Kamis, 01 September 2016

Integrasi Agraria & Tata Ruang



QUOVADIS INTEGRASI AGRARIA & TATA RUANG[1]

Oleh: Sutaryono
Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional


Integrasi urusan agraria-pertanahan dengan penataan ruang dalam satu kementerian bukanlah ahistoris, tetapi telah mendasarkan pada amanat konstitusi dan relevan dengan kebijakan politik pemerintahan saat ini. Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang agraria-pertanahan dan penataan ruang, selama ini merupakan urusan yang terpisah, meskipun satu sama lain sangat terkait. Regulasi yang mengaturnya, kebijakan politik yang menaunginya serta kelembagaan yang menanganinya juga berbeda. Kabinet Joko Widodo – Jusuf Kalla, mengintegrasikan keduanya dalam satu kementerian, yakni Kementeriaan Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Namun demikian, hampir 2 tahun kementerian ini terbentuk, kebijakan dan bentuk integrasi kedua urusan ini belum menampakkan wujudnya. Atau jangan-jangan salah satu pertimbangan pergantian menteri ATR/BPN ini adalah kegagalan atau belum berhasilnya mengintegrasikan kedua urusan dalam satu kementerian.

Urgensi Integrasi
Penyatuan bidang keagrariaan, tata ruang dan pertanahan dapat dibaca sebagai upaya menata kelembagaan yang berlandaskan pada konstitusi dan regulasi dalam pengelolaan agraria dan sumberdaya alam, visi dan misi pemerintah serta kebutuhan dalam menjalankan tugas pemerintahan di bidang keagrariaan-pertanahan dan tata ruang. Pengintegrasian BPN dengan Ditjend Penataan Ruang Kementerian PU menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional merupakan perubahan paradigma dalam melihat sumberdaya agraria. Jika awalnya agraria-pertanahan dipahami sebagai persil-persil tanah, maka melalui kelembagaan yang baru dipahami sebagai kondisi, status, dan fungsi hubungan antar persil yang membentuk sebuah poligon yang saling mempengaruhi yang kemudian disebut sebagai ruang. Sumberdaya agraria dengan matra utama tanah merupakan ruang hidup bagi penduduk. Untuk itu pengaturan penguasaan dan pemilikan atas agraria-tanah harus selaras dan serasi dengan penggunaan dan pemanfaatan ruang.  
Berkaitan dengan konsep ruang dan agraria, ternyata ‘agraria’ dalam UUPA hakikatnya sama dengan pengertian ‘ruang’ dalam UU Penataan Ruang (Hutagalung, 2015). Bumi, air dan kekayaan alam adalah makna agraria secara konstitusi, yang inherent dengan makna ruang dalam UU Penataan Ruang.
Dalam perspektif land management, terintegrasinya land tenure, land use, land value dan land development yang didukung dengan land information infrastructures dan dibingkai melalui land policy yang tepat merupakan prasyarat terwujudnya sustainable development (Enemark, et al, 2005). Dalam konteks ini, terintegrasinya agraria-pertanahan dengan tata ruang adalah prakondisi menuju pembangunan berkelanjutan.

Instrumen Integrasi
Urusan keagrariaan-pertanahan yang meliputi pengukuran dan pemetaan kadastral, penatagunaan tanah, pengaturan hubungan hukum subjek dan objek hak, penguatan hak dan pemberdayaan masyarakat, landreform, pendaftaran tanah hingga penyelesaian sengketa dan konflik selama ini ‘hanya’ memperhatikan dan mempertimbangkan tata ruang. Sementara itu, penyelenggaraan penataan ruang baik pada level perencanaan, pemanfaatan hingga pengendalian pemanfaatan ruang masih menafikan aspek-aspek keagrariaan-pertanahan utamanya penguasaan dan pemilikan tanah.
Makna yang inherent antara ‘agraria’  dan ‘ruang’ merupakan entry point dalam integrasi pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah (land tenure) dengan penggunaan dan pemanfaatan ruangnya. Titik masuk ini perlu diakselerasi melalui beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk mengintegrasikan urusan agraria-pertanahan dan tata ruang.
Pertama, One Map Policy. Kebijakan satu peta multiguna musti berupa Informasi Geospasial Dasar yang berbasiskan persil-persil tanah (parcel based). Informasi spatial dan tekstual berkenaan bidang-bidang tanah mampu mengumpan terintegrasinya urusan agraria-pertanahan dengan tata ruang untuk berbagai keperluan pembangunan.  Kedua, Neraca Penatagunaan Tanah, yakni perimbangan antara ketersediaan tanah dan kebutuhan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan RTRW. Neraca ini meliputi neraca perubahan, neraca kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW, dan prioritas ketersediaan tanah. Instrumen ini sangat representatif untuk digunakan dalam berbagai urusan pembangunan wilayah, yang mensyaratkan terintegrasinya urusan agraria-pertanahan dan tata ruang. Ketiga, Konsolidasi Tanah, merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang sekaligus berperan dalam penataan kawasan. Apabila ini diimplementasikan, maka secara otomatis konten pertanahan dan tata ruang akan terintegrasi, mengingat penataan kawasan ini berbasiskan pada informasi spatial dan tekstual bidang-bidang tanah.
Ketiga instrumen di atas dapat dioperasionalisasikan dan dipatuhi oleh pemerintah dan pemerintah daerah (yang mempunyai otoritas dalam penataan ruang) apabila dibingkai dalam regulasi setingkat peraturan presiden. Dalam hal ini Kementerian ATR/BPN akan secara apik memerankan dua kakinya, satu kaki untuk urusan pertanahan yang dioperasionalisasikan oleh Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan dan satu kaki untuk urusan tata ruang yang menjadi otoritas pemerintah daerah. Apabila ini dapat dilakukan, integrasi urusan agraria-pertanahan dan tata ruang akan segera diwujudkan demi pembangunan berkelanjutan. Pergantian Menteri ATR/Kepala BPN merupakan momentum yang tepat untuk membumikan integrasi agraria-pertanahan dan tata ruang.   


[1] Dimuat di Harian KOMPAS, 29-08-2016 hal 7