Kamis, 17 Oktober 2013

Kritisnya Kondisi Pangan & Agraria



KRITISNYA KONDISI PANGAN & AGRARIA[1]

Oleh: Sutaryono[2]

Ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan saat ini semakin memprihatinkan. Impor pangan masih terus terjadi dan volumenya semakin meningkat. Alasan utama kebijakan impor masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tidak sebanding dengan produksi dalam negeri. Kondisi tersebut, pada dasarnya sudah diketahui dan dipahami oleh pemerintah sejak satu dekade yang lalu.
Dokumen Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010 yang disusun oleh Kementerian Pertanian, telah menunjukkan hal itu. Arah pengembangan dan sasaran lima komoditas pangan utama, yaitu mempertahankan swasembada padi berkelanjutan, serta mencapai swasembada untuk komoditas jagung (tahun 2007), kedelai (tahun 2015), gula (tahun 2009) dan daging  sapi (tahun 2010). Namun apa dikata, alih-alih swasembada, mengurangi impor saja adalah hal sulit, mengingat tidak adanya peningkatan produksi.
Khusus komoditas kedelai, persoalan kelangkaan dan mahalnya harga, hampir satu tahun ini belum juga terselesaikan. Tahun 2004 jumlah import-nya sebesar 64,86% dari kebutuhan, tahun 2008 justru meningkat menjadi 70%. Tahun ini, jumlah impor kedelai mencapai 1,7 juta ton/tahun, dari total kebutuhan sebesar 2.4 juta ton (70,83%). Besarnya ketergantungan kedelai dari negara lain inilah yang menjadikan melambungnya harga. Sementara ini, kebijakan pemerintah untuk mengatasi kebutuhan kedelai dilakukan dengan menghapuskan pajak bea masuk sampai akhir tahun. Tujuannya jelas, yakni mencukupi kebutuhan kedelai dan menstabilkan harganya melalui peningkatan impor. 
Komoditas strategis lainnya seperti beras, jagung, gula dan daging sapi tidak jauh berbeda dengan komoditas kedelai. Awal 2013, pemerintah optimis kebutuhan beras tercukupi oleh produksi nasional. Namun demikian, realitasnya impor beras dalam kurun waktu Januari – Juni 2013 yang dicatat BPS mencapai 239.000 ton. Komoditas jagung, kebutuhan impor tahun 2013 diperkirakan mencapai 2,8–3 juta ton. Lebih menyedihkan lagi adalah komoditas gula untuk industri 100% (3,2 jutan ton/tahun) dipenuhi melalui impor, sementara itu untuk kebutuhan konsumsi angka impornya mencapai 8% (0,2 juta ton/tahun). Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi setiap tahun mengimpor lebih dari 200.000 ekor sapi.
Kondisi di atas menunjukkan kritisnya kondisi pangan di negeri ini, yang tentu berkelindan dengan kondisi agraria nasional.  Pada tahun 2013 ini jumlah petani mencapai 26,13 juta, di mana lebih dari separuhnya menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 ha. Lebih dari itu, hal yang menjadi keprihatian bersama saat ini adalah persoalan keadilan dan kesejahteraan agraria yang tidak kunjung dirasakan, bahkan fenomena konflik agraria dan pertanahan masih marak. Inilah kritisnya kondisi keagrariaan di Indonesia.
Mengapa? Saat ini masih dijumpai permasalahan keagrariaan dan pertanahan, seperti: (1) tumpang tindihnya regulasi di bidang keagrariaan dan pertanahan. Saat ini tercatat sejumlah 632 regulasi berbagai level yang tumpang tindih berkaitan dengan pengelolaan keagrariaan – pertanahan; (2) terbatasnya akses masyarakat terhadap penguasaan dan pemilikan sumberdaya agraria; (3) terdapatnya tanah terlantar ataupun diterlantarkan oleh pemegang hak; (4) belum terwujudnya pendaftaran tanah secara menyeluruh, saat ini baru terdaftar sekitar 46 juta bidang dari sekitar 100 juta bidang tanah yang ada; (5) lambatnya penyelesaian sengketa, konflik dan perkara agraria – pertanahan. Data yang dirilis BPN, akhir 2012 tercatat sejumlah 8.307 kasus, belum termasuk sengketa dan konflik sumberdaya agraria lainnya (pertambangan, kehutanan, perairan); (6) belum memadainya perlindungan terhadap hak-hak atas tanah bagi masyarakat, termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat; dan (7) belum adanya lembaga penilaian tanah yang mampu memberikan penilaian secara adil, transparan dan mendukung penguatan sistem perpajakan dan penilaian ganti rugi atas tanah. 
          Kondisi kritis pangan dan agraria ini perlu kita jadikan momentum mencari jalan keluar untuk menyelesaikan banyak persoalan. Hal ini bisa kita mulai dari Yogya sebagai daerah istimewa, dimana sudah tidak ada lagi konflik wilayah (KR, 16-9-3013). Penyadaran pentingnya berdaulat atas pangan hanya bisa diwujudkan melalui keadilan agraria dan keberpihakan kepada sektor agraris sebagai tumpuan sebagian besar penduduk Indonesia.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 12 Oktober 2013
[2] Dr. Sutaryono, Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM, Deputi Direktur Matapena Institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar