Kamis, 20 Januari 2022

Memahami Urgensi Bank Tanah

 

Memahami Urgensi Bank Tanah[1]

 

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

 

Pada penghujung tahun 2021 secara resmi pemerintah memiliki Bank Tanah. Kelahiran bank tanah ini ditandai dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Bank Tanah. Terlepas dari polemik pasca Putusan MK terkait dengan UU Cipta Kerja, naskah ini mencoba mengelaborasi urgensi pembentukan bank tanah.

Pada dasarnya gagasan perlunya pembentukan Bank Tanah sudah ada hampir satu dekade yang lalu, yakni melalui dokumen White Paper Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional (Bappenas, 2013). Perlunya pembentukan bank tanah dikarenakan intensitas kebutuhan tanah untuk pembangunan yang semakin meningkat, terbatasnya ketersediaan tanah, harga tanah yang selalu meningkat, serta kurang optimalnya penggunaan dan pemanfaatan tanah, utamanya bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Disisi lain badan usaha swasta sudah mempraktikkan ‘bank tanah’ dalam bentuk penguasaan tanah dengan skala luas sebagai pencadangan tanah, yang dapat dimaknai sebagai praktik spekulasi yang di dalamnya ada unsur penelantaran tanah.

Seperti kita ketahui bersama bahwa berbagai pembangunan untuk kepentingan umum, utamanya pembangunan infrastruktur seringkali terhambat pada proses pengadaan tanahnya. Terhambatnya proses pengadaan tanah tersebut disebabkan oleh: (a) lokasi tidak sesuai dengan RTRW; (b) tidak semua masyarakat terdampak Setuju; (c) Hak Atas Tanah tidak jelas (Objek & Subjeknya); (d) ketidaksepakatan dalam Ganti Rugi; (e) kurang terbukanya informasi; (f) munculnya Spekulan; (g) proses penetapan lokasi yang tidak clear & clean; (h) keterbatasan pembiayaan. Berbagai persoalan tersebut menjadikan ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjadi terganggu. Bahkan untuk pembangunan infrastruktur yang bersifat strategispun menjadi terhambat. 

Berdasarkan hal-hal di atas maka keberadaan bank tanah menjadi sebuah kebutuhan yang perlu diprioritaskan. Keberadaan Bank Tanah diperlukan sebagai organ pemerintah yang mampu menyediakan kebutuhan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sekaligus menjadi instrumen utama dalam mencegah terjadinya spekulasi harga tanah. Dalam hal ini bank tanah tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dari selisih harga penjualan tanah yang dimilikinya. Selisih harga hanya digunakan sepenuhnya untuk membiayai kebutuhan operasional Bank Tanah. Sehingga penyediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersedia, tanpa menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Indonesia.

Berdasarkan PP 64/2021 disebutkan bahwa Badan Bank Tanah yang selanjutnya disebut Bank Tanah adalah badan khusus  yang merupakan badan hukum Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah. Kewenangan khusus bank tanah adalah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk: (a) kepentingan umum; (b) kepentingan sosial; (c) kepentingan pembangunan nasional; (d) pemerataan ekonomi; (e) konsolidasi lahan; dan (f) reforma agraria.

Secara normatif Bank Tanah diberikan tugas untuk: (a) melakukan perencanaan kegiatan; (b) melakukan perolehan tanah; (c) melakukan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum atau pengadaan tanah secara langsung; (d) melakukan pengelolaan tanah dari kegiatan pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian tanah; (e) melakukan pemanfaatan tanah melalui kerja sama pemanfaatan dengan pihak lain; dan (f) melakukan pendistribusian tanah.

Objek tanah yang dapat dikuasai oleh bank tanah adalh tanah hasil penetapan pemerintah yang berasal dari tanah negara, seperti: (a) tanah bekas hak; (b) kawasan dan tanah telantar; (c) tanah pelepasan kawasan hutan; (d) tanah timbul; (e) tanah hasil reklamasi; (f) tanah bekas tambang; (g) tanah pulau-pulau kecil; (h) tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang; dan (i) tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya. Disamping itu juga dapat berasal dari tanah-tanah pemerintah, badan hukum, badan usaha ataupun dari tanah masyarakat. Tanah-tanah tersebut dikuasai oleh bank tanah melalui berbagai cara perolehan seperti pembelian, penerimaan hibah/sumbangan, tukar menukar, pelepasan hak maupun melalui perolehan bentuk lain yang sah.

Pada akhirnya, apabila bank tanah ini dapat beroperasi secara baik maka jaminan ketersediaan tanah untuk berbagai pembangunan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, maupun untuk kepentingan pemerataan ekonomi ataupun terkait dengan agenda reforma dapat diwujudkan.



[1] Dimuat pada SKH Kedaulatan Rakyat, 19 Januari 2022 Hal 11

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM