Kamis, 14 Maret 2013

Pengadaan Tanah Untuk Bandara


PENGADAAN TANAH UNTUK BANDARA[1]

Oleh: Sutaryono[2]

Pasca diterbitkannya Izin Relokasi Bandara Adisucipto serta Pengelolaan Bandara Baru oleh Kementerian Perhubungan -tanpa menafikan agenda lain- salah satu agenda yang paling krusial adalah kegiatan pengadaan tanah. Pengadaan tanah dimaknai sebagai kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Kesuksesan dalam pengadaan tanah adalah indikasi keberhasilan proyek bandara & keberlanjutan bisnis yang berhubungan dengan operasional bandara.
Regulasi pengadaan tanah untuk bandara (kepentingan umum), saat ini mengacu pada UU 12/2012 jo Perpres 71/2012 dan operasionalisasinya mendasarkan pada Peraturan Kepala BPN 5/2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah, yang secara substansial lebih memberikan ruang pada kepentingan masyarakat terkena dampak. Berdasarkan regulasi tersebut, proses pengadaan tanah dilakukan oleh Pelaksana Pengadaan Tanah, dalam hal ini adalah Lembaga Pertanahan (BPN).
Tahapan pengadaan tanah yang paling krusial adalah konsultasi publik untuk persetujuan penetapan lokasi dan musyawarah pemberian ganti kerugian. Apabila kedua proses tersebut dapat dilalui secara lancar dan mendapatkan kesepakatan oleh masyarakat yang akan terkena dampak, maka terwujudnya bandara baru di Yogyakarta adalah sebuah keniscayaan.
Konsultasi publik merupakan tahapan awal dalam proses pengadaan tanah. Kegiatan ini diorientasikan untuk mendapatkan kesepakatan antara institusi yang membutuhkan tanah dengan masyarakat yang akan terkena dampak, yang kemudian ditetapkan oleh Gubernur sebagai lokasi bandara. Dalam hal ini, masyarakat dimungkinkan untuk mengajukan keberatan terhadap rencana proyek. Apabila keberatan masyarakat diterima Gubernur, maka lokasi proyek yang direncanakan harus pindah ke lokasi lain. Jadi dalam konteks kekinian, proses pengadaan tanah dapat dilanjutkan apabila masyarakat yang terkena dampak menyetujui lokasi proyek yang direncanakan.
Persoalan kruisal berikutnya adalah musyawarah dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian antara instansi yang membutuhkan tanah dengan masyarakat pemilik tanah yang dilaksanakan oleh pelaksana pengadaan tanah. Bentuk ganti kerugian tidak harus berbentuk uang, tetapi dimungkinkan dalam bentuk lain seperti tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Bentuk lain ini dapat berupa gabungan dari beberapa bentuk yang sudah disebutkan, dengan catatan mendapat persetujuan keduabelah pihak.
 Secara khusus, berkenaan dengan besarnya ganti kerugian tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh instansi yang membutuhkan tanah, pelaksana pengadaan tanah ataupun oleh pemerintah. Penentuan besarnya ganti kerugian didasarkan pada hasil penghitungan oleh Penilai Independen/Penilai Publik yang telah mendapatkan izin dari Kementerian Keuangan. Hasil penilaian disampaikan kepada Pelaksana Pengadaan Tanah untuk dijadikan dasar musyawarah dalam menetapkan ganti kerugian.
Penilai melakukan penilaian tidak hanya mendasarkan pada NJOP maupun Zona Nilai Tanah belaka, tetapi Penilai melakukan penilaian untuk ganti kerugian terhadap nilai: (a) tanah; (b) ruang atas tanah dan bawah tanah; (c) bangunan; (d) tanaman; (e) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau (f) kerugian lain yang dapat dinilai, secara keseluruhan. Dalam hal ini NJOP dan ZNT hanya dijadikan sebagai referensi. Penilaian yang dilakukan oleh penilai publik dengan mempertimbangkan seluruh aspek yang berhubungan dengan kepemilikan tanah tersebut, memberikan beberapa aspek positif yang meliputi: (a) terwujudnya nilai tanah secara fair dan adil; (b) terlindunginya hak-hak pemilik tanah dan terjangkaunya nilai/harga tanah yang harus dibayarkan oleh instansi yang membutuhkan tanah; serta (c) mempersempit ruang gerak spekulan tanah dalam ‘memainkan’ harga tanah. 
Berdasarkan beberapa hal di atas, maka bagi masyarakat pemilik tanah yang akan terkena dampak pembangunan bandara tidak perlu khawatir berkenaan dengan besarnya ganti kerugian, mengingat regulasi yang dijadikan dasar tidak memungkinkan penilaian ganti kerugian ditetapkan secara sepihak. Satu hal yang harus dicermati oleh masyarakat yang akan terkena dampak adalah ikut berpartisipasi aktif dalam menanggulangi munculnya spekulan tanah yang hanya mencari keuntungan semata, tanpa mempedulikan kepentingan masyarakat luas. Partisipasi aktif ini sangat menentukan keberhasilan pembangunan bandara baru di Ngayogyakarta Hadiningrat. 


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 14 Maret 2013 hal 12
[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fak. Geografi UGM, Deputi Direktur Matapena Institute.

Rabu, 13 Maret 2013

Lulusan Diploma 4 Tidak Bisa S-2 UGM

Sejak Tahun 2008 melalui Peraturan Rektor, Universitas Gadjah Mada telah melarang Mahasiswa Bergelar D-4 untuk diterima sebagai Mahasiswa di Program Master atau S-2. Mahasiswa yang bisa diterima di Program S-2 UGM harus bergelar S1, baik di bidang yang sama maupun tidak (Koran TEMPO, 6 Maret 2013).
Pertanyannya, bagaimana dengan Lulusan Diploma 4, yang berkeingingan untuk studi lanjut? bukankah pendidikan itu hak bagi semua warga negara?