Senin, 12 Februari 2018

NERACA PENATAGUNAAN TANAH: Instrumen Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi



NERACA PENATAGUNAAN TANAH:
Instrumen Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam
 Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi

Sutaryono
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (taryo_jogja@yahoo.com)

ABSTRACT

The Balance of Land Use including balance land use changes, the balance of suitability of the use of space and availability of priority, the data and information that is needed in the area of planning and development policies. This instrument is very representative to be used as a base in the preparation of detail spatial plan dan zoning regulatian (RDTR-PZ). If this can be done then the quality control space utilization, space utilization licensing, policy formulation and control of site plan building an environment (RTBL), space utilization will be very effective, because it was based on the data and information relating to the control, ownership, use and exploitation of land as contained in the Balance of Land Use. The level of accuracy of data in the Balance of the Land Use be necessary increase in the scale of 1: 5000 with the jurisdiction of the village, to be in sync with the needs of the data input in the preparation of detail spatial plan dan zoning regulatian.

Keywords: balance of land use, detail spatial plan, zoning regulation


Pendahuluan
Bagian Pendahuluan mencakup latar belakang masalah, sekilas review/tinjauan mengenai penelitian relevan sebelumnya baik oleh penulis maupun orang ylain, rumusan masalah serta tujuan yang akan dicapai. Wilayah kajian, misalnya berupa peta/citra, dapat dimasukkan dalam bagian ini.
Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan secara kelembagaan diawali oleh Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja, yang menyatakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, lingkup kerjanya meliputi penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang tata ruang dan bidang pertanahan. Penggabungan bidang agraria dan tata ruang pada satu kementerian ini dianggap tepat, mengingat: (a) pengaturan pertanahan, agraria dan sumberdaya alam selama ini dilakukan secara sektoral, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan konflik; (b) keterbatasan kelembagaan BPN pada non kawasan hutan, menjadikan pengelolaan pertanahan, agraria dan sumberdaya alam lainnya tidak dapat menjangkau kawasan hutan; (c) amanat konstitusi (UUD 1945) dan regulasi (UUPA) tidak dapat dijalankan secara utuh oleh kelembagaan pertanahan selama ini.
Dalam perspektif land management, terintegrasinya land tenure, land use, land value dan land development yang didukung dengan land information infrastructures dan dibingkai melalui land policy yang tepat merupakan prasyarat terwujudnya sustainable development (Williamson, et al, 2010). Dalam konteks ini, terintegrasinya agraria-pertanahan dengan tata ruang adalah prakondisi menuju pembangunan berkelanjutan.
Namun demikian, hampir 2 tahun kementerian ini terbentuk, kebijakan dan bentuk integrasi kedua urusan ini belum menampakkan wujudnya. Berbagai agenda terkait integrasi yang dilakukan oleh kementerian juga belum menunjukkan wujud nyata operasionalisasi integrasi. Sutaryono  (2016) menyebutkan bahwa integrasi kedua urusan ini dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen One Map Policy, neraca Penatagunaan Tanah, dan Konsolidasi Tanah.
Tanpa menafikan pentingnya kebijakan one map policy dan konsolidasi tanah, naskah ini bertujuan untuk mengelaborasi Neraca Penatagunaan Tanah sebagai salah satu instrumen yang dapat digunakan dalam operasionalisasi integrasi tata ruang dan pertanahan.
Neraca Penatagunaan Tanah adalah perimbangan antara ketersediaan tanah dan kebutuhan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Makna tersebut menunjukkan bahwa keberadaan neraca ini mampu menjadi elemen penting dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) ataupun Peraturan Zonasi (PZ). Penyusunan RDTR dan PZ selama ini masih belum mengakomodasi secara khusus data dan informasi yang ada dalam neraca penatagunaan tanah. Hal ini disebabkan oleh belum tersedianya neraca penatagunaan tanah pada setiap wilayah kabupaten/kota atau belum dipahami sepenuhnya keberadaan neraca penatagunaan tanah oleh penyusun RDTR dan PZ.
Absennya input neraca penatagunaan tanah dalam RDTR dan PZ dapat dipastikan bahwa informasi yang terkandung dalam regulasi tersebut menjadi tidak optimal. Hal ini berakibat pada pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang kurang tepat atau bahkan mekanisme pengendalian tidak dapat dijalankan. 
Metodologi
Naskah ini disusun melalui desk study terhadap beberapa regulasi dan beberapa pengalaman empirik berkenaan dengan kondisi kekinian berkenaan dengan upaya-upaya mengoperasionalkan integrasi tata ruang dan pertanahan. Deskriptif kualitatif digunakan untuk mengartikulasikan realitas dan gagasan pentingnya pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah sebagai instrumen integrasi tata ruang dan pertanahan.
Content analysis dilakukan untuk mengkaji kondisi eksisting berkenaan dengan neraca penatagunaan tanah, operasionalisasi dan problematikanya serta peluang dimunculkannya sebagai instrument utama operasionalisasi integrasi tata ruang dan pertanahan.
Analisis terhadap kelembagaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, yang mengintegrasikan urusan tata ruang dan pertanahan menjadi peluang dan titik masuk dalam pemanfaatan neraca penatagunaan tanah ini..

Hasil dan Pembahasan
A.   Neraca Penatagunaan Tanah
Neraca Penatagunaan Tanah meliputi neraca perubahan penggunaan tanah, neraca kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW, dan prioritas ketersediaan tanah, antara lain kesesuaian tanah untuk kegiatan tertentu. Penyusunan Neraca ini merupakan amanat Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah Pasal 23 ayat (3) dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 33 (BPN, 2013).
Neraca Penatagunaan Tanah dapat menjadi acuan dalam perencanaan kegiatan pembangunan maupun investasi yang membutuhkan tanah serta perencanaan pembangunan lainnya, termasuk dalam perencanaan dan revisi rencana tata ruang wilayah. Dalam konteks integrasi pengaturan dan penataan pertanahan terhadap pelayanan pertanahan, Neraca Penatagunaan Tanah antara lain dapat digunakan dalam rangka Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka penerbitan Izin Lokasi untuk kegiatan investasi, penetapan lokasi, maupun untuk perubahan penggunaan tanah.
Secara substansial Neraca Penatagunaan Tanah akan menghasilkan data dan informasi berkenaan dengan perubahan penggunaan tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan RTRW dan analisis prioritas ketersediaan tanah. Dengan demikian Neraca Penatagunaan Tanah ini mempunyai out come berupa:
1.       Peta Perubahan Penggunaan Tanah Pada Fungsi Kawasan, yang memberikan informasi berkenaan dengan luas, jenis perubahan dan lokasi perubahan penggunaan tanah dalam kurun waktu tertentu;
2.       Peta Kesesuaian Penggunaan Tanah Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah. Berisi tentang kesesuaian dan ketidaksesuaian penggunaan tanah dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW. Informasi ini dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap RTRW maupun dalam pemberian ijin pemanfaatan ruang;
3.       Peta Ketersediaan Tanah. Peta ketersediaan tanah ini pada prinsipnya merupakan hasil analisis ketersediaan tanah mengacu pada penggunaan dan penguasaan tanah. Tanah-tanah yang belum digunakan secara intensif dan belum dikuasai dengan hak atas tanah (skala besar) dikategorikan sebagai tanah-tanah yang tersedia untuk berbagai kegiatan sesuai dengan tata ruang. Sedangkan tanah-tanah yang telah digunakan secara intensif dan telah dikuasai dengan hak atas tanah (skala besar) masih dikategorikan tersedia dalam rangka penyesuaian dan optimalisasi penggunaan tanah.
4.       Peta Ketersediaan Tanah untuk Kegiatan atau Komoditas Tertentu. Ketersediaan Tanah untuk Kegiatan atau Komoditas Tertentu merupakan pengembangan dari analisis ketersedian tanah. Tanah-tanah yang tersedia dianalisis lebih lanjut kesesuaiannya untuk pengembangan kegiatan atau komoditas tertentu yang dapat berkontribusi untuk pengembangan wilayah dan penyesuaian penggunaan tanah dengan tata ruang
Berdasarkan data dan informasi dalam Neraca Penatagunaan tanah sebagaimana di atas, apabila digunakan sebagai dasar dalam penyusunan RDTR maupun Peraturan Zonasi maka kualitas RDTR – PZ akan semakin baik. Bahkan operasionalisasi pemanfaatan ruang yang berpedoman pada RDTR-PZ sudah mempertimbangkan aspek penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagiaman terdapat dalam Neraca Penatagunaan Tanah.
B.   RDTR dan Peraturan Zonasi
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi (PZ) dalam konteks penyelenggaraan penataan ruang pada dasarnya berada pada level yang berbeda. RDTR merupakan instrumen pada level perencanaan tata ruang, sedangkan PZ berada pada level pengendalian pemanfaatan ruang.
Berdasarkan Peraturan Menteri PU Nomor 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, disebutkan bahwa RDTR disusun untuk bagian dari wilayah kabupaten/kota yang merupakan kawasan perkotan dan/atau kawasan strategis kabupaten atau kawasan strategis kota. RDTR tersebut dilengkapi dengan Peraturan Zonasi. Dalam hal ini, secara jelas bahwa RDTR memuat juga PZ. Maka secara teknis penyusunan RDTR sekaligus juga dilakukan penyusunan PZ.
Terintegrasinya RDTR dan PZ dimaksudkan agar perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang dapat lebih proporsional, mengingat selama ini belum berimbangnya agenda perencanaan tata ruang dan agenda pengendalian pemanfaatan ruang. Padahal pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Persoalan terbesar dalam penataan ruang adalah pengendalian pemanfaatan ruang. Sebaik apapun rencana tata ruang dan program pemanfaatan ruang yang disusun, tanpa disertai dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas, konsisten dan berkelanjutan, maka tujuan penataan ruang tidak akan terwujud dengan efektif. Penyimpangan pemanfaatan ruang sebagian besar adalah karena lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu, pedoman pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang amat penting dalam penataan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan perijinan, pengawasan, dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang kota.
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bentuk-bentuk pengendalian penyelenggaraan penataan ruang pada dasarnya meliputi empat jenis, yaitu peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.
1.       Peraturan Zonasi, merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang
2.       Perizinan, merupakan upaya untuk memperbolehkan atau tidak memperbolehkan suatu kegiatan berlangsung pada suatu wilayah sesuai dengan tata ruang, dengan mengeluarkan penerbitan surat izin.
3.       Pemberian Insentif dan Disinsentif, merupakan upaya untuk mengarahkan pembangunan dengan memberikan dorongan terhadap kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan memberikan upaya menghambat terhadap kegiatan yang bertentangan dengan rencana tata ruang.
4.       Pengenaan Sanksi, merupakan upaya untuk memberikan tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
C.   Operasionalisasi Neraca Penatagunaan Tanah dalam Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi
Sebelum dipaparkan gagasan operasionalisasi Neraca Penatagunaan Tanah dalam penyusunan RDTR dan PZ, perlu dilihat dulu fungsi dan manfaata RDTR dan PZ. RDTR dan peraturan zonasi berfungsi sebagai: (a) kendali mutu pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota berdasarkan RTRW; (b) acuan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang lebih rinci dari kegiatan pemanfaatan ruang yang diatur dalam RTRW; (c) acuan bagi kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang; (d) acuan bagi penerbitan izin pemanfaatan ruang; dan (e) acuan dalam penyusunan RTBL.
Adapun manfaat RDTR dan peraturan zonasi adalah:  (a) penentu lokasi berbagai kegiatan yang mempunyai kesamaan fungsi dan lingkungan permukiman dengan karakteristik tertentu; (b) alat operasionalisasi dalam sistem pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan fisik kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan/atau masyarakat; (c) ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk setiap bagian wilayah sesuai dengan fungsinya di dalam struktur ruang kabupaten/kota secara keseluruhan; dan (d) ketentuan bagi penetapan kawasan yang diprioritaskan untuk disusun program pengembangan kawasan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya pada tingkat BWP atau Sub BWP.
Mengingat fungsi dan manfaat di atas, maka pemanfaatan Neraca Penatagunaan Tanah menjadi sesuatu yang urgent dalam penyusunan RDTR dan PZ.
Salah satu data yang digunakan dalam penyusunan RDTR dan PZ adalah data penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan lahan serta data peruntukan lahan. Dalam praktiknya data ini tidak mudah didapatkan. Untuk memnuhi kebutuhan data tersebut, Neraca Penatagunaan Tanah-lah jawabannya. Neraca Penatagunaan Tanah yang berisi data dan informasi berkenaan dengan perubahan penggunaan tanah, kesesuaiannya dengan rencana tata ruang wilayah serta informasi ketersediaan tanah berdasarkan penguasaan dan penggunaannya, mampu memenuhi kebutuhan dan keterbatasan data dalam penyusunan RDTR dan PZ.
Pada tahapan pengolahan dan analisis data, analisis kebutuhan ruang dan analisis perubahan pemanfaatan ruang dapat menggunakan neraca perubahan dan neraca ketersediaan tanah.
Berdasarkan Tata Cara Kerja Neraca Penatagunaan Tanah (BPN, 2013), skala yang dipersyaratkan masih terlalu kecil, yakni: (1) 1 : 25.000 untuk kabupaten di Pulau Jawa, Bali, danNusa Tenggara; (2) 1: 50.000 untuk kabupaten di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,dan Maluku; (3) 1 : 100.000 untuk kabupaten di Pulau Papua; dan (4) 1 : 10.000 untuk kota. Padahal skala peta yang dipersyaratkan untuk penyusunan RDTR & PZ dengan tingkat ketelitian minimal 1:5000, atau mengikuti ketentuan mengenai system infromasi geografis yang dikeluarkan oleh kementarian/lembaga yang berwenang.
Berkenaan dengan hal di atas, penyusunan Neraca Penatagunaan Tanah perlu menyesuaikan dengan kebutuhan tersebut, yakni meningkatkan ketelitian peta menjadi 1:5000 dan menurunkan level wilayah kabupaten/kota dan kecamatan menjadi level desa. Bahkan apabila dimungkinkan Neraca Penatagunaan Tanah yang disusun berbasiskan bidang-bidang tanah, baik melalui kegiatan pendaftaran tanah maupun kegiatan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T).

Kesimpulan dan Saran
Penyusunan RDTR dan PZ membutuhkan data-data pertanahan yang akurat dan valid. Data dan Informasi dalam Neraca Penatagunaan Tanah merupakan data pertanahan yang dapat digunakan sebagai basis dalam penyusunan RDTR dan PZ.
Tingkat ketelitian data pada Neraca Penatagunaan Tanah perlu didetailkan menjadi skala 1:5000 dengan yurisdiksi desa, agar sinkron dengan kebutuhan input data dalam penyusunan RDTR dan PZ.
Apabila hal di atas dapat dilakukan maka kendali mutu pemanfaatan ruang, perijinan pemanfaatan ruang, kebijakan penyusunan RTBL dan pengendalian pemanfaatan ruang akan sangat efektif, karena sudah mendasarkan pada data dan informasi berkenaan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Daftar Pustaka
Badan Pertanahan Nasional, 2013. Tata Cara Kerja Penyusunan Neraca Penatagunaan Tanah. BPN. Jakarta.
Muta’ali, L. 2013. Penataan Ruang Wilayah dan Kota (Tinjauan Normatif – Teknis). Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Sutaryono, 2007. Dinamika Penataan Ruang dan Peluang Otonomi Daerah. TuguJogja Grafika. Yogyakarta.
-------------, 2016, “Quovadis Integrasi Agraria dan Tata Ruang”, SKH Kompas, 29 Agustus 2016.
Renyansih & Budisantoso, (tt). ‘Kelembagaan Tata Ruang di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum sampai Departemen Kimpraswil’ dalam Sejarah Panataan Ruang Indonesia. Ditjend Penataan Ruang, Kementerian PU. Jakarta.
Williamson, I. et all, 2010. Land Administration for Sustainable Development. Esri Press Academic. Redlands, California.



Jumat, 02 Februari 2018

Masa Depan Jogja



Masa Depan Jogja[1]
Oleh:
Dr. Sutaryono[2]

Sangat jelas dan tegas bahwa masa depan Jogja (baca: DIY) dalam 5 tahun ke depan adalah ‘Terwujudnya Peningkatan Kemuliaan Martabat Manusia Jogja’. Demikian visi pembangunan DIY sebagaimana tertuang dalam RPJMD DIY 2017-2022 yang dipaparkan pada Musrenbang (Rabu, 31-1-2018). Visi tersebut merupakan penjabaran dan in line dengan Visi Gubernur 2017-2022 yang bertema ‘Menyongsong Abad Samudera Hindia untuk Kemuliaan Martabat Manusia Jogja’. Kemuliaan Martabat Manusia Jogja tersebut akan diwujudkan melalui   ‘Lima Kemuliaan’ atau ‘Pancamulia’, yakni terwujudnya: (1) peningkatan kualitas hidup-kehidupan-penghidupan masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban; (2) peningkatan kualitas dan keragaman kegiatan perekonomi masyarakat; (3) peningkatan harmoni kehidupan bersama baik pada lingkup masyarakat maupun pada lingkup birokrasi; (4) tata dan perilaku penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis; dan (5) terwujudnya perilaku bermartabat dari para aparatur sipil penyelenggara pemerintahan.
Dalam implementasinya, seluruh agenda pembangunan untuk mewujudkan visi di atas berpijak pada tanah sebagai lebensraum (ruang hidup). Oleh karena itu penataan pertanahan dan pengaturan pemanfaatan ruang secara berkeadilan dan berkelanjutan merupakan sebuah keharusan. Mengapa? Karena tanah adalah matra utama sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, mempunyai fungsi sosial, banyak pihak berkepentingan dan rentan terhadap muculnya konflik dan sengketa.
Seturut dengan itu salah satu isu strategis yang muncul saat ini adalah belum optimalnya pengendalian pemanfaatan ruang dan tingginya alih fungsi lahan. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan tanah dan pemanfaatan ruang belum sepenuhnya terkontrol oleh pemerintah. Isu strategis yang lain, utamanya isu kemiskinan, ketimpangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi yang belum inklusif juga menunjukkan adanya penguasaan tanah dan pemanfaatan ruang yang belum berpihak kepada masyarakat. Ada kecenderungan penguasaan tanah dan pemanfaatan ruang untuk aktivitas perekonomian yang terkait dengan sirkuit kapital global cenderung mendominasi. Sebut saja misalnya, pembangunan hotel, mall, apartemen, perumahan mewah dan bisnis property lainnya tumbuh subur dalam lima tahun terakhir. Kesemuanya merepresentasikan aktifitas perekonomian yang tidak inklusif dan mengokupasi tanah dan ruang secara massif dan ada kecenderungan memarjinalkan masyarakat setempat.
Akibatnya, kondisi terkini di DIY menunjukkan: (a) angka kemiskinan tinggi dan di atas rata-rata nasional (12,36%); dan (b) angka ketimpangan tertinggi secara nasional (Indeks GINI 0,44). Berkebalikan dengan kondisi tersebut, fakta menunjukkan bahwa di DIY: (a) Indeks Pembangunan Manusia tertinggi kedua nasional (78,38); dan (b) Indeks Kebahagiaan juga tinggi (72,93). Inilah yang disebut dengan Miskin Tetapi Sejahtera (Analisis KR, 10-06-2017). Ke depan, kondisi paradoks ini tidak boleh terjadi. Peningkatan Kemuliaan Martabat Manusia Jogja mestinya ditunjukkan oleh ‘Sejahtera dan Tidak Miskin’.

Modal untuk Sejahtera
Perwujudan Peningkatan Kemuliaan Martabat Jogja yang Sejahtera dan Tidak Miskin’ melalui Pancamulia di DIY sudah on the track.  Namun demikian, upaya tersebut perlu didukung oleh penataan pertanahan dan pengaturan pemanfaatan ruang yang baik dan berkeadilan. Dalam penataan pertanahan, perlu diingat kembali perlunya mewujudkan Catur Tertib Pertanahan, yang terdiri dari tertib hukum, tertib administrasi, tertib penggunaan dan pemanfaatan tanah serta tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Dalam hal ini, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah harus harus diorientasikan pada terwujudnya catur tertib pertanahan.
Dalam hal pemanfaatan ruang, utamanya berkaitan dengan berbagai perijinan seperti ijin prinsip, ijin lokasi, ijin perubahan penggunaan tanah hingga pada IMB harus diorientasikan untuk terwujudnya tertib ruang.  Tertib ruang dimaknai sebagai terwujudnya ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan melalui harmonisasi lingkungan alam dan buatan, terpadunya penggunaan sumberdaya alam, buatan, dan sumberdaya manusia, serta terlindunginya fungsi ruang. Dalam konteks ini, agenda pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen peraturan zonasi, perijinan, insentif-disinsentif serta penetapan sanksi bagi yang melanggar menjadi prioritas untuk dilakukan.
Apabila penataan pertanahan dan pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara tertib, maka terwujudnya peningkatan kemuliaan martabat manusia Jogja yang Sejahtera dan tidak miskin adalah sebuah keniscayaan. Inilah yang dimaknai sebagai modal untuk kesejahteraan.


[1] Dimuat pada kolom ANALISIS, SKH Kedaulatan Rakyat, 02-02-2018
[2] Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional & Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM