Senin, 09 Desember 2013

PENDAFTARAN TANAH



PERLUKAH PERGESERAN SISTEM PENDAFTARAN TANAH?

Pasal 32 ayat (1) PP nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa “sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan”. Kemudian di dalam penjelasan Pasal tersebut, dinyatakan bahwa “Sertipikat merupakan tanda bukti yang kuat dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar”.
Dengan demikian, sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh Indonesia, tidak menjamin kepastian hukum hak atas tanah sehingga memunculkan peluang pembatalan hak atas tanah. Hal ini berimplikasi negatif terhadap pembangunan nasional seperti:
1.    Rendahnya daya saing Indonesia dalam percaturan global terhadap investor yang masuk;
2.    Potensi konflik antar masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah pada ujungnya mengganggu stabilitas kemanan nasional, termasuk mengancam integritas NKRI;
3.    Menghambat pertumbuhan ekonomi nasional yang berujung pada menurunnya kesejahteraan masyarakat;
Selain itu, fisik sertifikat kepemilikan tanah yang berupa lembaran kertas (yang bukan hak atas tanah) menjadi bernilai strategis. Hal ini memberikan motivasi bagi pihak yang tidak berhak untuk melakukan tindak pidana untuk melakukan pemalsuan. Hal ini berimplikasi negatif terhadap:
1.  Moral hazard bagi para pejabat dan aparat yang terkait dalam proses pendaftaran tanah;
2.  Menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah secara umum;
3.  Memberikan motivasi munculnya persengkokolan perbuatan jahat;

Berdasarkan realitas di atas, tampaknya perlu dilakukan upaya-upaya untuk merumuskan kebijakan yang lebih menguntungkan, baik bagi subjek pemegang hak maupun bagi negara dalam konstelasi pembangunan global. Pertanyaannya adalah, mungkinkah sistem pendaftaran tanah dari stelsel negatif diubah ke stelsel positif?
 



BANK TANAH



URGENSI BANK TANAH

Intensitas pembangunan yang semakin meningkat dan kondisi keterbatasan persediaan tanah berakibat semakin sulitnya memperoleh tanah untuk berbagai keperluan, baik yang akan dialokasikan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum  maupun bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan perusahaan/swasta. Selain itu pertambahan jumlah penduduk, kelangkaan tanah dan kemunduran kualitas  tanah, alih fungsi penggunaan/peruntukan tanah serta semakin meningkatnya konflik pertanahan, kemiskinan, sempitnya lapangan kerja, terdesaknya hak-hak masyarakat hukum adat, dan lain sebagainya mendesak agar Pemerintah menata ulang berbagai kebijakan di bidang pertanahan.
Kondisi di atas, dihadapkan lagi dengan melonjaknya harga tanah yang secara tidak terkendali/wajar  dari tahun ke tahun untuk berbagai kepentingan. Bahkan ada kecenderungan penguasaan tanah dalam skala luas ditujukan untuk mencari keuntungan dengan berkedok sebagai badan usaha yang bergerak di bidang properti dengan HGB dan bidang perkebunan dengan HGU serta sebagai badan usaha yang bergerak dalam penyiapan tanah untuk kawasan perindustrian dengan regulasi Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) dan Kawasan Siap Bangun (Kasiba).
Berbagai kegiatan usaha tersebut digunakan sebagai jastifikasi untuk menguasai tanah dalam skala besar, meskipun tidak diusahakan secara optimal. Bahkan sebagian terindikasi diterlantarkan. Kondisi ini dapat dimaknai sebagai praktek bank tanah yang tidak tepat, yang dilakukan oleh swasta. Penguasaan tanah dalam skala luas, tidak diusahakan untuk kepentingan pembangunan ekonomi tetapi cenderung dimanfaatkan sebagai objek spekulasi dan investasi.
Hal ini banyak ditemukan tidak hanya di wilayah-wilayah perdesaan tetapi juga di wilayah perkotaan. Di wilayah perdesaan dilakukan dengan modus permohonan HGU berskala luas, tetapi tidak secara keseluruhan dimanfaatkan sesuai tujuan pemberian hak. Sedangkan di wilayah perkotaan, akuisisi tanah dengan skala luas banyak dipraktikkan oleh perusahaan-perusahaan besar di bidang properti melalui perolehan HGB yang kemudian diterlantarkan dengan argumen untuk pencadangan tanah. Bahkan ditengarai mereka menguasai tanah hanya mendasarkan pada izin lokasi/ijin prinsip dari bupati/walikota. Lebih dari itu, luasan tanah yang terinidkasi diterlantarkan tersebut telah menjadi agunan dan dibebankan hak melalui hak tanggungan di lembaga keuangan/perbankan. 
Pertanyaan yang kemudian perlu didiskusikan adalah apakah sudah saatnya membentuk Lembaga Bank Tanah? Bagaimana pendapay Saudara?

Kamis, 28 November 2013

Sinkronisasi Keistimewaan TR - Pertanahan



SINKRONISASI KEISTIMEWAAN TATA RUANG & PERTANAHAN[1]
Oleh:
Sutaryono[2]


Penghujung tahun 2013 ini, pasca terbitnya Perdais Nomor  1  Tahun 2013 Tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan babak baru implementasi kewenangan keistimewaan bagi DIY.  Babak baru ini ditandai oleh kegiatan yang dirancang, dibiayai dan diorientasikan dalam rangka keistimewaan. Dalam hal ini Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Berkenaan dengan hal tersebut, dua kewenangan dalam urusan keistimewaan yang berimplikasi luas, berkelanjutan serta membutuhkan sinkronisasi yang kuat dan ketat adalah kewenangan urusan tata ruang dan pertanahan. Mengapa? Karena, kedua keistimewaan ini mempunyai objek, pemangku kepentingan dan dampak kepada masyarakat luas yang hampir sama. Persoalannya adalah, bagaimana dua urusan yang interseksinya sangat kuat, diurusi oleh lembaga yang berbeda dengan budget & bentuk kegiatan berbeda serta berdampak luas ini dapat disinkronkan?
          Pertanyaan di atas harus mendapatkan jawaban dan alternatif solusi yang tepat agar kewenangan urusan keistimewaan dapat berkontribusi positif dalam terwujudnya kesejahteraan masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat. Beberapa persoalan dan isu yang perlu mendapat perhatian yang seksama adalah: (1) objek keistimewaan. Pasal 34 (1) UU 13/2012 menyebutkan bahwa kewenangan kasultanan dan kadipaten dalam tata ruang terbatas pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah kasultanan dan tanah kadipaten, padahal secara keruangan objek SG-PAG tidak secara masif berada pada satu lokasi. Pasal 32 (4) UU 13/2012 menyebutkan Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY, dimana secara fisik dan yuridis belum secara nyata dapat teridentifikasi di lapangan; (2) kewenangan urusan keistimewaan ada pada Pemda DIY, sementara wilayah secara administratif dan keruangan adalah kewenangan daerah otonom (kabupaten/kota); (3) kelembagaan yang mengatur, mengelola dan memonitor keberadaan SG-PAG di setiap wilayah kabupaten/kota tidak seragam, meskipun secara khusus SG dikelola oleh Penghageng Wahana Sartakriya (Panitikisma) dan PAG dikelola oleh Kawedanan Kaprajan; (4) kedudukan RTRW Kabupaten/Kota dihadapan kebijakan tata ruang keistimewaan, mengingat kebijakan tata ruang keistimewaan berada pada level Pemda DIY; (5) penggunaan dan pemanfaatan ruang/tanah oleh perorangan maupun badan hukum yang saat ini masih eksis, baik yang sudah dilandasi oleh suatu alas hak ataupun yang belum.
          Berbagai persoalan dan isu di atas perlu dibingkai dalam satu koridor yang dipahami dan disepakati oleh berbagai stake holders yang berkepentingan terhadap ruang dan/atau tanah dalam konteks keistimewaan. Kesepahaman terhadap prinsip dan filosofi dasar keistimewaan merupakan prasyarat bagi terselenggaranya sinkronisasi yang baik antara urusan tata ruang dan pertanahan.  Paling tidak terdapat 4 prinsip dan filosofi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam sinkronisasi, yakni: (1) hamemayu hayuning bawana, yang merupakan hak dan kewajiban istimewa untuk melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat daripada memenuhi ambisi pribadi atau golongan; (2) sangkan paraning dumadi, yakni pemahaman terhadap asal mula manusia dan tujuan terakhirnya yang sangat erat dengan kuasa ilahiyah; (3) manunggaling kawula lan Gusti, merupakan prinsip kepemimpinan demokratis dan  humanisme, yang tentunya diorientasikan untuk kemaslahatan masyarakat luas; (4) tahta untuk rakyat, yang esensinya adalah kebersamaan dan orientasi kekuasaan untuk kepentingan masyarakat luas.
Apabila prinsip dan filosofi di atas dijadikan dasar dalam sinkronasi dan dapat terinternalisasi dalam setiap pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan kegiatan dalam rangka keistimewaan maka sinkronisasi sudah mulai dilakukan. Sinkronisasi berikutnya tinggal bersifat teknis administratif seperti pembedaan objek kewenangan dalam tata ruang & pertanahan, mekanisme penyelenggaraan kegiatan, kedudukan tata ruang keistimewaan dengan RTRW kab/kota, serta pembedaan kelembagaan yang mengelola tata ruang dan pertanahan pada semua kab/kota. Hal ini bisa dilakukan agar agenda keistimewaan dapat berproses secara produktif, konstruktif & semakin mengukuhkan Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, Kamis 28-11-2013 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM