Kamis, 17 Oktober 2013

Kritisnya Pangan & Agraria

Kritisnya Kondisi Pangan & Agraria



KRITISNYA KONDISI PANGAN & AGRARIA[1]

Oleh: Sutaryono[2]

Ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan saat ini semakin memprihatinkan. Impor pangan masih terus terjadi dan volumenya semakin meningkat. Alasan utama kebijakan impor masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tidak sebanding dengan produksi dalam negeri. Kondisi tersebut, pada dasarnya sudah diketahui dan dipahami oleh pemerintah sejak satu dekade yang lalu.
Dokumen Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010 yang disusun oleh Kementerian Pertanian, telah menunjukkan hal itu. Arah pengembangan dan sasaran lima komoditas pangan utama, yaitu mempertahankan swasembada padi berkelanjutan, serta mencapai swasembada untuk komoditas jagung (tahun 2007), kedelai (tahun 2015), gula (tahun 2009) dan daging  sapi (tahun 2010). Namun apa dikata, alih-alih swasembada, mengurangi impor saja adalah hal sulit, mengingat tidak adanya peningkatan produksi.
Khusus komoditas kedelai, persoalan kelangkaan dan mahalnya harga, hampir satu tahun ini belum juga terselesaikan. Tahun 2004 jumlah import-nya sebesar 64,86% dari kebutuhan, tahun 2008 justru meningkat menjadi 70%. Tahun ini, jumlah impor kedelai mencapai 1,7 juta ton/tahun, dari total kebutuhan sebesar 2.4 juta ton (70,83%). Besarnya ketergantungan kedelai dari negara lain inilah yang menjadikan melambungnya harga. Sementara ini, kebijakan pemerintah untuk mengatasi kebutuhan kedelai dilakukan dengan menghapuskan pajak bea masuk sampai akhir tahun. Tujuannya jelas, yakni mencukupi kebutuhan kedelai dan menstabilkan harganya melalui peningkatan impor. 
Komoditas strategis lainnya seperti beras, jagung, gula dan daging sapi tidak jauh berbeda dengan komoditas kedelai. Awal 2013, pemerintah optimis kebutuhan beras tercukupi oleh produksi nasional. Namun demikian, realitasnya impor beras dalam kurun waktu Januari – Juni 2013 yang dicatat BPS mencapai 239.000 ton. Komoditas jagung, kebutuhan impor tahun 2013 diperkirakan mencapai 2,8–3 juta ton. Lebih menyedihkan lagi adalah komoditas gula untuk industri 100% (3,2 jutan ton/tahun) dipenuhi melalui impor, sementara itu untuk kebutuhan konsumsi angka impornya mencapai 8% (0,2 juta ton/tahun). Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi setiap tahun mengimpor lebih dari 200.000 ekor sapi.
Kondisi di atas menunjukkan kritisnya kondisi pangan di negeri ini, yang tentu berkelindan dengan kondisi agraria nasional.  Pada tahun 2013 ini jumlah petani mencapai 26,13 juta, di mana lebih dari separuhnya menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 ha. Lebih dari itu, hal yang menjadi keprihatian bersama saat ini adalah persoalan keadilan dan kesejahteraan agraria yang tidak kunjung dirasakan, bahkan fenomena konflik agraria dan pertanahan masih marak. Inilah kritisnya kondisi keagrariaan di Indonesia.
Mengapa? Saat ini masih dijumpai permasalahan keagrariaan dan pertanahan, seperti: (1) tumpang tindihnya regulasi di bidang keagrariaan dan pertanahan. Saat ini tercatat sejumlah 632 regulasi berbagai level yang tumpang tindih berkaitan dengan pengelolaan keagrariaan – pertanahan; (2) terbatasnya akses masyarakat terhadap penguasaan dan pemilikan sumberdaya agraria; (3) terdapatnya tanah terlantar ataupun diterlantarkan oleh pemegang hak; (4) belum terwujudnya pendaftaran tanah secara menyeluruh, saat ini baru terdaftar sekitar 46 juta bidang dari sekitar 100 juta bidang tanah yang ada; (5) lambatnya penyelesaian sengketa, konflik dan perkara agraria – pertanahan. Data yang dirilis BPN, akhir 2012 tercatat sejumlah 8.307 kasus, belum termasuk sengketa dan konflik sumberdaya agraria lainnya (pertambangan, kehutanan, perairan); (6) belum memadainya perlindungan terhadap hak-hak atas tanah bagi masyarakat, termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat; dan (7) belum adanya lembaga penilaian tanah yang mampu memberikan penilaian secara adil, transparan dan mendukung penguatan sistem perpajakan dan penilaian ganti rugi atas tanah. 
          Kondisi kritis pangan dan agraria ini perlu kita jadikan momentum mencari jalan keluar untuk menyelesaikan banyak persoalan. Hal ini bisa kita mulai dari Yogya sebagai daerah istimewa, dimana sudah tidak ada lagi konflik wilayah (KR, 16-9-3013). Penyadaran pentingnya berdaulat atas pangan hanya bisa diwujudkan melalui keadilan agraria dan keberpihakan kepada sektor agraris sebagai tumpuan sebagian besar penduduk Indonesia.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 12 Oktober 2013
[2] Dr. Sutaryono, Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM, Deputi Direktur Matapena Institute.

Rabu, 16 Oktober 2013

PPL Berbasis Komunitas



PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN
BERBASIS KOMUNITAS

Oleh:
Sutaryono
(taryo_jogja@yahoo.com; 08122958306)
www.manajemenpertanahan.blogspot.com
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta


A.  Pendahuluan
            Dinamika wilayah yang mewujud dalam berbagai bentuk perkembangan wilayah terjadi di wilayah pinggiran kota maupun di wilayah perdesaan. Wilayah pinggiran kota dalam kajian urban peri sering disebut juga dengan berbagai istilah, antara lain rurban, rural-urban, peri-urban, rurban periphery dan urban fringe.  Browder, et al (1995) menyebutnya sebagai metropolitan fringe. Istilah ini menurut German Adel dikategorikan sebagai konsepsi tradisional peri urban (Adell, 1999). Browder, et al (1995) menyebutkan bahwa metroplitan fringe merupakan: (a) sebuah kenampakan pengembangan penggunaan lahan yang bervariasi, dalam keterkaitan antara kota dan desa; (b) wilayah transisi, antara penggunaan alamiah yang berorentasi pada aktivitas keagrariaan (pertanian) dengan aktivitas yang berorientasi kota secara progresif; (c) penggunaan lahan untuk pertanian, tenaga kerja dan keterkaitan dengan perdesaan mulai memudar bergeser ke arah aktivitas kota, dan jarak ke pusat kota menjadi lebih singkat; (d) didiami oleh penduduk miskin yang berasal dari wilayah perdesaan, yang sebagian bergerak di sektor informal; (e) pola pertumbuhan heterogen seperti pertumbuhan kota yang menggeser eksistensi lahan pertanian dan desa, munculnya migran perdesaan yang menunjukkan transitional social space, proses sub urbanisasi seperti munculnya sewa lahan, adanya peluang pemilik modal untuk mengakuisisi lahan, spekulan dan  sektor informal lainnya (Browder et al., 1995 dalam Adell, 1999 ).
Tesis Browder et al di atas, memberikan implikasi pada munculnya degradasi dan deteriorisasi lingkungan perkotaan dan pinggiran kota yang mewujud dalam masifnya pemekaran kota, tercemarnya air, udara dan tanah dengan berbagai polutan, tumbuh suburnya slum area dan sektor informal, menurunnya permukaan tanah dan permukaan air tanah, meningkatnya banjir, semrawutnya tata kota & tata bangunan. Kondisi demikian, perlahan tetapi pasti semakin bergerak menuju wilayah pinggiran kota dan perdesaan.  Untuk mengantisipasi dan mengurangi meluasnya degradasi dan deteriorasi lingkungan yang semakin meluas ke arah perdesaan perlu dilakukan pengendalian lahan. Pengendalian lahan dapat berjalan secara optimal apabila melibatkan komunitas masyarakat (lokal) secara aktif partisipatoris, mengingat komunitas inilah yang paling mengerti dan paling berkepentingan terhadap lahan di wilayahnya.  Pelibatan komunitas masyarakat dalam pengendalian lahan ini dapat diimplementasikan melalui proses dan mekanisme penataan ruang.
Secara yuridis, peran komunitas masyarakat dalam penataan ruang sudah diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Hal ini menunjukkan bahwa pelibatan komunitas masyarakat dalam penataan ruang secara partisipatif merupakan suatu keniscayaan untuk mewujudkan keberlanjutan masa depan wilayah. Dalam hal ini salah satu esensi implementatif dalam penataan ruang adalah perencanaan penggunaan lahan.  
Perencanaan penggunaan lahan berbasis komunitas ini merupakan salah satu alternatif pengendalian lahan yang dapat dilakukan pada berbagai kondisi wilayah dan komunitas, baik komunitas kota, desa ataupun komunitas adat tanpa menafikan keberadaan institusi pemerintah yang bertanggungjawab dalam perencanaan penggunaan lahan.

B.  Urgensi Pengendalian Lahan Partisipatif
Pergeseran paradigma pembangunan yang mengarah pada pembangunan terpadu berbasis komunitas lokal atau masyarakat setempat (people centered development) mendapatkan momentum pada era otonomi dan desentralisasi. Artinya, daerah otonom mempunyai peluang yang cukup luas untuk melakukan insiasi dalam penataan ruang dan wilayahnya sesuai dengan aspirasi dan kondisi masyarakatnya (Sutaryono, 2008). Peluang ini memberikan kesempatan kepada setiap daerah untuk menginisiasi penataan ruang berbasis komunitas yang esensinya adalah pengendalian ruang (lahan) secara partisipatif.
Pengendalian ruang (lahan) secara partisipatif ini dikedepankan mengingat persoalan mendasar berkenaan dengan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang selama ini berkisar pada: (1) kurangnya informasi dan sosialisasi hal-hal yang berkaitan dengan tata ruang menyebabkan kurang dipahaminya kebijaksanaan penataan ruang oleh masyarakat, dunia usaha maupun oleh aparat pemerintah; (2) persepsi dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap rencana tata ruang, seringkali menjadi penyebab terjadinya conflict of interest antar segenap stake holder; (3) rencana tata ruang kurang mampu mengakomodasikan kepentingan segenap stake holder yang mempunyai kompetensi terhadap pemanfaatan ruang. Hal ini menyebabkan disharmoni dan konflik tata ruang tidak mendapatkan ruang sebagai media penyelesaian masalah; (4) kebijakan dan strategi penataan ruang suatu wilayah tidak konsisten dan terpadu. Hal ini sering terjadi ketika pengambil kebijakan tidak mempunyai visi yang jelas terhadap masa depan wilayahnya atau juga adanya pergantian kepemimpinan pemerintahan yang diikuti oleh berubahnya kebijaksanaan penataan ruang; (5) pendekatannya normatif dan cenderung berorientasi pada aspek fisik semata tanpa mempertimbangkan aspek non fisik yang sangat pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah; (6) terlalu berorientasi pada kepentingan pemerintah dan ada kecenderungan bahwa pendapat dan kebijakan pemerintah sebagai pengelola wilayah adalah  hal yang paling benar; (7) tidak/kurang pekanya pengelola wilayah terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat; dan (8) rendahnya partisipasi masyarakat, mengingat belum tersedianya ruang interaksi yang cukup antara pemerintah dengan masyarakat dalam rangka penyusunan rencana tata ruang (Sutaryono, 2008).
Beberapa persoalan di atas mewujud dalam tidak terkendalinya pemanfaatan lahan, meningkatnya degradasi lingkungan, munculnya konflik dan disharmoni sosial serta terganggunya keberlanjutan wilayah. Realitas ini mengharuskan pemerintah untuk melakukan berbagai agenda aksi berkenaan dengan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian lahan untuk mengantisipasi dan mengurangi berbagai persoalan di atas. Dalam hal ini, pemerintah harus berkolaborasi dengan semua stake holder  yang berkepentingan terhadap lahan, utamanya adalah komunitas masyarakat.
Komunitas masyarakat di sini dimaknai sebagai a group of interacting people living in a common location[1]. Dengan demikian komunitas masyarakat dapat dianalogikan sebagai komunitas lokal, baik komunitas perkotaan, perdesaan ataupun komunitas adat. Komunitas masyarakat ini memainkan peran paling penting dalam menjaga keberadaan ruang wilayahnya masing-masing. Komunitas kota bertanggungjawab terhadap keberlanjutan wilayah kota, komunitas desa sangat berkepentingan terhadap terjaganya lingkungan perdesaan dari segala macam kerusakan lingkungan dan komunitas adat sangat berkepentingan terhadap ‘habitat’ aslinya. Peran ini tidak dapat dinafikan dalam pengambilan kebijakan terhadap ruang.
Dalam konstelasi keilmuan, pemaknaan terhadap ruang semakin berkembang. Ruang sebagai objek pembangunan tidak hanya dipahami pada ruang fisik semata (lahan), tetapi juga ruang mental dan ruang sosial yang dikonstruksi oleh masyarakat yang merupakan respon terhadap perubahan. Lefebvre dalam The Production of Space mengkonstruksikan ruang (space) sebagai field  yang terdiri dari: (a) physical (natural) space; (b) mental space; dan (c) social space (Lefebvre, 1991). Ruang fisik (physical space)  merupakan objek pembangunan yang paling mudah untuk diamati, mengingat gejala ini sangat kasat mata dan bersifat fisik. Ruang mental (mental space) dapat berbentuk pada perubahan logika dan pola pikir masyarakat dalam merespon berbagai perubahan, sedangkan ruang sosial (social space) berhubungan dengan entitas individual dan interaksi sosial di masyarakat. Dalam hal ini ruang sosial dipahami sebagai human space yang memberikan dinamisasi sosial yang dapat mengarah pada kohesivitas sosial maupun konflik di masyarakat (Tuan, 2001).
Perkembangan pemaknaan terhadap ruang sebagaimana di atas menjadikan komunitas masyarakat merupakan bagian ruang yang tidak dapat dipisahkan dengan ruang secara fisik (lahan). Dengan demikian, pengendalian ruang (lahan) secara aktif partisipatoris merupakan sebuah keharusan untuk mewujudkan pengelolaan ruang (lahan) secara baik, berkeadilan dan berkelanjutan.


C.  Penyelenggaraan Perencanaan Penggunaan Lahan Partisipatif
Implementasi pelibatan komunitas masyarakat dalam perencanaan penggunaan lahan partisipatif dapat dilakukan melalui kegiatan penataan ruang wilayah. Pelibatan di sini tidak sekedar formalitas belaka, yang melibatkan komunitas masyarakat dalam berbagai pertemuan formal berkenaan dengan perencanaan penggunaan lahan, tetapi lebih jauh lagi menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dan meningkatkan pemberdayaan. Prinsip pelibatan komunitas ini perlu dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Dalam pendekatan ini masyarakat tidak dijadikan sebagai obyek pembangunan belaka tetapi dijadikan sebagai subyek yang ikut menentukan keberhasilan sebuah program penggunaan lahan yang esensinya adalah pengendalian lahan. Komunitas masyarakat diberi kewenangan dan otoritas untuk merencanakan dan menentukan pilihan-pilihan secara aktif dalam proses perencanaan penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang. Pendekatan ini akan mendorong semakin kuat dan aktifnya proses pemberdayaan masyarakat.
Pergeseran paradigma pengelolaan lingkungan dari Atur Dan Awasi (ADA) menuju paradigma Atur Diri Sendiri (ADS) menjadikan peluang komunitas masyarakat dalam mengatur wilayah masing-masing melalui perencanaan penggunaan lahan berbasis komunitas mendapatkan momentum yang tepat. Paradigma ADS dalam pengelolaan lingkungan dan wilayah mensyaratkan adanya fleksibilitas dan local wisdom yang mampu menggerakkan komunitas masyarakat secara aktif partisipatoris dalam berbagai tindakan pengendalian lahan. Dalam hal ini pemerintah tidak perlu membuat regulasi yang rigid dalam mengatur penataan penggunaan lahan pada aras mikro komunitas, tetapi cukup memberikan rambu-rambu (aturan) yang bersifat pokok saja. Komunitas masyarakat diberikan kesempatan untuk berinisiatif dan berkreasi dalam mengatur ruang wilayahnya agar dapat bermanfaat secara brkelanjutan bagi seluruh anggota komunitasnya tanpa merugikan komunitas di wilayah lain dan melanggar regulasi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. 
Perencanaan penggunaan lahan berbasis komunitas yang mengedepankan semangat menghindarkan diri dari NIMBY Syndrome (Not in My Back Yard Syndrome)[2], dapat dijadikan prinsip utama sebuah komunitas untuk mengatur wilayahnya sendiri secara baik dan berkelanjutan tanpa memberikan kerugian bagi wilayah di sekitarnya. Apabila hal ini dapat dilakukan, maka self of belonging setiap komunitas terhadap keberadaan wilayahnya menjadi tumbuh. Artinya, setiap anggota komunitas masyarakat akan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi, yang bisa jadi akan memberikan dampak yang merugikan bagi keberlanjutan sebuah wilayah.
Pelibatan secara aktif partisipatoris komunitas masyarakat dalam perencanaan penggunaan lahan ini akan mampu melahirkan gagasan-gagasan cerdas dalam mengatasi persoalan keterbatasan lahan. Misalnya, keterbatasan lahan dan ketidakteraturan permukiman yang telah disadarinya memungkinkan tumbuhnya gagasan untuk melakukan konsolidasi tanah perkotaan ataupun melakukan land readjustment[3] guna memperbaiki kondisi spasial wilayah permukiman agar tidak berkembang menjadi wilayah yang kumuh.  Gagasan lain yang sudah cukup banyak dilakukan adalah pengaturan sampah dan limbah domestik secara bersama-sama yang mampu mengendalikan permasalahan sampah dan limbah secara lebih ekonomis dan efisien.
Beberapa wacana dan agenda aksi yang perlu didorong untuk mewujudkan perencanaan penggunaan lahan berbasis komunitas yang mampu menjadi instrumen pengendalian lahan secara partisipatif antara lain:
1.     menetapkan komunitas masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam penataan wilayah melalui peraturan perundang-undangan;
2.     memberikan kesempatan kepada komunitas masyarakat, baik secara politis maupun sosial untuk mengatur wilayah masing-masing melalui perencanaan penggunaan lahan partisipatif dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3.     memfasilitasi komunitas masyarakat dalam merencanakan, memanfaatkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang dalam upaya mewujudkan keberlanjutan wilayah melalui berbagai pelatihan teknis, jasa konsultansi hingga dukungan pembiayaan;
4.     mengkampanyekan pentingnya masa depan wilayah melalui pengelolaan lingkungan dan lahan dengan pendekatan Atur Diri Sendiri, tanpa melanggar regulasi dan memberikan dampak merugikan bagi wilayah lainnya;
5.     menetapkan satu komunitas masyarakat berikut wilayahnya sebagai pilot project perencanaan penggunaan lahan berbasis komunitas yang dilakukan melalui kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak-pihak terkait.
Beberapa agenda di atas layak dikedepankan mengingat bahwa di era pembangunan yang memfokuskan people centered development tidak akan terlepas dengan pemberdayaan komunitas masyarakat. Pembangunan yang memberdayakan selalu menggunakan prinsip dasar perencanaan komprehensif yang melibatkan semua stake holder yang berkepentingan, utamanya adalah komunitas lokal. Namun demikian, apapun gagasan dan bentuk partisipasi komunitas dalam perencanaan penggunaan lahan, implementasinya sangat tergantung pada good will dan political will pengambil kebijakan, dalam hal ini Pemerintah Daerah.

D.  Penutup
Kebijakan dan pilihan strategi perencanaan penggunaan lahan yang menempatkan komunitas masyarakat sebagai subjek pembangunan merupakan bagian dari  pembangunan partisipatif yang perlu didorong dan diperjuangkan. Hal ini penting, mengingat kondisi berbagai wilayah di Indonesia sudah menunjukkan gejala degradasi dan deteriorisasi lingkungan yang yang diakibatkan oleh kebijakan penataan ruang yang tidak mempedulikan komunitas masyarakat. Komunitas masyarakat sebagai ‘owner’, adalah pemangku kepentingan yang  paling dekat dan paling dapat diberdayakan dalam mewujudkan kelestarian lingkungan dan keberadaan wilayah secara berkelanjutan.  
Perencanaan penggunaan lahan berbasis komunitas sebagaimana di atas merupakan salah satu alternatif pengendalian lahan yang partisipatif, murah, dekat dengan masyarakat, terkontrol oleh instansi terkait, taat azas, dan sesuai dengan orientasi pembangunan wilayah serta sesuai dengan karakteristik masyarakat kontemporer yang kritis partisipatoris. Ide dan gagasan ini dapat terwujud apabila kesadaran pembangunan wilayah secara partisipatif  dan paradigma Atur Diri Sendiri dalam pengelolaan lingkungan dan wilayah telah melembaga dan menjadi mainstream bagi segenap stake holder yang terlibat dan bertanggungjawab dalam penggunaan lahan.

E.  Daftar Bacaan

Adell, German. 1999. Theories And Models Of The Peri-Urban Interface: A Changing Conceptual Landscape. Development Planning Unit University College London.
Amler, B. etc., 1999. Land Use Planning: Methods, Strategies and Tools. Deuscche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ). Eschborn, Germany.
Hetifah Sj. Sumarto, 2004. Inovasi, Partisipasi Dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Lefebvre, Henri. 1991. The Production of Space. Basil Blackwell Ltd. Oxford.
Salampessy, J. 2008. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Tradisi Sasi Di Pulau Haruku Maluku Tenga” dalam Geografi Perdesaan: Sebuah Antologi. Ideas Media. Yogyakarta.
Sutaryono, 2008. Dinamika Penataan Ruang dan Peluang Otonomi Daerah. TuguJogja Grafika. Yogyakarta.
Tuan, Yi-Fu. 2001. Space and Place: The Perspective of Experience. University of Minnesota Press. Minneapolis.



[1] sering digunakan untuk merujuk kepada kelompok yang terorganisir di sekitar nilai-nilai bersama dan dikaitkan dengan kohesi sosial dalam lokasi geografis bersama, umumnya dalam unit sosial yang lebih besar daripada rumah tangga (diambil dari www.wikipedia.com)
[2] secara definitif  NIMBY SYNDROME adalah suatu gejala munculnya dampak negatif pada suatu wilayah (terhadap lingkungan biotik, abiotik, atau lingkungan sosial, kultural, ekonomi, politik) sebagai akibat dari proses dan program pembangunan yang dilaksanakan oleh wilayah lain (Yunus, 2008)
[3] Konsolidasi Tanah Perkotaan ataupun Land Readjustment merupakan salah satu sarana pembangunan kota yang melibatkan pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah yang bertujuan untuk membangun lingkungan perkotaan yang sehat dan menyenangkan melalui pembangunan infrastruktur seperti jalan, taman, drainase, saluran limbah, dll. serta pengaturan kembali tapak bangunan yang cocok bagi penggunaan lahan perkotaan.

Rabu, 02 Oktober 2013

Strategi Mereduksi Konflik


REFORMA AGRARIA:
Strategi Mereduksi Konflik Melalui Perluasan Lapangan Kerja[1]
Oleh:
Sutaryono[2]
HP. 08122958306, 085866888506


Pendahuluan
Reaktualisasi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dimaknai sebagai upaya mengaktualisasikan kembali ‘roh’ regulasi tersebut dalam konteks kekinian untuk mendukung terwujudnya visi tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Namun demikian, reaktualisasi inipun tidak akan mendapatkan tempat yang memadai apabila tanpa dibingkai dengan reforma agraria, mengingat misi utama yang mengiringi kelahiran UUPA yang meliputi: (1) perombakan hukum agraria; (2) pelaksanaan land reform; (3) penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing dalam bidang agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feodal dalam bidang agraria, merupakan ‘spirit’utama reforma agraria. Di mana reforma agraria dimaknai sebagai proses yang berkesinambungan berkenaan dengan restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat (BPN RI, 2007).
Dalam konteks penyelesaian konflik pertanahan menuju terwujudnya harmoni sosial bagi masyarakat Indonesia, Pidato Kepala BPN RI pada Peringatan Hari Agraria Nasiona Tahun 2009 menyatakan bahwa reforma agraria dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian konflik pertanahan peninggalan masa lalu. Disamping itu reforma agraria menjadi mekanisme untuk mencegah lahirnya sengketa dan konflik pertanahan yang baru (Joyo Winoto, 2009). Upaya ini sangat memungkinkan untuk dapat terwujud apabila reforma agraria mampu menciptakan perluasan lapangan kerja secara nyata.
Pada akhirnya, reaktualisasi UUPA mendapatkan konteksnya apabila reforma agraria dapat diimplementasikan secara menyeluruh di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi reforma agraria ini menemukan maknanya apabila mampu mereduksi konflik pertanahan dan sumberdaya agraria lainnya melalui perluasan lapangan kerja yang dapat menjadi sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari tanah dan sumberdaya agraria lainnya.  

Pembangunan dan Konflik
            Dalam konteks Ke-Indonesia-an, hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Ini berarti bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai saat ini tujuan pembangunan tersebut masih di awang-awang, meskipun rejim Orde Baru yang membidani lahirnya pembangunan nasional sebagai jargon pembangunannya telah berkuasa lebih dari tiga dekade. Era reformasi yang ditandai oleh pergantian rejim yang relatif lebih demokratis juga belum menunjukkan arah tercapainya tujuan pembangunan. Bahkan terpilihnya SBY sebagai presiden untuk kedua kalinya belum memberikan harapan bagi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari ‘luput’-nya perhatian presiden terpilih terhadap isu reforma agraria. Bahkan klaim keberhasilan kepemimpinan SBY 2004-2009 dalam menjaga stabilitas politik, pemberantasan korupsi, terjaganya keamanan daerah-daerah konflik, menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran, pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen dan hubungan internasional yang semakin diperhitungkan (Kompas, 21-6-2009), mengisyaratkan bahwa reforma agraria sebagai sebuah strategi pembangunan belum merupakan suatu kebutuhan.    
            Pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi ‘terlanjur’ dipilih menjadi strategi pembangunan selama ini, diharapkan mampu mengatasi permasalahan ekonomi dan politik secara cepat. Kebijakan itu tumbuh ketika growth paradigm yang ditawarkan negara-negara barat sedang menjadi trend. Bahkan paradigma ini kemudian berkembang menjadi ideologi untuk memecahkan keterbelakangan, ketertinggalan dan kemiskinan. Karena diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi mampu menciptakan peluang kerja yang luas, yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan.
            Apabila ditelusur ke belakang, pembangunan yang berorientasi pertumbuhan seakan mengesampingkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat banyak, termasuk di dalamnya adalah masyarakat pemilik tanah. Betapa tidak, ketika pemerintah memberikan kemudahan dan keleluasaan kepada investor atau pihak yang memiliki akses dan aset kekuasaan untuk mengembangkan kapital-nya, pada saat itulah munculnya benih-benih konflik yang bersumber dari diskriminasinya negara terhadap masyarakat pemilik tanah, termasuk di dalamnya adalah masyarakat lokal.  Kebijakan pemerintah yang diskriminatif terlihat dari munculnya UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang keduanya bertentangan dengan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria- UU No. 5/1960), sehingga UUPA tidak lagi menjadi induk dari seluruh peraturan yang berlaku di bidang agraria (Fauzi, 1999). Dalam konteks kekinian, kelahiran Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan maupun Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kembali mereduksi amanah UUPA. Artinya, pergantian rejim penguasa selama ini, belum mampu memberikan regulasi yang mendorong upaya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat melalui penguasaan hak atas tanah secara berkeadilan dan berkelanjutan, melalui implementasi amanah UUPA.
           
 
            Hal-hal di atas kemudian memunculkan kesadaran bahwa pembangunan bukan lagi upaya untuk menuntaskan masalah keterbelakangan dan kemiskinan tetapi pembangunan iti sendiri adalah biang munculnya permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, politik dan kultural bagi masyarakat bawah. Pembangunan yang diharapkan dapat memberikan pembebasan dari berbagai bentuk dominasi dan ketertinggalan, ternyata menciptakan penindasan dalam bentuk lain, termasuk di dalamnya adalah tersubordinasinya masyarakat lokal dan pemilik tanah atau sumberdaya lainnya. Inilah kemudian yang menciptakan ‘nuansa’ konflik terjadi di mana-mana. 
            Konflik dimaknai sebagai sesuatu yang negatif, yang memunculkan ketegangan-ketegangan, disharmoni dan konfrontasi. Hal ini disebabkan karena kedudukan orang-orang atau kelompok dalam masyarakat tidaklah sama, ada pihak yang berkuasa dan memiliki kewenangan luas dan ada pihak yang dikuasai dan tergantung pada pihak lain. Perbedaan kedudukan ini berimplikasi pada perbedaan kepentingan yang saling kontradiktif, sehingga konflik sosial tidak dapat dihindarkan. Kondisi ini adalah realitas yang terjadi di masyarakat. Artinya, pada hakekatnya masyarakat terbagi menjadi berbagai kelompok yang masing-masing mempunyai kepentingan. Integrasi sosial dalam masyarakat hanya terjadi di permukaan saja. Sedangkan stabilitas sosial yang terjadi merupakan kestabilan semu yang dihasilkan oleh pihak yang berkuasa yang memaksakan kehendak demi kepentingannya terhadap pihak yang tidak memiliki kekuasaan.      
Menurut Dorcey (dalam Mitchel, 1997) terdapat empat penyebab dasar konflik, yaitu: (1) perbedaan pengetahuan dan pemahaman; (2) perbedaan nilai; (3) perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian; (4) perbedaan karena latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang berkepentingan. Keempat penyebab dasar ini bekerja secara simultan dan saling mendukung. Perbedaan persepsi dalam memaknai sesuatu akan mengakibatkan terjadinya perbedaan nilai, demikian pula adanya perbedaan nilai dapat memunculkan perbedaan persepsi. Sedangkan perbedaan latar belakang kepentingan biasanya dilandasi oleh pemikiran ekonomistik yang mengedepankan perhitungan untung dan rugi. Perbedaan persepsi, nilai, alokasi keuntungan dan latarbelakang kepentingan terhadap makna pembangunan inilah yang menjadi embrio munculnya disharmoni sosial yang berujung pada terjadinya konflik.
Konflik dan sengketa pertanahan menjadi sebuah fenomena, ketika terjadi di hampir seluruh pelosok negeri. Baik yang disebabkan oleh kolonialisme, kapitalisme, dominasi dan hegemoni negara maupun yang disebabkan oleh perbedaan persepsi dan akses antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. Konflik pertanahan baik vertikal maupun horisontal seakan tidak pernah ‘lelah’ mendera manusia yang berpijak di atasnya. Artinya, sangat sedikit persoalan pertanahan yang berkembang menjadi konflik baik laten maupun manifes yang berujung pada sebuah resolusi yang komprehensif dan mampu mengakomodasikan semua pihak yang berkepentingan.
Pada tahun 2007, tercatat jumlah konflik dan sengketa pertanahan di Indonesia mencapai 2.810 kasus. Dari jumlah tersebut, konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi didominasi oleh sengketa penguasaan dan pemilikan tanah, mencapai lebih dari 60% kasus (Mulyanto, 2007). Secara lebih detail, persentase konflik dan sengketa pertanahan berdasarkan tipologi dasar sengketa-nya dapat dilihat pada diagram 1.   Hal ini menunjukkan bahwa persoalan hak atas tanah menjadi persoalan yang paling krusial, karena berhubungan langsung dengan sumber kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat yang berkecimpung pada sektor pertanian.
Data yang lain menunjukkan bahwa jumlah sengketa agraria di Indonesia sampai dengan tahun 2007 sebanyak 4.581 kasus, konflik agraria sebanyak 858 kasus, dan perkara agraria yang sedang diproses di pengadilan sebanyak 2.052 kasus (Panitia Hari Agraria Nasional, 2009).
Tampak jelas bahwa tingginya jumlah konflik dan sengketa pertanahan menyebabkan tingginya jumlah luasan tanah objek sengketa menjadi tidak produktif dan membatasi masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap tanah tersebut. Apabila dilihat dari oportunity loss yang dimungkinkan terjadi dari luasan tanah objek sengketa dapat dilihat sebagai berikut (Panitia Hari Agraria Nasional, 2009):
-          luasan tanah produktif objek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan dan digunakan secara optimal seluas: 607.886 ha.
-          nilai ekonomi tanah yang menjadi objek sengketa sebesar: 6.078.860.000 m2 x Rp. 15.000,- (NJOP tanah paling rendah) = Rp. 91.182.900.000.000,-
-          perkiraan opportunity lost dari tanah yang tidak termanfaatkan akibat status sengketa tersebut mencapai Rp. 146,804 triliun.
Di samping itu, disharmoni sosial pihak-pihak yang terlibat konflik dan sengketa menjadi semakin massif dan meluas. Apabila hal ini tidak segera dapat diselesaikan, maka kemungkinan munculnya konflik dan sengketa yang lebih luas dapat terjadi. Konflik orang per orang dapat berkembang menjadi konflik antar masyarakat, antar etnis maupun konflik sosial lainnya. Demikian pula konflik antara orang dengan institusi- baik institusi pemerintah maupun swasta- dapat menyebabkan berbagai pihak ikut terlibat. Demikianlah, konflik pertanahan betapapun kecilnya, apabila tidak segera mendapatkan solusi, dimungkinkan menjadi konflik sosial yang intensitasnya semakin besar.


Diagram 1. Proporsi Tipologi Dasar Sengketa
(Sumber: Mulyanto, 2007)



Tantangan Perluasan Lapangan Kerja
Persoalan ketenagakerjaan, ketersediaan lapangan kerja, pengangguran, dan kemiskinan adalah persoalan yang saling silang sengkurat dan menjadi beban luar biasa bagi pemerintah di masa krisis sampai saat ini. Tingginya tingkat pengangguran, sempitnya lapangan kerja dan tidak munculnya lapangan kerja baru menjadikan persoalan ketenagakerjaan bergeser menjadi persoalan kemiskinan. Disisi lain, masyarakat yang tidak tergolong sebagai pengangguranpun tidak cukup berdaya menghadapi berbagai tekanan hidup yang berupa semakin mahalnya harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan dan biaya kesehatan. Produktivitas rendah, pendapatan rendah, saving rendah dan investasi rendah- bahkan tidak ada sama sekali – inilah yang menjadi ciri masyarakat miskin.
            Persoalan kemiskinan sebagaimana di atas diawali oleh persoalan pengangguran. Persoalan pengangguran disebabkan paling tidak oleh tiga hal yang meliputi masalah pasar kerja, tenaga kerja dan kesempatan kerja.   Pasar kerja berhubungan dengan adanya unsur permintaan dan penawaran terhadap tenaga kerja. Tenaga kerja berhubungan dengan kuantitas dan kualitas tenaga kerja yang tersedia. Sedangkan kesempatan kerja berhubungan dengan ketersediaan lapangan kerja. Dalam konteks ini, sebagai negara agraris, mungkinkah kebijakan reforma agraria menjadi satu strategi dalam penyediaan dan perluasan lapangan kerja? Apabila mungkin, mampukah perluasan dan penyediaan lapangan kerja di sektor pertanian mengurangi angka kemiskinan?  Apakah berkurangnya angka kemiskinan mampu berperan dalam mereduksi konflik pertanahan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mesti dielaborasi lebih jauh, mengingat pengalaman di berbagai negara – sebut saja Jepang, Taiwan, Korea Selatan, China dan Vietnam – telah berhasil mentransformasikan struktur agraria ke dalam suatu sistem pertanian individual yang mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Griffin, et al. 2002), bahkan menjadi faktor penting yang mendukung keberhasilan dalam proses industrialisasi (Kay, 2002). Tidak hanya di negara-negara Asia, negara-negara di Amerika Latin-pun telah sejak lama menerapkan kebijakan reforma agraria untuk memperbaiki struktur penguasaan lahannya, sebut saja Meksiko, Nikaragua, Honduras, Brazil, Ekuador dan Peru pada awal 1970an. Bahkan negara-negara seperti Bolivia, Kolumbia dan Venezuela, genderang reforma agraria masih bergaung hingga saat ini.
Persoalan kemiskinan dan kelangkaan sumberdaya lahan bagi petani sebagaimana di atas sangat erat dengan persoalan ketenagakerjaan. Keterbatasan lahan garapan bagi angkatan kerja di perdesaan semakin meningkatkan angka pengangguran. Hal ini telah disinyalir cukup lama sebagai permasalahan ketenagakerjaan yang paling utama, yakni persediaan tenaga kerja lebih besar dari kebutuhan tenaga kerja. Wujud dari permasalahan tersebut berupa: (a) pengangguran dan setengah pengangguran; (b) kemiskinan; dan (c) keterbelakangan (Suroto, 1992). Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak tertampungnya angkatan kerja pada lapangan kerja yang tersedia menjadi penyebab utama pengangguran, yang pada akhirnya bermuara pada kemiskinan dan keterbelakangan.
Pada tahun 2006 (Kasto,2007), terdapat sejumlah 106,3 juta angkatan kerja di Indonesia. Dari sejumlah itu terdapat 11,1 juta jiwa (10,4%) pencari kerja atau sering disebut juga sebagai pengangguran terbuka. Jumlah tersebut terdistribusi di perdesaan sebesar 5,28 juta jiwa (47,6%) dan di perkotaan sebesar 5,82 juta jiwa (52,4%). Jumlah pengangguran ini akan bertambah menjadi 41 juta orang, apabila digabung dengan angkatan kerja yang statusnya setengah pengangguran (bekerja tidak penuh) yang berjumlah 29,9 juta jiwa (23 juta jiwa berada di perdesaan dan 6,9 juta jiwa ada di perkotaan). Jumlah pengangguran dan setengah pengangguran ini, ternyata mencapai 38,57% dari seluruh angkatan kerja yang tersedia. Sejumlah 41 juta orang pengangguran (terbuka dan setengah pengangguran) ini adalah persoalan yang cukup berat bagi bangsa Indonesia.  
Data ketenagakerjaan tersebut apabila dibandingkan dengan data kemiskinan sebagaimana diungkap terdahulu, ternyata cukup relevan. Pada tahun 2006, penduduk miskin di Indonesia  mencapai 39,30 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 24,81 juta jiwa (63,1%) berada di wilayah perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan dan persoalan ketenagakerjaan cukup  dominan di wilayah perdesaan. Artinya, penyediaan lapangan kerja di perdesaan yang berhubungan dengan sektor pertanian layak dikedepankan untuk penyelesaian masalah pengangguran.  
Dalam konteks kekinian menurut BPS, jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2008 berkurang menjadi 9,29 juta jiwa dan jumlah penduduk miskin  pada Maret 2008 mengalami penurunan menjadi 34,96 juta jiwa (15,42%). Namun demikian menurut Tjondronegoro, pada tahun 2008 kalau kemiskinan diukur menggunakan kriterium Bank Dunia, di mana orang miskin adalah orang yang berpenghasilan di bawah USD 1,00 per Kepala Keluarga (KK), maka jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 20 juta. Tetapi apabila kriterium yang dipakai adalah angka Bank Dunia yang lain, yakni USD 2,00 per KK, maka jumlah penduduk miskin Indonesia pada saat ini mencapai 100 juta jiwa, atau hampir separuh (43,5%) jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 230 juta jiwa (Tjondronegoro, 2008:44). 
Di sisi yang lain, meningkatnya produksi beras secara nasional pada tahun 2005 – 2008, dan terbebasnya impor beras pada tahun 2008, yang kemudian diklaim sebagai keberhasilan swasembada beras, belum berarti meningkatnya kesejahteraan petani. Karena senyatanya swasembada beras itu tidak mungkin terjadi karena pupuk yang langka, benih unggul sulapan, irigasi mangkrak, harga gabah pas-pasan, mandeg-nya penyuluhan pertanian, penggundulan hutan (Maksum, 2009) maupun penguasaan lahan pertanian yang sangat sempit bagi petani di perdesaan. Pada konteks inilah reforma agraria perlu mendapatkan perhatian, agar negeri agraris ini dapat mewujudkan swasembada beras sekaligus dapat mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Angka pengangguran dan angka kemiskinan hanya dapat dicapai melalui pengembangan dan perluasan lapangan kerja. Lapangan kerja yang perlu mendapatkan prioritas adalah lapangan kerja pada sektor pertanian, mengingat sebagain besar penduduk miskin di Indonesia berada di wilayah perdesaan   


Reforma Agraria & Penyediaan Lapangan Kerja
Reforma Agraria adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani dan rakyat kecil pada umumnya ketika terdapat ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria di negeri yang konon disebut agraris ini. Reforma agraria ini juga diorientasikan untuk menciptakan lapangan kerja di bidang agraria (land base) dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun demikian reforma agraria tidak cukup diletakkan pada konteks keterbatasan akses masyarakat atas sumberdaya agraria tetapi lebih luas lagi pada persoalan kelangsungan dan keberlanjutan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terbukanya akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria sama sekali belum bisa menjamin terjadinya perubahan menuju kesejahteraan apabila kebijakan pembangunan tidak memberikan peluang bagi terciptanya lapangan kerja baru yang mampu memberikan jaminan keberlangsungan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Reforma Agraria yang disebut pula sebagai pembaruan agraria ini perlu segera diformulasikan menjadi sebuah agenda aksi yang dapat diimplementasikan. Dalam konteks ini pemerintah tidak perlu ragu lagi untuk mengagendakan pembaruan agraria menjadi sebuah program  dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptkan kesempatan kerja yang lebih luas. Landasan legal bagi pemerintah untuk segera melaksanakan pembaruan agraria sudah ada sejak diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam ketetapan tersebut diamanahkan bahwa pembaruan agraria  mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. Hal tersebut dimaksudkan bahwa pembaruan agraria harus diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.  Amanah tersebut mensyaratkan kepada penyelenggara negara untuk menjabarkannya ke dalam berbagai kebijakan yang memungkinkan untuk dioperasionalisasikan oleh segenap pemangku kepentingan di bidang keagrariaan.
Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono- yang terpilih kembali untuk jabatan berikutnya -  pada awal tahun 2007 telah memberikan komitmen seluas 8,15 juta hektar lahan untuk diorientasikan pada Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Momentum tersebut menjadikan program pembaruan agraria menjadi satu program bersama bangsa ini yang harus diperjuangkan dan didesakkan pada pengambil kebijakan untuk segera diimplementasikan.  Berkaitan dengan hal ini pertanyaan yang mengedepan adalah apa urgensinya reforma agraria dalam penyediaan lapangan kerja?  
Pertanyaan tersebut paling tidak dapat didekati dengan tujuan reforma agraria yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan penyelesaian berbagai permasalahan bangsa Indonesia. Beberapa tujuan reforma agraria yang dapat dikedepankan adalah:
1.            menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil;
2.            mengurangi kemiskinan;
3.            menciptakan lapangan kerja;
4.            memperbaiki akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi, terutama tanah;
5.            mengurangi sengketa dan konflik pertanahan;
6.            memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup;
7.            meningkatkan ketahanan pangan.
(BPN, 2007)
Berbagai tujuan tersebut terkait satu sama lain. Dalam konteks ini tujuan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja adalah hal yang paling urgen untuk dielaborasi lebih jauh.
            Kondisi riil bangsa Indonesia menunjukkan bahwa: (1) bangsa Indonesia adalah bangsa agraris; (2) sebagian besar penduduknya tinggal di perdesaan dan bergerak di sektor pertanian; (3) angka kemiskinan yang tinggi terdapat di perdesaan; (4) angka pengangguran (pengangguran terbuka dan setengah pengangguran) sebagian besar terdapat di perdesaan. Kondisi ini mengharuskan pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan penyediaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di wilayah perdesaan dan berbasiskan pada sektor agraris.
           
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia melalui BPN RI telah mengagendakan penataan pertanahan yang meliputi agenda reforma agraria, legalisasi aset tanah masyarakat dan tanah negara, penanganan tanah terlantar, penanganan sengketa pertanahan dan pengembangan LARASITA sebagai kantor pertanahan berjalan. Di samping BPN RI, Departemen Pertanian dalam dokumen ”Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010”, telah menyusun arah pengembangan dan sasaran lima komoditas pangan utama, yaitu mempertahankan swasembada padi berkelanjutan, serta mencapai swasembada untuk komoditas jagung (tahun 2007), kedelai (tahun 2015), gula (tahun 2009) dan daging  sapi (tahun 2010).
              Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan tersebut telah dilengkapi dengan beberapa langkah strategis untuk mencapai sasaran yang diharapkan meliputi:
1.            Mengidentifikasi potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas padi, jagung, kedelai, tebu dan sapi potong.
2.            Merenovasi dan memperluas infrastruktur fisik dengan merehabilitasi jaringan irigasi lama dan membangun jaringan irigasi baru untuk pengembangan lahan sawah di luar Jawa serta membuka lahan pertanian baru, khususnya lahan kering di Luar Jawa.
3.            Menahan laju konversi lahan sawah di Jawa melalui penetapan ”lahan abadi” untuk usaha pertanian.
4.            Mempercepat penemuan teknologi benih/bibit unggul untuk peningkatan produktivitas, teknologi panen untuk mengurangi kehilangan hasil, dan teknologi pasca panen serta pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah.
5.            Mempercepat pembentukan teknologi spesifik lokasi kelima komoditas tersebut untuk meningkatkan daya saingnya.
6.            Membangun sistem perbenihan/pembibitan untuk kelima komoditas tersebut.
7.            Memberikan subsidi sarana produksi untuk usaha primer sekaligus memberikan proteksi kepada kelima komoditas tersebut.
8.            Merevitalisasi sistem penyuluhan dan kelembagan petani untuk mempercepat difusi adopsi teknologi yang mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
9.            Mengembangkan sistem pemasaran hasil pertanian yang mampu mendistribusikan produk dan return/keuntungan secara efisien dan adil.
10.        Mengembangkan sistem pembiayaan pertanian, termasuk keuangan mikro pedesaan untuk meningkatkan aksesibilitas petani atas sumber permodalan/pembiayaan pertanian.
11.        Memberikan insentif berinvestasi di sektor pertanian, khususnya di luar Jawa, termasuk menyederhanakan proses perizinan investasi di sektor pertanian.
12.        Memperjuangkan komoditas padi, jagung, kedelai dan tebu sebagai komoditas strategis dalam perundingan W.T.O.
Namun apa dikata, alih-alih swasembada, mengurangi jumlah impor saja adalah hal yang cukup sulit, mengingat tidak adanya peningkatan jumlah produksi dan tidak adanya peningkatan lahan pertanian. Khusus komoditas kedelai, pada tahun 2004 tercatat jumlah import-nya masih sebesar 64,86% dari kebutuhan, dan pada tahun ini justru meningkat menjadi 70%. Akibat gangguan produksi, tahun ini impor beras di atas 1 juta ton, dan porsi impor untuk komoditas jagung, gula dan daging sapi mencapai 11,23%, 37,46% dan 29,09% dari kebutuhan, padahal negara kita pernah swasembada kedelai dan gula (Kompas, 19-01-2008). Sementara ini, kebijakan pemerintah untuk mengatasi kebutuhan kedelai dilakukan dengan menghapuskan pajak bea masuk kedelai sebesar 10%. Tujuannya jelas, yakni mencukupi kebutuhan kedelai dan menstabilkan harganya melalui peningkatan import.  Di sisi yang lain, hampir tidak ada kebijakan yang berorientasi pada perlindungan nasib petani dan perlindungan pagi keberlanjutan lahan-lahan pertanian. Bukankah ini adalah kebijakan yang inkonsisten. Disatu sisi mencanangkan program swasembada pangan, namun di sisi lain tidak mengupayakan keberlanjutan lahan pertanian berikut petaninya untuk bisa mewujudkan swasembada pangan melalui peningkatan penyediaan lahan pertanian yang sekaligus membuka lapangan kerja baru.
Hal demikian dapat dikatakan bahwa berbagai strategi tersebut tidak akan dapat diimplementasikan secara baik apabila tidak didukung dengan kebijakan nasional yang mengikat bagi institusi atau departemen terkait. Kebijakan yang parsial hanya akan memboroskan keuangan negara yang ujungnya tidak mampu menyediakan lapangan kerja bagi pengangguran secara berkelanjutan, khususnya di wilayah perdesaan dan berbasiskan lahan.


Dalam konteks ini dapat dijelaskan bahwa kemiskinan dan pengangguran di wilayah perdesaan adalah kemiskinan dan pengangguran bagi penduduk dan tenaga kerja pada sektor pertanian. Kemiskinan dan pengangguran disini berhubungan dengan penguasaan dan pemilikan atas lahan pertaniannya. Ketika lahan pertanian sudah diorientasikan untuk kepentingan non pertanian pada skala yang lebih luas melalui kebijakan makro, maka meningkatnya jumlah petani miskin menjadi sebuah keniscayaan. Untuk itu perlindungan terhadap keberadaan lahan-lahan pertanian harus dilakukan, terutama melalui kebijakan yang berorientasi pada usaha-usaha pertanian. Hal ini sebagaimana gagasan Keith Griffin, et al (2002) dalam Poverty and Distribution of Land   tentang perlunya mengevaluasi kebijakan dan praktek yang cenderung bias kota, karena hanya mempertahankan kemiskinan. Lebih lanjut Griffin mengedepankan pentingnya pendistribusian lahan kepada petani untuk memerangi urban bias policies tersebut.  Gagasan Griffin tersebut menunjukkan bahwa perkembangan wilayah yang mengokupasi lahan-lahan pertanian di wilayah pinggiran kota adalah salah satu praktek yang bias kepentingan kota dan cenderung memberikan implikasi pada proses pemiskinan petani.
Kebijakan pengembangan lahan pertanian yang berasal dari tanah-tanah terlantar ataupun berasal dari kawasan hutan yang tidak produktif dan secara ekologis tidak mengganggu keseimbangan alam layak dijadikan prioritas. Peluang inilah yang akan diambil melalui kebijakan dan program reforma agraria dalam rangka penyediaan dan pengembangan lapangan kerja di wilayah perdesaan.
Statemen Presiden di awal tahun 2007 yang akan mengalokasikan sejumlah 8,15 juta hektar untuk program reforma agraria, perlu diingatkan kembali. Jangan sampai reforma agraria hanya berhenti sebagai ‘jargon’ semata tanpa mampu diimplementasikan secara nyata. Implemetasi reforma agraria dalam jangka pendek dapat manjadi satu titik tolak dalam perluasan lapangan kerja. Apabila dihitung, kebutuhan petani untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum sekitar 2 ha. Itu berarti bahwa 8,15 juta hektar dapat diorientasikan untuk sekitar 4,075 juta petani ataupun kepala rumah tangga petani. Jumlah yang cukup fantastik, dibanding lapangan kerja baru yang hanya mampu menyerap 48.000 tenaga kerja pada pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pada tahun 2006 (Bappenas, 2006). Apabila strategi tersebut dapat berhasil, ternyata mampu mengurangi pengangguran sekaligus angka kemiskinan hampir 25% dari jumlah kepala rumah tangga miskin yang ada di Indonesia saat ini. Hitungan tersebut masih terbatas pada tersedianya lapangan kerja on farm, yang langsung bergelut dengan usaha pertanian. Sektor off farm, yang berkenaan dengan pengolahan produksi pertanian maupun pemasarannya masih belum diperhitungkan. Apabila sektor-sektor lain yang terkait dengan usaha pertanian diperhitungkan, dimungkinkan bahwa pengurangan angka pengangguran maupun angka kemiskinan melalui strategi reforma agraria akan semakin besar.




Model Buffer Zone Di Kawasan HGU/Hutan Negara
Salah satu konsep perluasan lapangan kerja melalui reforma agraria dapat dilakukan dengan melalui penciptaan buffer zone pada wilayah-wilayah sekeliling HGU ataupun hutan negara yang produktif, mengingat pada wilayah-wilayah penguasaan lahan yang besar inilah disharmoni sosial mempunyai peluang muncul dalam intensitas yang lebih besar dan terdapatnya kantong-kantong kemiskinan. Model Buffer zone yang dimaksud adalah suatu alternatif model dalam reforma agraria yang dilakukan di antara kawasan permukiman dan kawasan HGU atau kawasan hutan negara (hutan produksi) yang berperan untuk menopang kehidupan masyarakat sekitar kawasan HGU/hutan sekaligus mengurangi kontak langsung masyarakat dengan perkebunan/hutan. Secara spasial buffer zone tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


 








Gambar 1. Struktur Spasial Model Buffer Zone di Kawasan HGU/Hutan Negara

Keterangan:
- Zona inti adalah zona HGU ataupun zona hutan negara produktif.
- Zona Buffer adalah zona penyangga yang terletak di antara zona inti dengan zona permukiman masyarakat sekitar kawasan HGU/hutan negara. Zona ini secara yuridis, masuk ke dalam kawasan HGU/hutan negara.
- Zona permukiman adalah zona di luar kawasan HGU/hutan negara yang dikuasai/dimiliki oleh masyarakat.  
- Buffer zone dibentuk melalui program reforma agraria dengan mekanisme sebagai berikut:
1.      melakukan identifikasi tanah di sekeliling kawasan inti yang dapat diberikan penguasaannya kepada masyarakat sekitar, kemudian ditetapkan sebagai tanah objek land reform;
2.      melakukan identifikasi masyarakat sekitar yang diorientasikan akan menerima manfaat;
3.      pihak pemegang HGU/hutan negara bersama-sama dengan masyarakat calon penerima manfaat dengan difasilitasi oleh aparat BPN RI dan pemerintah daerah melakukan pemetaan partisipatif untuk menentukan jumlah bidang dan luasan yang dapat diredistribusikan;
4.      pihak pemegang HGU/hutan negara bersama-sama dengan masyarakat penerima manfaat melakukan penandatanganan nota kerjasama (MOU) dalam rangka redistribusi tanah di sekeliling zona inti, sekaligus dalam rangka pengamanan zona inti. MOU ini disusun secara partisipatif dengan difasilitasi oleh BPN RI dan Pemda setempat;
5.      setelah disepakati kedua belah pihak, segera dilakukan penguatan hak atas tanah (penguatan asset) terhadap masyarakat penerima manfaat melalui sertipikasi;
6.      proses penguatan akses melalui berbagai fasilitasi dan kemudahan dalam tata produksi dan pengelolaan produk pasca panen seperti: akses terhadap sarana produksi pertanian (saprotan), kredit, program pembangunan pertanian, pengambilan keputusan, informasi maupun akses terhada pasar.
7.      terbentuklah buffer zone melalui penguatan asset dan akses di kawasan HGU/hutan negara yang bermanfaat bagi penghidupan masyarakat sekaligus bermanfaat bagi pemegang HGU/hutan negara;
8.      proses dan mekanisme sebagaimana di atas dapat pula disebut sebagai upaya pemberdayaan masyarakat secara partisipatif.

Gambaran sederhana di atas, sangat dimungkinkan diterapkan di kawasan HGU ataupun hutan negara dengan prioritas pada wilayah-wilayah konflik. Dengan demikian, kasus-kasus reclaiming  pada kawasan HGU/hutan negara dapat dikurangi dan penyediaan lapangan kerja dapat terwujud. Penyediaan lapangan kerja secara partisipatif tersebut akan menumbuhkan ’rasa handarbeni’ yang berimplikasi pada semangat untuk melakukan usaha di tanah yang sudah diberikan sekaligus terjaganya kawasan inti dari berbagai gangguan keamanan. Keterlibatan semua pemangku kepentingan terhadap keberhasilan model tersebut merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi. Untuk mendapatkan formulasi yang baik dan berkelanjutan kiranya studi dan diskursus tentang konsep ini perlu terus dilakukan.
Skenario perluasan lapangan kerja untuk mereduksi konflik dan sengketa pertanahan melalui reforma agraria sebagaimana conoh di atas perlu terus-menerus diperjuangkan, meskipun konstelasi politik dan pemerintahan belum mengarah ke arah itu. Jangankan menjalankan reforma agraria, Pemerintah dan DPR RI telah secara bersama-sama melakukan diskriminasi ekonomi, dan lebih berpihak pada pengusaha dari pada petani. Beberapa produk peraturan perundang-undangan dan berbagai peraturan lainnya secara nyata terlihat diciptakan untuk melindungi pengusaha dan pemilik modal dari pada melindungi petani (Bina Desa, 2009). Inilah barangkali tantangan bagi pelaksanaan reforma agraria dalam upaya penyediaan lapangan kerja dan mengatasi pengangguran.   



Penutup
Apabila hal-hal di atas dapat terwujud, secara langsung ataupun tidak langsung penyediaan lapangan kerja akan mampu mereduksi munculnya konflik dan sengketa pertanahan, mengingat salah satu akar penyebab konflik sudah terselesaikan. Persoalannya adalah, mampukah kita semua mendorong reforma agraria menjadi satu strategi pembangunan yang diimplementasikan secara nasional. Tidak sekedar sebatas pada level wacana, tetapi harus dapat diimplementasikan pada level operasional sebagai sebuah agenda aksi. Kiranya strategi mereduksi konflik melalui penyediaan dan pengembangan lapangan kerja baru yang berorientasi untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan dalam bingkai reforma agraria layak dan sangat perlu untuk diperjuangkan. Semoga.



















DAFTAR BACAAN


Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Departemen Pertanian. Jakarta.
Badan Pertanahan Nasional RI, 2007. Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat. BPN. Jakarta.
Baranyi, Stephen et al. 2004. Scoping Study on Land Policy Research in Latin America. The North-South Institute dan IDRC (CRDI), Ottawa
Bina Desa, 2009. “Reforma Agraria Macet Masalah Bangsa Menumpuk”. Bina Desa No. 117/XXX/Juni/2009. Jakarta.
Effendi, Tadjudin Noer, 1995. Sumberdaya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Nasional. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta.
Griffin, Keith. et al. 2002. “Poverty and the Distribution of Land”. Journal of Agrarian Change. Vol 2 No. 3, July 2002.
Heriawan, 2006. Implementasi Reformasi Agraria Dari Perspektif Dukungan Penyediaan Data dan Informasi Statistik. Makalah pada Simposium Agraria Nasional, 4 Desember 2006 di Makasar.
Jamasy, Owin, 2004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Belantika. Jakarta.
Joyo Winoto, 2009. Sambutan Kepala BPN RI Pada Peringatan Hari Agraria Nasional Ke-49 24 September 2009. BPN RI. Jakarta.
Kay, Cristóbal, 2002. “Why East Asia Overtook Latin America: Agrarian Reform, Industrialisation and Development” dalam Third World Quarterly 23(6): 1073-1102.
Maksum, Mochammad. 2009. “Memantapkan Pilihan Nahdliyyin” dalam SKH Kedaulatan Rakyat, 3 April 2009 hal 12.
Mitchell, Bruce, 1997, Resource and Environmental Management, Addison Wesley Longman Ltd, Ontario.
Mulyanto, Budi, 2007. Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Agraria Nasional. Makalah Kolokium Pengelolaan Sumberdaya Agraria Nasional kerjasama STPN – Departemen Ilmu Tanah & Sumberdaya Lahan IPB, 28 Agustus 2007 di Yogyakarta.
Panitia Hari Agraria Nasional, 2009. Sayembara Penulisan Dalam Rangka Memperingati Hari Agraria Nasional Tahun 2009. BPN RI. Jakarta.
Suroto, 1992. Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kesempatan Kerja. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tjondronegoro, 2008. Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia. Yayasan AKATIGA. Bandung.
____________, 2008. Mencari Ilmu di Tiga Jaman Tiga Benua. Sajogja Institute. Bogor.
SKH Kompas, 19 Januari 2008.
SKH Kompas, 21 Juni 2009.
SKH Kedaulatan Rakyat, 3 April 2009




[1] Pemenang Lomba Karya Tulis Pertanahan Nasional yang diselenggarakan oleh BPNRI Tahun 2009
[2] Peneliti pada Pusat Penelitian & Pengabdian Masyarakat (PPPM) Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta.