendalikan. Konversi  lahan pertanian secara nasional diperkirakan mencapai lebih dari 100 ribu hektar per tahun atau seluas 270 lapangan bola hilang setiap hari.
Konversi lahan pertanian ini berdampak pada: (a) hilangnya lahan pertanian produktif, yang kontraproduktif dengan cita-cita swasembada pangan; (b) ketergantungan impor pangan semakin meningkat; (c) harga pangan semakin tinggi; (d) berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor pertanian; (e) semakin meningkatnya jumlah buruh tani dan petani tanpa tanah; dan (f) meningkatnya kerentanan sosial dan pengangguran di perdesaan.
Berbagai dampak tersebut dapat diantisipasi dan dikurangi melalui kebijakan pemerintah dalam perlindungan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sesuai amanah UU 41/2009. Komitmen yang kuat sangat dibutuhkan, utamanya bagi Kepala Daerah dan DPRD untuk menjalankan UU PLP2B melalui kebijakan Penetapan Rencana Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

PLP2B dalam Bingkai Penataan Ruang

Komitmen perlindungan lahan pertanian harus dilakukan secara terintegrasi dengan kebijakan pembangunan wilayah, utamanya adalah kebijakan perencanaan pembangunan dan kebijakan penataan ruang.
Penetapan Kawasan PLP2B harus dituangkan dalam RPJP, RPJM, dan Rencana Tahunan baik pada level nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Penetapan Kawasan PLP2B ini merupakan bagian dari penetapan RTRW, utamanya dalam bentuk rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota. Dalam hal ini, penetapan lahan pertanian pangan tersebut menjadi dasar dalam penyusunan Peraturan Zonasi, yang merupakan salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang.  
Dalam konteks DIY, langkah progresif sudah dilakukan. UU 41/2009 tentang PLP2B telah ditindaklanjuti dengan Perda Nomor 10/2011. Sejumlah lebih dari 35 ribu hektar telah diorientasikan untuk penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Lahan tersebut berada di Sleman seluas 12.377 ha,   Bantul dengan luas paling kurang 13.000 ha, KulonProgo dengan luas paling kurang 5.029 ha dan Gunungkidul dengan luas paling kurang 5.505 ha.
Meskipun belum sinkron dan terakomodasi dalam RTRW Provinsi DIY dan RTRW Kabupaten, paling tidak komitmen untuk menjalankan UU dan menyelamatkan lahan pertanian pangan sudah diwujudkan melalui kebijakan. Langkah berikutnya adalah mengimplementasikan kebijakan tersebut sembari menautkan Perda PLP2B ke dalam RTRW Provinsi DIY yang saat ini tengah dalam proses revisi. Pada akhir tahun ini pula Dinas Pertanian DIY tengah menyelesaikan Kajian Evaluasi Implementasi Perda 10/2011 tentang PLP2B. Harapannya, kajian tersebut dapat mengidentifikasi dan merekomendasikan kawasan lahan pertanian di wilayah DIY yang secara indikatif dapat ditetapkan sebagai Kawasan PLP2B yang kemudian diinputkan dalam Revisi RTRW DIY. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan untuk menyelamatkan lahan pertanian pangan di DIY sebagai bagian dari implementasi filosofi hamemayu hayuning bawana.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 22-11-2016
[2] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional  (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM