Kamis, 29 Agustus 2013

Pendapat-Tempo


Takhta Untuk Rakyat



 TAHTA UNTUK RAKYAT ala JOKOWI[1]

                                         Oleh:
                                      Dr. Sutaryono
Dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN dan
Prodi Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi UGM, di Yogyakarta

          Kontestasi politik menjelang 2014, eskalasinya cenderung meningkat. Gaya memikat yang dilakukan Jokowi- dengan ikon blusukan- baik pada masa pengenalan diri dan program-programnya, maupun dalam keseharian memimpin pemerintahan menjadi ‘inspirasi’ bagi banyak aktor yang berkeinginan menjadi lebih populer dan sukses dalam perhelatan demokrasi sebagaimana sosok Jokowi. Maka tidak perlu heran apabila saat ini dan nanti muncul apa yang disebut Sahabat saya Riawan Tjandra sebagai ‘Kloning Gaya Jokowi’ (Koran Tempo, 14-08-2013).              
          Gaya Jokowi pada dasarnya dapat dilakukan oleh semua pemimpin, apabila benar-benar memahami dan memaknai bahwa sejatinya kekuasaan akan didedikasikan dan diabdikan untuk rakyat atau terminologi tepatnya adalah Tahta Untuk Rakyat.   Terminologi ini mengingatkan kembali sosok raja yang merakyat dengan dedikasi dan komitmen luar biasa untuk rakyat dan bangsa Indonesia, Sri Sultan HB IX. Buku “Takhta Untuk Rakyat (suntingan Atmakusumah), mengelaborasi bagaimana tahta betul-betul didedikasikan untuk rakyat dan Bangsa Indonesia. Tahta untuk rakyat dan bangsa Indonesia tergambar secara jelas pada tulisan berjudul ‘Apa yang Akan Terjadi dengan Republik Jika Tidak Ada Hamengku Bowono IX?’ tulisan Mohamad Roem pada buku di atas. Tidak ada yang menyangsikan peran Sultan HB IX bagi rakyat dan bangsa ini, sehingga apa yang disebut dengan Tahta Untuk Rakyat adalah kebenaran sejarah.
Ngersodalem Sultan telah memperagakan dan mencontohkan perwujudan tahta untuk rakyat, baik secara personal maupun secara kelembagaan melalui kraton. Bahkan secara khusus tanah-tanah Sultan (Sultan Grond-SG) juga diorientasikan untuk rakyat dan bangsa ini. Secara nyata hingga saat ini tanah-tanah Sultan banyak dimanfaatkan untuk: (1) tanah keprabon, merupakan tanah Kasultanan yang dimanfaatkan untuk bangunan istana dan kelengkapannya; (2) rumah jabatan, tempat tinggal kerabat kraton, dan tanah-tanah yang dikuasai atau diberikan kepada pihak ketiga dengan seijin kraton (dede keprabon); dan (3) kepentingan pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini secara historis, yuridis dan sosiologis, sampai saat ini eksistensi tanah Sultan  masih ada dan diakui keberadaannya oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Masyarakat mengakui bahwa SG masih menjadi hak milik atau domein bebas dari Kasultanan Yogyakarta yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana dengan Jokowi? Apakah benar Jokowi sedang memperagakan perwujudan Tahta untuk Rakyat? Apabila ini benar, maka ‘reinkarnasi’ kepemimpinan di awal berdirinya republik ini sebagaimana statemen Riawan Tjandra (Koran Tempo, 14-08-2013), mendapatkan konteksnya.
Hamemayu Hayuning Bawana yang dimaknai sebagai kewajiban melindungi, memelihara, serta membina keselamatan dunia, wilayah dan masyarakatnya serta lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat dari pada memenuhi ambisi pribadi adalah filosofi dasar tahta untuk rakyat. Filosofi inilah yang tampaknya secara konsisten dipegang, dihayati dan diimplementasikan ke dalam kebijakan dan agenda kerja sejak menjabat sebagai Wali Kota hingga saat ini sebagai Gubernur DKI Jakarta. Model blusukan ala Jokowi dapat dimaknai sebagai simbol sekaligus manifestasi manunggaling kawulo gusti.
Apabila dilihat dengan kacamata the production of spaces-nya Lefebvre, model blusukan tersebut dapat dimaknai sebagai implementasi interaksi pada tiga ruang sekaligus. Ruang atau spaces, tidak hanya dimaknai sebagai ruang fisik belaka (phisycal spaces), tetapi  juga mental spaces dan social spaces, yang secara resiprokal saling berkaitan dan mempengaruhi. Kehadiran secara fisik sosok pimpinan, pasti mendapatkan apresiasi lebih dari masyarakat karena memberikan kesejukan, kedekatan, kebersamaan dan empati yang mewujud. Inilah ruang fisik yang diproduksi oleh Jokowi melalui blusukan. Interaksi ruang fisik ini, secara langsung diikuti dengan interaksi ruang mental. Mind set, pola pikir dan benak segenap rakyat pasti mengikuti ‘atmosfer’ yang dibangun oleh Sang Pemimpin saat berinteraksi secara wadaq. Nuansa kebersamaan inilah yang memberikan kekuatan interaksi ruang mental bagi ‘raja’ dan rakyatnya. Setelah berproses dan berproduksinya ruang fisik dan ruang mental, tinggallah interaksi ruang sosial sebagai eksekutornya, mengingat interaksi sosial inilah wujud nyata bahwa kekuasaan benar-benar diorientasikan untuk rakyat.
Kita ingat betul bahwa kedatangan dan kemenangan Jokowi menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta dapat dibaca sebagai menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan, bahkan menggunakan kesaktian tanpa ajian dan kekayaan tanpa kemewahan. Artinya Jokowi telah memainkan peran sebagai sosok pimpinan yang betul-betul mempunyai etika seorang pemimpin, yang berkiprah tanpa merendahkan pihak-pihak yang berseberangan, tanpa menggunakan pasukan untuk menundukkan pihak-pihak yang akan diatur. Keberhasilan awal untuk menata kawasan Tanah Abang tanpa hiruk pikuk yang berarti, menunjukkan hal itu. Tidak digunakannya tradisi open house saat lebaran, tetapi justru malah bertandang dan merayakan lebaran bersama rakyatnya adalah bukti nyata wujud tahta untuk rakyat yang diperagakan Jokowi.  
Hasil survey dari berbagai lembaga survey yang menempatkan Jokowi sebagai calon presiden paling populer dan tawaran berbagai partai politik terhadapnya untuk perhelatan tahun 2014, hanya direspon dengan senyuman. Jokowi menyatakan ingin berkonsentrasi membenahi Jakarta. Keinginan untuk  tetap menjalankan tanggungjawabnya sebagai gubernur ini dapat dimaknai bahwa dedikasi dan komitmen untuk rakyat belum tergoyahkan. Inilah yang dimaknai sebagai Tahta untuk Rakyat ala Jokowi.


[1] Dimuat pada KORAN TEMPO, Rabu 28 Agustus 2013 hal A11

Kamis, 01 Agustus 2013

Percepatan Legalisasi Aset



PERCEPATAN LEGALISASI ASET:
Proyeksi Kebutuhan Petugas Ukur dan Pemanfaatan Teknologi Pengukuran
Di Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan

Oleh:
Sutaryono, dkk[1]

Pendahuluan
Salah satu agenda strategis nasional dalam pengelolaan pertanahan adalah legalisasi aset. Legalisasi aset ini pada prinsipnya berupa pendaftaran tanah untuk seluruh bidang-bidang tanah yang ada di Indonesia. Selama ini pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional telah melakukan berbagai upaya untuk mempercepat pendaftaran tanah. Pada dekade 1990-an dengan suport pembiayaan dari AusAID dan Bank Dunia dilaksanakan Proyek Administrasi Pertanahan atau Indonesian Land Projek Adminidtration (ILAP).  Program ini bertujuan untuk: (1) mempercepat pasar tanah yang cepat dan efisien; (2) meredakan konflik sosial atas tanah melalui pendaftaran tanah; (3) mendukung  upaya mengembangkan  kebijakan-kebijakan manajemen pertanahan dalam jangka panjang. Program tersebut dilanjutkan kembali pada tahap kedua 2004-2009) dengan Land Management  and policy  Development Program (LMPDP) yang lebih fokus pada  penguatan kelembagaan dan pensertipikatan tanah.
Kebijakan pengelolaan pertanahan yang melibatkan Bank Dunia dalam program pendaftaran tanah tersebut, diawali dengan perubahan kebijakan pendaftaran tanah yang semula dilakukan dengan mendasarkan pada PP Nomor 10 Tahun 1961 di gantikan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 Jo. PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997. Perubahan regulasi kebijakan pendaftaran tanah tersebut, memberikan jalan bahwa proses pendaftaran tanah dapat dilakukan dengan lebih mudah dan praktis. Kemudahan dalam proses pendaftaran tanah dengan difasilitasi dari pendanaan Bank Dunia tersebut telah menghasilkan kurang lebih 1.862.968 sertipikat dalam rentang waktu 1995-2001, dengan wilayah pendaftaran tanah di  47 Kab/Kota,  yang terletak di 5 provinsi Pulau Jawa, yakni Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.
Namun demikian kedua kebijakan tersebut di atas tidak/belum mampu  menyelesaikan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Bahkan hingga saat ini jumlah bidang tanah yang terdaftar baru berkisar 46% dari seluruh bidang tanah di Indonesia, yang diperkirakan mencapai 100 juta bidang.
Berkenaan dengan hal di atas maka penempatan agenda legalisasi asset menjadi agenda strategis BPN pada tahun 2013 ini merupakan langkah tepat dan strategis. Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana ketersediaan sumberdaya manusia di bidang pengukuran dan ketersediaan peralatan (teknologi) untuk mempercepat proses legalisasi aset? Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana peran Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dalam penyediaan sumberdaya manusia di bidang pengukuran? Paper singkat ini mencoba mengelaborasi kebutuhan petugas ukur berdasarkan beban kerja, sekaligus mencermati peran STPN yang harus dimainkan dalam penyediaan sumberdaya manusia di bidang pengukuran.

Beban Kerja Pengukuran & Pemetaan Secara Nasional
Data tahun 2012 menunjukkan bahwa Peta Dasar Pertanahan baru meng-cover sekitar 11% dari luas wilayah seluruh Indonesia, yang terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Sementara itu pada tahun yang sama, bidang-bidang tanah yang terdaftar baru mencapai sekitar 44 juta bidang (44%), dari lebih dari 100 juta bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia[2]. Apabila diasumsikan pada tahun 2013 ini terdaftar sejumlah 2 juta bidang, maka total tanah yang sudah terdaftar mencapai 46 juta bidang (46%). Kondisi ini menunjukkan bahwa beban kerja pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah di seluruh Indonesia masih sangat tinggi.
Beban ini terasa semakin berat apabila dilihat dengan ketersediaan petugas ukur di BPN. Jumlah Petugas Ukur BPN RI tahun lalu hanya 2.167 orang. Jumlah ini kurang dari separuh kebutuhan secara nasional, yang mencapai 5.681 orang, Apabila data ini valid, berarti masih kekurangan 3.514 orang[3]. Data ini belum memperhitungkan petugas ukur yang memasuki masa pensiun, yang diperkirakan mencapai 80 orang per tahun.
Apabila disimulasikan, perkiraan penyelesaian pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia (tanpa menambah petugas ukur) adalah sebagai berikut:
1.    Jumlah petugas ukur sebanyak 2.167 orang, dengan produktivitas 3 – 5 bidang/hari.
2.    Dengan produktivitas maksimal, maka dalam satu tahun (200 hari kerja), bidang-bidang yang terukur dan terpetakan mencapai (2.167 org x 5 bidang x 200 hari) = 2.167.000 bidang.
3.    Untuk menyelesaikan seluruh bidang yang ada dibutuhkan sekurang-kurangnya selama 24 tahun.
4.    Untuk mempercepat penyelesaian pengukuran dan pemetaan secara nasional, pemenuhan kebutuhan petugas ukur mutlak diperlukan. Apabila akan diselesaikan dalam waktu 10 tahun, maka setiap tahun harus menyelesaikan sekitar 5,4 juta bidang. Pekerjaan sebanyak ini membutuhkan sekitar 5.113 – 6.818 petugas ukur.
Berkenaan dengan hal tersebut, tepat kiranya ketika Kepala BPN RI dalam berbagai kesempatan mengemukakan percepatan legalisasi aset, yang secara teknis berisi pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah. Bahkan pada saat STPN memberikan progress report secara khusus kepada Kepala BPN RI pada tanggal 17 Juli 2013, muncul gagasan tentang perlunya strategi percepatan pengukuran dan pemetaan dengan memberdayakan lulusan Program Diploma I Pengukuran dan Pemetaan Kadastral STPN- yang saat ini mencapai sejumlah 1.675 lulusan yang belum terserap oleh BPN.
Berkenaan dengan agenda percepatan ini pula, telah dikeluarkan Peraturan Kepala BPN tentang Surveyor Berlisensi, yang hingga saat ini salinannya belum diperoleh. Regulasi ini merupakan upaya melibatkan swasta untuk ikut serta mempercepat proses pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah.

Beban Kerja Pengukuran & Pemetaan Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan
Beban pekerjaan pengukuran dan pemetaan di Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan dari tahun ke tahun semakin meningkat, dan memerlukan penyelesaian tepat waktu dengan tingkat ketelitian yang tinggi, mengingat berkaitan dengan kepastian hukum obyek hak atas tanah. Kondisi ini, tentu memerlukan kuantitas dan kualitas petugas ukur yang memadai. Namun demikian realitas menunjukkan hal yang berbeda. Secara kuantitas saja, jumlah petugas ukur yang tersedia tidak sebanding dengan beban kerja yang dihadapi.
Beban kerja pengukuran dan pemetaan dari program strategis pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan dalam 3 (tiga) tahun terakhir terus bertambah. Tahun 2012, beban pekerjaan yang harus diselesaikan mencapai 4.000 bidang (Prona). Pada tahun 2013 ini bertambah mencapai 5.250 bidang, yang terdiri dari: (a) prona 4.250 bidang; dan (b) IP4T  1.000 bidang. Pada tahun 2014 yang akan datang, beban kerja bertambah menjadi 5.800 bidang, yang terdiri dari:  (a) prona  4.500 bidang; (b) UKM 100 bidang; (c) pertanian 100 bidang; (d) nelayan 100 bidang; dan (e) IP4T 1.000 bidang.
Beban kerja di atas merupakan beban kerja dengan skema proyek. Apabila ditambah dengan beban pengukuran dan pemetaan dari permohonan pelayanan rutin yang mencapai rata-rata 7.000 bidang setiap tahunnya, maka beban kerja petugas ukur akan semakin besar dan sulit tertangani dengan baik.
Beban kerja yang semakin meningkat tersebut hanya didukung oleh jumlah petugas ukur yang terbatas, yakni 11 (sebelas) orang petugas ukur PNS, dibantu oleh 8 (delapan) orang tenaga magang (6 orang tamatan D1 PPK STPN dan 2 orang S1 Teknik Geodesi). Artinya perbandingan beban pekerjaan pengukuran dan pemetaan dengan jumlah ketersediaan petugas ukur pada Tahun 2013 ini adalah:
Text Box: = 1.114 bidang/orang5.250 (proyek) + 7.000 (rutin)  
             11 petugas

Beban tersebut menunjukkan bahwa setiap petugas ukur harus menyelesaikan 93 bidang/orang pada setiap bulannya. Hal ini memberikan gambaran bahwa penyelesaian pekerjaan pengukuran dan pemetaan akan selalu bertambah karena banyaknya tunggakan pekerjaan dari yang terakumulasi dalam setiap tahunnya, mengingat medan yang relatif sulit. Sebagai contoh, pada medan yang relatif mudah, kemampuan petugas ukur mencapai 3 - 5 bidang/hari, tetapi dalam medan yang relatif sulit hanya mampu menyelesaikan 2 – 3 bidang/hari. Berikut adalah fakta riil yang dijumpai di lapangan:
1.    Pengukuran dan pemetaan dilakukan oleh 13 petugas ukur, yang terbagi menjadi 3 tim.
2.    Pengukuran di Desa Manik selama 12 hari, menghasilkan 350 bidang, sehingga produktivitasnya sebesar 29 bidang/hari atau 2,24 bidang/orang.
3.    Pengukuran di Desa Senganan selama 6 hari , menghasilkan 199 bidang, produktivitas mencapai 33 bidang/hari atau 2,54 bidang/orang.
4.    Produktivitas kerja secara keseluruhan mencapai 31 bidang/tim/hari atau setara dengan 2,38 bidang/orang/hari (52 bidang/bulan).
Berdasarkan data ini, ternyata 11 petugas ukur dalam 1 bulan (22 hari) hanya mampu menyelesaikan (11 org x 2,38 bdg x 22 hari) bidang = 576 bidang.
Dalam satu tahun mampu menyelesaikan (576 bidang x 12 bulan) = 6.912 bidang. Hal ini berarti tunggakan pada tahun 2013 diperkirakan sekitar (12.250 – 6.912) bidang = 5.338 bidang.
Dengan produktivitas yang kurang lebih sama, maka untuk menyelesaikan tunggakan tersebut dibutuhkan tambahan sekurang-kurangnya 8 petugas ukur (5.338 : 52 bidang/bulan : 12 bulan).
Pemanfaatan 13 mahasiswa STPN selama 18 hari, ternyata mampu mempercepat pekerjaan sebesar 10.28%.
Apabila dilakukan selama 30 hari kerja, mampu mempercepat hingga 17,4%.


Regulasi Pemerintah dalam Pengadaan SDM Surveyor Berlisensi
           Dalam rangka percepatan pendaftaran tanah, khususnya pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan. Kebijakan pemerintah untuk pengadaan dan penambahan SDM melalui mekanisme rekruitmen PNS terkendala dengan keterbatasan formasi. Untuk itu kehadiran juru ukur berlisensi dalam hal ini surveyor berlisensi dan asisten surveyor berlisensi, menjadi salah satu upaya memenuhi kebutuhan juru ukur.
           Regulasi terkait dengan pengadaan dan penambahan juru ukur dalam lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998 tentang Surveyor Berlisensi Jo. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 1998 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998 tentang Surveyor Berlisensi, belum berjalan optimal karena permohonan pengukuran batas bidang tanah dari masyarakat lebih banyak diajukan melalui Kantor Pertanahan. Masyarakat belum terlalu percaya dan tidak terbiasa dengan keberadaan Surveyor Berlisensi dan asisten surveyor berlisensi. Kemudian mekanisme pelayanan pengukuran maupun aturan main dalam melaksanakan pekerjaan pelayanan secara langsung kepada masyarakat oleh surveyor berlisensi maupun asisten surveyor berlisensi masih belum berjalan secara efektif, masih terkendala dengan rumitnya birokrasi seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Negara  Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998 Jo. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 1998. Dalam regulasi tersebut terdapat kewajiban Assisten Surveyor berlisensi harus menginduk pada Surveyor berlisensi. Asisten surveyor berlisensi tidak dapat melayani permohonan pengukuran secara mandiri. Dan Surveyor berlisensi haruslah berbadan hukum. Dengan beberapa permasalahan di atas ternyata regulasi pemerintah di bidang profesi surveyor berlisensi untuk mempercepat kegiatan pendaftaran tanah tidak disambut dengan baik oleh kalangan swasta. Maka dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Surevyor Berlisensi yang baru, diharapkan kendala – kendala birokratis serta reward yang akan diperoleh lebih menjanjikan. Sehingga menumbuhkan minat kalangan swasta untuk berperan dalam pembangunan dan percepatan kegiatan pendaftaran tanah. Inti sari dari perkaban yang baru ini adalah menggunakan mekanisme pengadaan barang dan jasa untuk mengakomodir keterlibatan surveyor berlisensi dan assisten surveyor berlisensi. Serta dapat menerima pekerjaan pengukuran dan pemetaan secara mandiri tanpa harus memiliki badan hokum untuk pekerjaan pengukuran dan pemetaan dengan nilai pembiayaan pada batas tertentu. Keterlibatan peran swasta ini menjadi penting, khususnya untuk menyongsong pelaksanaan kadaster masa depan yaltu kadaster 2014. Terutama pernyataan ke 5 kadaster 2014 yaitu Kadaster 2014 akan lebih banyak diprivatisasi. Kerja sama sektor swasta dan pemerintah akan semakin erat.

Penyediaan SDM Pengukuran dan Pemetaan oleh STPN
          Kebutuhan sumberdaya manusia di bidang pengukuran dan pemetaan kadastral dapat dipenuhi dengan menambah petugas ukur dengan kualifikasi Sarjana Geodesi dan lulusan Diploma I PPK STPN. Berdasarkan statusnya, petugas ukur dibagi menjadi dua, yakni PNS dan Non PNS. Petugas Non PNS terbagi menjadi surveyor kadastral dan asisten surveyor kadastral. Kompetensi asisten surveyor kadastral sebatas memiliki keahlian di bidang pengukuran dan pemetaan kadastral sedangkan surveyor kadastral memiliki keahlian tambahan yaitu mampu mengorganisasikan pekerjaan pengukuran dan pemetaan kadastral. Kedua-duanya diberi kewenangan untuk melakukan pekerjaan pengukuran dan pemetaan kadastral dalam rangka pendaftaran tanah.
          Dalam kesempatan ini akan dikemukakan penyediaan petugas ukur oleh STPN melalui pendidikan Program D-I Pengukuran dan Pemetaan Kadastral. Hingga saat ini STPN telah menghasilkan sejumlah 3.912 lulusan DI PPK. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.237 lulusan telah menjadi PNS di lingkungan BPN dan sisanya sebanyak 1.675 lulusan belum terserap. Di sisi lain secara keseluruhan BPN kekurangan petugas ukur lebih dari 3.500 orang. Dengan demikian, maka penambahan jumlah rekrutmen petugas ukur dengan kualifikasi DI PPK menjadi hal penting untuk dilakukan. Permasalahannya adalah, formasi PNS harus mendapatkan persetujuan dari Kementerian PAN dan RB.
          Apabila melalui rekrutmen PNS tidak dapat dilakukan, maka pemberdayaan lulusan DI PPK STPN dapat dilakukan dengan mendasarkan pada Perpres No. 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, yang membuka peluang bagi mereka untuk dikontrak sebagai pihak ke-tiga. Di samping itu juga dapat dilakukan melalui surveyor berlisensi, sebagaimana diatur melalui peraturan kepala BPN.
          Penyediaan SDM untuk mempercepat pengukuran dan pemetaan bidang juga dapat dilakukan dengan memberdayakan Mahasiswa Program Diploma IV Pertanahan. Pemberdayaan ini dapat dilakukan melalui program terstruktur sebagaimana terdapat dalam kurikulum (Praktik Kerja Lapangan & KKPPT) maupun memanfaatkan waktu di luar perkuliahan setiap semester, sebagaimana dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan.
Untuk menjaga kualitas SDM Pengukuran dan Pemetaan, STPN telah dan akan melakukan berbagai langkah perbaikan seperti:
  1. Melakukan revisi kurikulum secara kontinyu, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengikuti perkembangan kebutuhan kelembagaan BPN;
  2. Melakukan akreditasi program studi (D-I PPK dan D-IV Pertanahan, keduanya sudah terakreditasi), sebagai jaminan mutu eksternal; 
  3. Menerapkan Nilai Matematika Minimal 7,50, dengan tinggi badan minimal 160 untuk wanita dan 165 untuk pria dalam rekrutmen calon mahasiswa DI-PPK Tahun 2013;
  4. Penyiapan Lulusan Program Diploma IV Pertanahan harus ber-IPK minimal 2,75 (Tahun 2014)
  5. Penyiapan Penerapan TOEFL minimal 400, sebagai syarat kelulusan (Tahun 2014).
  6. Menerapkan sistem pendidikan boarding school yang memungkinkan peserta didik fokus dalam pembelajaran dan dapat dimobilisasi secara cepat untuk berbagai kebutuhan.  
Hal-hal di atas dilakukan semata-mata untuk memastikan bahwa lulusan STPN mempunyai bekal yang memadai untuk mengemban tugas-tugas pertanahan, termasuk di dalamnya adalah pengukuran dan pemetaan.

Pemanfaatan Teknologi dalam Percepatan Pengukuran dan Pemetaan
Dalam Percepatan Legalisasi Aset, khususnya di bidang pengukuran dan pemetaan selain penambahan SDM Pengukuran dan Pemetaan juga dapat memanfaatkan teknologi pengukuran dan pemetaan. Perkembangan teknologi pengukuran dan pemetaan dewasa ini telah berkembang dengan pesat. Teknologi pengukuran dan pemetaan sudah mengarah pada otomatisasi survey. Teknologi analog sudah mulai ditinggalkan. Menurut UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan PMNA No. 3 Tahun 1997 tentang pelaksanaan PP 24 Tahun 1997, metode pengukuran dan pemetaan dalam bidang kadastral dibagi dalam 3 metode yaitu Metode Instrumen Ukur yang ada di darat (Terestris), Instrumen Ukur di air, Instrumen Ukur di Udara dan angkasa (Fotogrametris) serta perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
1.  Instrumen Ukur yang ada di darat
Beberapa peralatan pengukuran dan pemetaan yang menggunakan instrumen ukur di darat contohnya Elektronik Total Station (ETS), Teodolit Digital, Teodolit EDM dan Receiver GPS. Penggunaan alat/instrumen  ukur di darat ini surveyor harus turun kelapangan untuk langsung mengukur batas – batas bidang tanah, baik berupa data jarak, sudut maupun langsung koordinat titik batas bidang tanah tersebut. Penggunaan ETS robotic sangat membantu mempercepat pengukuran dan dapat dilakukan secara efisien karena hanya memerlukan satu surveyor saja. Tetapi tingkat keamanan alat tidak terjamin 100%. Teknologi pemanfaatan Receiver GPS sudah berkembang dengan pesat seperti metode RTK – CORS maupun RTK dengan gelombang radio. Ketelititan yang diperoleh sampai pada taraf fraksi cm. Perkembangan teknologi terbaru memanfaatkan WADGPS System, yaitu menggunakan base station yang dibangun oleh pemilik system yang memberikan koreksi pengukuran melalui satelit komunikasi. Ketelitian yang diperoleh sampai dengan 10 cm. Pengguna tidak lagi membangun base station di kantor pertanahan. Tetapi pengguna harus berlangganan untuk memperoleh servis koreksi data ukuran. 
2.  Instrumen Ukur di air
Instrumen Ukur di Air ini digunakan untuk kegiatan pengukuran dan pemetaan hidrografi, baik topografi dasar perairan (Laut, danau, sungai dll) maupun tinggi rendahnya permukaan air. Untuk kepentingan pengukuran kadaster darat tidak diperlukan. Metode Instrumen Ukur di Air ini contohnya: echosounder, secchi-disc, dan water-checker. Pemanfaatan alat ukur ini untuk kepentingan Kadaster Kelautan atau Marine Kadaster. 
3.  Instrumen Ukur di Udara dan Angkasa
Metode Instrumen Ukur di Udara dan Angkasa contohnya Peralatan yang dipasang pada wahana terbang seperti kamera, sensor radar, dan sensor lidar. Sangat sesuai untuk memperoleh peta skala sedang/menengah,untuk kepentingan perencanaan wilayah yang tidak terlalu luas ataupun skala besar untuk pengukuran dan pemetaan pertanahan. Peralatan selalu dibantu menggunakan wahana yang dapat terbang di udara: pesawat terbang, Gantole, pesawat terbang remote control dll. Kantor Pertanahan Batam berencana menggunakan wahana terbang: kamera foto udara yang dipasang pada pesawat nir awak yang dikendalikan dengan remote control untuk kegiatan pelayanan pertanahan. Hanya saja uji ketelitian yang diperoleh belum ada. Tetapi kemungkinan untuk memberikan informasi keruangan sangat baik. Pemanfaatan teknologi Inderaja juga memungkinkan, data spasial google earth pada wilayah tertentu juga sudah memenuhi standart pemetaan pelayanan pertanahan. Penggunaan citra satelit quic bird, Geo eye1 dan world view yang mencapai resolusi spasial 0.5 meter cukup baik dan memenuhi standart pemetaan pelayanan pertanahan.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan pemetaan saat ini masih berkutat di bidang ekstraterestis atau pemanfaatan teknologi satelit untuk penentuan posisi di muka bumi seperti CORS dan WADGPS. Adapun pengembangan teknologi foto udara digital menuju pada foto udara digital small format. Pemanfaatan teknologi gelombang microwave seperti LIDAR juga berkembang sangat pesat. Hanya sayang teknologi ini kurang sesuai untuk kepentingan pertanahan khususnya kadaster.
Untuk mempercepat proses pengukuran dan pemetaan, pilihan terhadap instrumen yang digunakan menjadi penting, mengingat karakteristik dan spesifikasi instrumen pengukuran berbeda-beda. Melihat topografi Kabupaten Tabanan seperti melihat Daerah Istimewa Yogyakarta, sangat bervariasi mulai dari bentuk bentang lahan pegunungan, dataran rendah sampai pesisir ada semua. Maka untuk mempercepat kegiatan pengukuran dan pemetaan dapat menyesuaikan dengan bentuk bentang lahan/topografi wilayah yang akan dipetakan:
1. Daerah Pegunungan
    Menggunakan Teknologi ekstraterestris: CORS atau WADGPS atau bisa juga menggunakan foto udara dengan wahana pesawat udara nir awak (harus dilengkapi dengan data DEM, untuk proses pemetaan agar memperoleh ketelitian sesuai spesifikasi teknis pengukuran dan pemetaan kadaster).
2. Daerah Dataran Rendah dan Pesisir
Semua metode pengukuran dengan instrumen yang ada di darat maupun udara bahkan angkasa dapat digunakan. Teknologi pemanfaatan foto udara dengan menggunakan pesawat udara nir awak sangat mendukung untuk percepatan pengukuran dan pemetaan dan memperoleh informasi data terkini/terbaru.

Penutup
          Berbagai upaya percepatan pengukuran dan pemetaan yang merupakan prasyarat penting dalam legalisasi aset perlu secara maksimal dilakukan. Penambahan kuantitas dan kualitas petugas ukur mutlak diperlukan, baik melalui mekanisme rekrutmen PNS, surveyor berlisensi, pengadaan barang dan jasa maupun melalui pemberdayaan lulusan DI-PPK dan Mahasiswa D-IV Pertanahan STPN dengan mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pilihan penggunaan instrumen pengukuran perlu dilakukan dengan mempertimbangkan lokasi berdasarkan karakteristik wilayah (kondisi medan), perkembangan wilayah (perdesaan-perkotaan) serta kepadatan penduduk dan bangunan.
          Kajian proyeksi kebutuhan sumberdaya manusia di bidang pengukuran perlu dilakukan secara lebih mendalam, untuk memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan terkait percepatan legalisasi aset secara nasional. Berbagai inisiasi lokal (daerah) yang menunjukkan keberhasilan (success story) perlu dikampanyekan agar menginspirasi pimpinan di pusat dalam pengambilan kebijakan.




[1] Dr. Sutaryono, Ir. Ekobudi Wahyono, M.Si., & Sarjita, SH.M.Hum.
[2] Data terbaru, dapat dilihat di Pusdatin BPN RI
[3] Bagian Pengembangan Kepegawaian 2012, sebelum diupdate.