Rabu, 17 Juni 2015

Pemenuhan Kebutuhan Pangan dan Papan



Pemenuhan Kebutuhan Pangan dan Papan[1]

Oleh:
Sutaryono*

Presiden Jokowi pada beberapa kesempatan menyampaikan optimisme bahwa swasembada pangan nasional dapat diwujudkan dalam waktu 3 – 4 tahun. Pemenuhan kebutuhan dasar yang lain, yakni papan (perumahan), dilakukan melalui program pembangunan 1 juta rumah setiap tahun. Apabila terealisasi, pada tahun 2019 akan terpenuhi 5 juta rumah, yang berarti mengurangi jumlah backlog  (kekurangan tempat tinggal) dari 7,6 juta menjadi 2,6 juta rumah tinggal (RPJMN 2015-2019). Kedua upaya pemenuhan kebutuhan dasar tersebut membutuhkan tanah untuk merealisasikannya, dan ada kecenderungan saling berlawanan, mengingat pemenuhan kebutuhan papan seringkali mengurangi ketersediaan tanah untuk pangan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana strategi mewujudkan swasembada pangan dan pemenuhan kebutuhan papan secara bersama-sama, ketika alih fungsi tanah pertanian berjalan secara masif dan ketersediaan tanah semakin terbatas?
          Langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai swasembada pangan adalah mempercepat penyediaan infrastruktur pendukung pertanian, seperti: (a) terbangunnya dan meningkatnya layanan jaringan irigasi 1 juta hektar; (b) terlaksananya rehabilitasi 3 juta ha jaringan irigasi untuk mengembalikan layanan irigasi; (c) beroperasinya dan terpeliharanya jaringan irigasi 7,3 juta Ha; (d) terbangunnya 115 ribu hektar jaringan tata air tambak untuk mendukung pengembangan ekonomi maritim dan kelautan; (e) terbangunnya 49 waduk baru.
Agenda penyediaan infrastruktur pertanian di atas, di lapangan akan berhadapan dengan relaitas yang menunjukkan bahwa petani sebagai produsen pangan tidak memiliki tanah yang cukup untuk dikelola. Data BPS tahun 2013 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 28 juta rumah tangga petani (RTP) dengan rata-rata pemilikan tanah 0,36 hektar (petani gurem). Terdapat 6,1 juta RTP di Jawa dan 5 juta di luar Jawa yang tidak memiliki tanah pertanian (tuna kisma). Total saat ini terdapat 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani. Kondisi ini menunjukkan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia pada kondisi yang sudah mengkhawatirkan. Indeks GINI yang menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia, dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Indeks GINI pada tahun 1999 mencapai angka 0,308 dan meningkat menjadi 0,35 pada tahun 2008, kemudian meningkat lagi menjadi 0,413 pada tahun 2013. Di samping itu, laju penyusutan tanah pertanian akibat alih fungsi mencapai angka 1,935 juta ha selama 15 tahun, atau rata-rata 129.000 ha/tahun (lebih 353 ha/hari tanah pertanian hilang). Setiap hari sebanyak 1.408 rumah tangga terpaksa kehilangan dan meninggalkan tanah dan sawahnya (BPS, 2013)
Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan papan, pemerintah telah mencanangkan Program 1 juta rumah melalui pengembangan kampung deret dan rumah susun bersubsidi. Operasionalisasinya pemerintah menyediakan anggaran pembangunan dan pemerintah daerah menyediakan tanah dan sarana pendukungnya termasuk perijinan.
Sulit dipahami bahwa swasembada pangan dan pemenuhan kebutuhan papan secara nasional akan tercapai dengan keterbatasan tanah. Meskipun UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah memberikan jaminan kesejahteraan kepada petani untuk tetap berproduksi dan memberikan 2 hektar tanah untuk petani guram, tetapi ternyata strategi, instrumen dan lembaga yang mengimplementasikan belum tersedia secara memadai. Demikian pula dengan harapan mengatasi backlog rumah sejumlah 7,6 juta secara nasional, pasti terkendala penyediaan tanah yang menjadi tanggungjawab pemerintah daerah.
Untuk menyelesaikan persoalan keterbatasan tanah pertanian dan papan perumahan sebagaimana di atas, maka perlu dilakukan satu terobosan kebijakan yang bersifat lintas sektor dan berkelanjutan. Kebijakan strategis yang mampu menjawab permasalahan tanah di atas dan permasalahan bangsa yang lain, taat azas dan sudah ada landasan politiknya adalah pembaruan agraria. Ketetapan MPRRI IX/MPR/2001, menyebutkan bahwa pembaruan agraria  mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Penguasaan dan pemilikan tanah yang timpang, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak berpihak pada masyarakat luas dapat diselesaikan melalui kebijakan ini, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan papan bagi seluruh masyarakat bangsa ini.
Apabila hal ini dapat direalisasikan, maka pemenuhan kebutuhan pangan akan beriringan dengan pemenuhan kebutuhan papan, yang keduanya merupakan tanggungjawab negara terhadap seluruh warga negara. Semoga.


[1] Dimuat di SKH BISNIS MEDAN, 16-06-2015 hal 2
* Dr. Sutaryono, Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM

Senin, 08 Juni 2015

Teknik & Metode Penilaian Kawasan (B)

TEKNIK & METODE PENILAIAN KAWASAN

Salah satu kompetensi yang diharapkan dalam mata kuliah ini adalah peserta didik mampu melaksanakan penilaian kawasan dengan pendekatan nilai pasar dan non pasar. Silahkan diskusikan kedua pendekatan tersebut hingga operasionalisasi beragam teknik dan metode penilaian kawasan.

Dimensi Penilaian Kawasan (A)

DIMENSI PENILAIAN KAWASAN

Dalam penilaian kawasan, terdapat 3 dimensi yang melingkupinya, yakni dimensi ekologi, ekonomi dan sosial, yang ketiganya bekerja secara simultan mempengaruhi nilai sebuah kawasan. Silahkan paparkan konsepnya dan lanjutkan dengan operasionalisasinya dalam penilaian kawasan!