Selasa, 04 Juli 2023

Tanah Desa

 

Tanah Desa[1]

 

Oleh: Sutaryono[2]

 

Beberapa pekan ini kita disuguhi dengan maraknya berbagai pemberitaan terkait dugaan penyalahgunaan tanah desa. Sebetulnya hal ini sudah mendapatkan ‘warning’ pasca terbitnya UU 6/2014 tentang Desa. Semakin bernilainya tanah desa serta menguatnya peran desa, maka saatnya bagi desa dan pemangku kepentingan terkait untuk segera merumuskan agenda pengelolaan tanah desa, agar lebih fungsional, efisien,  terbuka, akuntabilitas, berkelanjutan serta berorientasi untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat (Opini KR, 04-08-2016).

Dalam konsep tradisional, tanah desa dibedakan dengan status penguasaan tanah individual atau kolektif seperti tanah yasan dan  tanah norowito. Tanah yasan, yasa  atau yoso, merupakan tanah hak milik perseorangan. Sedangkan tanah norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan, dan sejenisnya, adalah tanah pertanian milik bersama yang warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap. Selain dua jenis tanah tersebut, dalam sistem penguasaan tanah di DIY  juga mengenal konsep tanah desa. Tanah desa meliputi tiga tipe:  pertama, tanah bengkok, tanah carik atau juga disebut tanah kelungguhan (kedudukan = pelungguh) yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa yang hasilnya dianggap ‘gaji’ selama mereka menduduki jabatan itu. Kedua,  tanah pengarem-arem, yakni tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pensiunan pamong desa. Ketiga,  tanah titisara, bondo deso, kas desa, adalah tanah milik desa yang biasanya disewakan, disakapkan, dengan cara dilelang kepada siapa saja yang mau menggarapnya. Hasilnya digunakan untuk anggaran rutin ataupun pemeliharaan desa   (Wiradi, 1984).

Dalam konteks nasional, berdasarkan PP 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 6/2014 Tentang Desa, pengelolaan tanah desa sebagai kekayaan milik desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan meningkatkan pendapatan Desa. Dalam konteks DIY, berdasarkan Pergub DIY Nomor 34 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Tanah Desa, disebutkan secara jelas bahwa tujuan pemanfaatan Tanah Desa untuk: (a) pengembangan kebudayaan; (b) kepentingan sosial; (c) kesejahteraan masyarakat; dan (d) penyelenggaraan pemerintahan desa.

Berdasarkan hal diatas maka pemanfaatan tanah desa oleh swasta untuk kepentingan komersial dan bersifat privat (pengembangan perumahan) sebagaimana ramai diperbincangkan tidak bisa dibenarkan.

 

Tanah Desa untuk Perumahan?

Pada dasarnya pemenfaatan tanah desa untuk berbagai keperluan termasuk untuk pembangunan perumahan dapat dibenarkan apabila berorientasi pada tujuan pemanfaatan tanah desa. Apalagi kebutuhan (back log) perumahan di DIY masih cukup tinggi. Angka back log perumahan di DIY tahun 2014 mencapai 100 ribu unit (KR, 21-04-2015), dan saat ini tercatat ada kekurangan rumah mencapai 250 ribu unit. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan rumah tinggal bagi warga DIY adalah hal yang sangat urgent. Persoalan utama penyediaan perumahan permukiman bagi warga DIY adalah keterbatasan lahan dan tingginya harga lahan. Oleh karena itu salah satu alternatifnya adalah memanfaatkan tanah desa untuk pembangunan perumahan.

Berdasarkan UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disebutkan bahwa beberapa kewenangan pemerintah provinsi adalah; (a) memfasilitasi peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh; (b) mengoordinasikan pencadangan atau penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan bagi MBR; dan (c) menetapkan kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Dalam konteks ini maka pemerintah provinsi dapat mengoordinasikan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan yang dapat berasal dari tanah desa.

Adapun jenis perumahannya adalah rumah umum, yakni rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dengan bentuk rumah susun.   Berdasarkan UU 1/2011 pembangunan untuk rumah rumah susun, dapat dilakukan di atas tanah: (a) hak milik; (b) hak guna bangunan, baik di atas tanah negara maupun di atas hak pengelolaan; atau (c) hak pakai. Dalam konteks ini tanah desa status hak milik kasultanan ataupun hak pakai di atas tanah negara sangat memungkinkan untuk dialokasikan untuk pembangunan perumahan untuk mengurangi back log hunian. Tentu gagasan ini perlu dielaborasi lebih lanjut dan apabila memungkinkan diakomodasi dalam perubahan Pergub 34/2017 yang tengah berlangsung.



[1] Dipublikasikan melalui SKH Kedaulatan Rakyat, 6 Juni 2023

[2] Dr. Sutaryono, Staf Pengajar STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fak Geografi UGM