Selasa, 08 Februari 2022

Ganti Kerugian Pengadaan Tanah

Ganti Kerugian Pengadaan Tanah[1]

Oleh:

Dr. Sutaryono[2]

 

Pekan lalu, diakhir Bulan Januari 2022 telah dilakukan pemberian Ganti Kerugian Pengadaan Tanah untuk Jalan Tol Jogja – Bawen. Pada pekan itu pula beredar di berbagai media, berita tentang demontrasi Warga sekitar Kilang Minyak Tuban yang tengah memperjuangkan untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal setahun sebelumnya warga kampung tersebut diberitakan menjadi miliarder karena mendapatkan ganti kerugian pada pengadaan tanah yang digunakan untuk proyek grass root refinery (GRR) pada Kilang Minyak Pertamina di Tuban.

Agar kasus Warga Tuban tidak terjadi pada Warga Sleman yang mendapatkan ganti kerugian pengadaan tanah untuk jalan Tol, Pemerintah melalui Menteri ATR/Kepala BPN melakukan kunjungan secara langsung dalam proses penyerahan ganti kerugian. Dalam kesempatan tersebut Menteri ATR/Kepala BPN ingin memastikan bahwa penyerahan ganti kerugian dan pelapasan hak atas tanahnya berjalan sesuai prosedur sekaligus memberikan himbauan agar uang ganti kerugian dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat penerima (KR, 31-01-2022).

 Ganti Rugi atau Ganti Untung?

Beredar pemahaman pada masyarakat bahwa ganti kerugian yang nilainya besar disebut sebagai ganti untung. Bahkan saat pemberian ganti kerugian tanah untuk bandara di Kulon Progo, muncul istilah ‘ganti untung tanah bandara’ (Opini KR, 10-02-2014).  Pada dasarnya secara normatif, terminologi ganti rugi atau ganti untung tidak ada, yang ada adalah ganti kerugian. Berdasarkan UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Besaran ganti kerugian dinilai oleh Penilai yang dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi: (a) tanah; (b) ruang atas tanah dan bawah tanah; (c) bangunan;  (d) tanaman; (e)  benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau (f) kerugian lain yang dapat dinilai.

Persyaratan pemberian ganti kerugian adalah layak dan adil. Layak dan adil dapat dimaknai bahwa pemberian ganti kerugian di atas standar minimal, bahkan apabila memungkinkan masyarakat yang terkena dampak justru merasa mendapatkan ‘ganti untung’ bukan ganti rugi. ‘Ganti Untung’ ini sangat mungkin diperoleh oleh masyarakat terkena dampak, apabila tanah yang dibebaskan memberikan implikasi pada tetap terjaminnya: (a) rumah tinggal untuk hunian; (b) sumber penghidupan secara berkelanjutan; serta (c) relasi sosial kemasyarakatan.

Penilaian ganti kerugian sebagaimana dimaksudkan dalam UU 2/2012 adalah Nilai Penggantian Wajar (NPW - fair replacement value), sebagaimana diatur melalui Standar Penilaian Indonesia. Pola pengukuran NPW meliputi nilai kerugian fisik yang setara dengan nilai pasar, nilai kerugian non fisik dan beban masa tunggu. Nilai kerugian fisik secara umum meliputi nilai tanah, bangunan dan tanaman. Tetapi berdasarkan UU 2/2012 terdiri dari tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman dan benda yang berkaitan dengan tanah.

Nilai kerugian non fisik yang dinilai meliputi: (a) kehilangan pekerjaan/bisnis/alih profesi; (b) kerugian emosional (solatium), yang merupakan kerugian tidak berwujud yang dikaitkan dengan pengambilalihan tanah yang digunakan sebagai tempat tinggal dari pemilik; (c) biaya transaksi yang meliputi biaya pindah, perijinan dan perpajakan; (d) kerugian sisa tanah, yakni turunnya nilai tanah akibat pengambilan sebagian bidang tanah; (e) kerusakan fisik lain, misalnya bagian bangunan yang terpotong akibat pengadaan tanah sehingga membutuhkan biaya perbaikan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Nilai beban masa tunggu atau kompensasi masa tunggu, yakni sejumlah dana yang diperhitungkan sebagai pengganti adanya perbedaan waktu antara tanggal penilaian dengan perkiraan tanggal pembayaran ganti kerugian. Dalam hal ini, nilai kompensasi dihitung berdasarkan suku bunga deposito bank pemerintah untuk masa tunggu kurang atau lebih dari 6 (enam) bulan.

Nilai kerugian non fisik dan nilai kompensasi masa tunggu inilah yang menjadikan nilai ganti kerugian menjadi jauh lebih tinggi dari harga fisik tanah. Inilah yang dirasakan sebagai ‘ganti untung’. Semoga ‘ganti untung’ yang diberikan kepada masyarakat dapat benar-benar memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat terdampak pengadaan tanah.



[1] Dimuat pada SKH Kedaulatan Rakyat, 5 Februari 2022 hal 11

[2] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM