Jumat, 03 Januari 2020

Mencegah Banjir


Cegah Banjir[1]

Oleh: Dr. Sutaryono[2]

Dalam dua hari ini kita disuguhi berita tetang banjir di wilayah Jabodetabek yang cakupannya semakin meluas. Bahkan dikabarkan bahwa banjir dalam dua hari ini adalah banjir terparah dalam 7 tahun terakhir. Disamping curah hujan yang tinggi, penyebab banjir adalah tidak mampunya sungai menampung aliran air dan air hujan yang berasal dari hulu. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa wilayah terdampak banjir adalah wilayah-wilayah yang berada di sekitar aliran sungai.
Berkaca dari  banjir tersebut, Kota Yogyakarta yang dialiri oleh tiga sungai harus mengantisipasinya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa sempadan ketiga sungai di Yogyakarta (Winongo, Code dan Gajah Wong) mempunyai tingkat kerentanan bahaya banjir yang tinggi (BNPB, 2018). Salah satu agenda yang dapat mengurangi bahaya banjir dan longsor di sempadan sungai adalah mengembalikan hak air atas tanahnya. Hak air atas tanah di daerah sempadan sungai untuk bisa mengalir secara wajar telah diambil oleh masyarakat untuk rumah tinggal dan tempat pembuangan sampah (Opini KR, 22-4-2016).

Kondisi Eksisting

Dalam Dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RTRW Kota Yogyakarta 2018, teridentifikasi sebanyak 268 titik di 13 kecamatan dengan luas 269,93 hektar adalah kawasan kumuh. Kondisi ini menunjukkan hal yang cukup memprihatinkan, mengingat 13 kecamatan dari 14 kecamatan di Yogyakarta terdapat kawasan kumuh. Secara administratif, kawasan kumuh berupa permukiman terdapat di 33 Kelurahan, yang sebagian besar ada di permukiman pinggiran sungai.
Untuk menyelesaikan kondisi di atas, salah satu isu strategis dalam RPJMD Kota Yogyakarta yang dirumuskan adalah penataan kawasan bantaran sungai. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta telah berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan permukiman kumuh yang sebagian besar ada di sempadan sungai dengan kerentanan bahaya banjir yang tinggi.
Dalam konteks ini sempadan sungai adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai (Permen PUPR NOMOR 28/PRT/M/2015). Untuk sungai-sungai yang melintas di Kota Yogyakarta, dapat dikategorikan sebagai sungai bertanggul. Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit berjarak 3 meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Sempadan sungai ini merupakan kawasan lindung, mengingat kawasan ini melindungi fungsi sungai dari aktifitas yang berkembang di sekitarnya dan  menjaga kelestarian fungsi sungai.

Strategi Penataan

Untuk mencegah banjir sekaligus menyelesaikan permasalahan kawasan kumuh di sempadan sungai perlu dilakukan agenda strategis yang melibatkan banyak pihak dan dilakukan secara partisipatif. Strategi penataan kawasan sempadan  di Yogyakarta melalui Konsep Mundur, Munggah, Madhep Kali (M3K) yang sudah dicanangkan sejak tahun 2016 (KR, 16-03-2016), hingga saat ini belum dapat diimplementasikan secara tuntas. Hal ini muncul saat Diskusi Terfokus ‘Pencegahan Sengketa Tanah Di Kawasan Bantaran Sungai di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Oleh karena itu, untuk mengakselerasi kebijakan M3K ini perlu didorong dengan penggunaan strategi baru, yakni M3K Berbasis Konsolidasi Tanah Partisipatif.
Kondolidasi Tanah merupakan kebijakan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah sesuai RTRW serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan guna peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan partisipasi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa konsolidasi tanah memiliki tiga agenda sekaligus, yakni: (a) penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah; (b) pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; serta (c) dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara partisipatif.
Agenda penataan kawasan sempadan sungai dengan M3K Berbasis Konsolidasi Tanah Partisipatif, paling tidak terdiri dari tiga tahapan penting yakni: (a) identifikasi kawasan yang akan ditata, baik objeknya (tanah dan bangunannya) maupun subjek-nya (pemilik, penghuni ataupun yang menguasai tanah/bangunannya) yang dilakukan secara partisipatif; (b) penguatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan yang menjadi sasaran; (c) penguatan komitmen pemerintah, baik dalam penyelenggaraan konsolidasi tanahnya, pembangunan sarana dan prasarananya, termasuk menyediakan hunian sementara untuk masyarakat yang tanahnya di tata maupun pembangunan hunian pasca konsolidasi tanah.


[1] Dimuat dalam Analisis Harian Kedaulatan Rakyat, 03-01-2020 hal 1
[2] Dr. Sutaryono, Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM