Senin, 16 Juni 2014

Visi Keagrariaan Capres



MENAKAR VISI KEAGRARIAAN CAPRES[1]

Oleh: Sutaryono[2]

            Kontestasi politik menjelang Pilpres 9 Juli nanti, eskalasinya cenderung meningkat dan perbedaan antar pasangan calon berserta pendukungnya semakin tajam. Bahkan di berbagai media dan jejaring sosial muncul kampanye negatif hingga kampanye hitam yang berorientasi untuk mempengaruhi pemilih yang belum menentukan sikap.
            Pada dasarnya pemilih cukup mencermati dua hal penting untuk menentukan pilihan, yakni track record dan visi capres-cawapres. Berkenaan dengan track record, pemilih sudah mendapatkan berbagai informasi tentang rekam jejak paslon dan cukup cerdas untuk memberikan penilaian. Namun, berkenaan visi capres cawapres belum banyak ruang yang digunakan untuk mensosialisasikannya kepada khalayak. Kalau toh ada, masih bersifat parsial dan cenderung terfokus pada isu pemerintahan, penegakan hukum dan perekonomian. Isu keagrariaan capres-cawapres cenderung absen dari berbagai perbincangan, meskipun persoalan agraria adalah persoalan yang sangat mendasar bagi kerberlanjutan negara dan bangsa Indonesia. Mengapa? Dengan luas wilayah kedaulatan 5,2 juta km², terdiri dari luas laut sebesar 3,3 juta m² dan 1,9 juta km² luas darat serta memiliki sekitar 17.504 buah pulau (7.870 bernama, dan 9.634 belum bernama), dan panjang pantai mencapai 81.000 km, merupakan sumberdaya agraria yang luar biasa dan perlu mendapatkan perhatian secara khusus.
Absen-nya isu-isu keagrariaan dari propaganda capres-cawapres, mengesankan bahwa mereka abai atau tidak paham makna agraria atau, jangan-jangan tidak paham pula bahwa negeri kita adalah negeri agraris yang membutuhkan pemimpin-pemimpin yang Pro Agraria (KR, 28-3-2014). Untuk itu, perlu kita tilik visi keagrariaan masing-masing capres-cawapres, agar pimpinan negeri ini betul-betul sosok yang pro agraria, mengingat pro agraria berarti pro kesejahteraan rakyat, sekaligus pro keberlanjutan lingkungan dan bangsa Indonesia.
Sembilan halaman visi dan misi pasangan Prabowo–Hatta dengan cita-cita “Membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta bermartabat”, secara eksplisit mengagendakan “mempercepat reforma agraria untuk menjamin kepemilikan tanah rakyat, meningkatkan akses dan penguasaan lahan yang lebih adil dan berkerakyatan, serta menyediakan rumah murah bagi rakyat”. Agenda tersebut menjadi bagian dari agenda melaksanakan ekonomi kerakyatan yang cenderung normatif. Pada agenda Membangun Kembali Kedaulatan Pangan, Energi dan Sumberdaya Alam, Prabowo – Hatta berkehendak mencetak 2 juta hektar lahan baru untuk meningkatkan produksi pangan dan 2 juta hektar lahan untuk aren, ubi kayu, ubi jalar, sagu, sorgum dan bahan baku bioetanol lainnya.
Sementara itu, 41 halaman visi dan misi pasangan Jokowi – JK yang berjudul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”, menetapkan visi “Terwujudnya Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Meskipun pasangan ini tidak menempatkan agenda keagrariaan sebagai salah satu dari 9 Agenda Prioritas, tetapi agenda keagrariaannya lebih realistis dan jelas. Sebagai contoh, pasangan ini berkomitmen untuk melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat melalui peninjauan regulasi yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat, melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dan RUU Pertanahan, serta berinisiatif untuk penyusunan RUU penyelesaian konflik agraria.  Pasangan ini secara eksplisit juga mendorong land reform untuk memperjelas kepemilikan tanah dan sumberdaya alam melalui penyempurnaan UUPA.
Dari kedua visi pasangan capres-cawapres, tampak bahwa agenda-agenda keagrariaan belum dikemas secara sistemik dan holistik. Bahkan ada kecenderungan penempatan agenda keagrariaan masih bersifat parsial, impulsif atau bahkan hanya sekedar pelengkap saja. Idealnya, ketika persoalan keagrariaan adalah persoalan mendasar dan persoalan krusial bangsa, maka selayaknyalah agenda-agenda keagrariaan menjadi agenda strategis. Dalam hal ini, reforma agraria mestinya menjadi agenda strategis untuk menyelesaikan berbagai persoalan keagrariaan, mengingat reforma agraria dipandang mampu menyelesaikan persoalan ketimpangan struktur dan distribusi penguasaan sumberdaya  agraria.
Realitasnya, meskipun kedua pasangan capres-cawapres menyinggung agenda keagrariaan, tetapi keduanya tidak menempatkan agenda keagrariaan sebagai agenda strategis bangsa dalam visi dan misinya. Akankah persoalan keagrariaan masih akan terus menggelayuti bangsa ini? Wallahu a’lam.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 16-06-2014
[2] Dr. Sutaryono, Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM.

Senin, 09 Juni 2014

Pemberdayaan Masyarakat: Leading Sector BPN



PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN PERTANAHAN
 
Oleh:
Sutaryono

Pendahuluan
Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang diikuti dengan munculnya Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan, memunculkan babak baru dalam pengelolaan dan pelayanan pertanahan. Berdasarkan perpres tersebut fungsi BPN RI semakin luas dan semakin kuat, terutama berkaitan dengan upaya-upaya untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat melalui pendayagunaan sumberdaya agraria/pertanahan.
            Dalam konteks peraturan perundang-undangan tersebut, satu hal yang sangat esensial dan prospektif untuk mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat melalui penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah adalah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat yang selalu dikaitkan dengan pengendalian pertanahan ini, nampak sebagai kebijakan yang diupayakan untuk membumikan agenda pengendalian dan pemberdayaan masyarakat. Pada peraturan perundang-undangan sebelumnya, institusi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat hanya sampai pada tingkat direktorat, sedangkan berdasarkan Perpres 10/2006 berikut peraturan pelaksananya sudah sampai pada level sub seksi di jajaran kantor pertanahan. Dapat dipastikan bahwa keberadaan struktur yang ada pada tingkat pusat (direktorat), cenderung tidak mengakar dan belum memberikan tingkat implementasi secara riil. Atau malah baru pada taraf diskursus tentang konseptualisasi terminologi, mengingat masih miskinnya informasi dan agenda kerja mengenai pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat selama ini. Nah, keberadaan sub seksi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat di kantor pertanahan dapat dimaknai sebagai upaya untuk membumikan agenda pengendalian dan pemberdayaan sebagai salah satu strategi baru dalam pembangunan pertanahan.

Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat
            Berdasarkan Grand Design Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Pertanahan (BPN, 2004) disebutkan bahwa secara kelembagaan beberapa fungsi pada bidang pengendalian dan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan adalah sebagai berikut:
1. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat berfungsi dalam:
  1. perumusan kebijakan, koordinasi dan pelaksanaan pengendalian pertanahan;
  2. perumusan kebijakan, koordinasi dan pelaksanaan peningkatan partisipasi masyarakat.
2.  Direktorat Pengendalian Pertanahan berfungsi dalam:
  1. pengendalian penguasaan dan pemilikan tanah;
  2. pengendalian penggunaan tanah.
3.  Direktorat Pemberdayaan Masyarakat berfungsi dalam:
  1. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
  2. pelaksanaan kerjasama di bidang pertanahan.  
Grand design tersebut juga menegaskan bahwa dalam tahapan operasional di daerah, pada dasarnya tugas pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat adalah tugas dan fungsi Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan. Pembentukan organisasi di tingkat pusat untuk perumusan konsepsi dan kebijakan, sedangkan komponen pelaksananya di kantor pertanahan disesuaikan dengan jenis kegiatannya. Apabila dibentuk unit kerja di daerah hanya dipersyaratkan di Kanwil BPN yang bertugas melakukan supervisi dan koordinasi.
            Berbeda dengan grand design di atas, berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja BPN RI disebutkan bahwa secara kelembagaan fungsi-fungsi deputi bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:
a.       perumusan kebijakan teknis di bidang pengendalian dan pemberdayaan masyarakat;
b.      pelaksanaan pengendalian kebijakan, perencanaan dan program penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;
c.       pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
d.      evaluasi dan pemantauan penyediaan tanah untuk berbagai kepentingan.
            Mencermati kedua hal di atas  tampaknya ada sesuatu yang perlu didiskusikan ulang. Terminologi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat seolah-olah dimaknai sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pemaknaan ini didasarkan pada logika sederhana yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang mempunyai akses berlebih terhadap tanah perlu dikendalikan dan pihak-pihak yang miskin atau tidak punya akses terhadap tanah perlu diberdayakan. Pemaknaan ini terlihat sebagai upaya mensimplifikasi makna sebenarnya. Apabila dikelompokkan, paling tidak terdapat dua hal penting yang perlu didiskusikan ulang.
Pertama terkait dengan substansi dan penggunaan terminologi pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat. Dari sisi substansi ada kecenderungan mensimplifikasi aspek pengendalian dan makna pemberdayaan masyarakat. Pada sisi penggunaan terminologi yang berhubungan dengan substansi masih sering muncul kerancuan, misalnya antara ”pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat” dan ”pengendalian dan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan”. Kedua terminologi tersebut dari sisi bahasa jelas terdapat perbedaan makna., sehingga tidak pada tempatnya menyebutkan pengendalian pertanahan dan pemberdayaan pada satu terminologi. Terminologi pemberdayaan masyarakat memiliki dasar filosofis yang jauh berbeda dengan pengendalian pertanahan. Dalam konteks yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat adalah prasyarat penting bagi terwujudnya civil society, di samping keadilan sosial dan kemakmuran.
            Kedua terkait dengan kelembagaan. Belum solidnya kelembagaan baik di pusat maupun di daerah mengindikasikan bahwa tugas pokok dan fungsi bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat ini  belum optimal. Bahkan agenda kerja yang disusun banyak bersinggungan atau malah overlaping dengan bidang lain. Hal ini juga didorong oleh adanya program yang diagendakan kelembagaan di pusat belum membumi dan cenderung masih sebatas wacana. Kalau toh sudah berupa program kerja, implementasinya masih banyak dipertanyakan, terutama terkait tupoksi, personel dan pendanaan.  
           
Pemberdayaan Masyarakat, Leading Sector-nya BPN
      Memprihatinkan, ketika penulis mendengar berbagai statemen tentang bidang, seksi ataupun subseksi pemberdayaan masyarakat di berbagai kantor pertanahan maupun kantor wilayah BPN sebagai bidang, seksi atau subseksi yang “kering”, tidak memberikan kontribusi pada pelayanan pertanahan, sumberdaya manusianya adalah orang buangan, program kerjanya tidak jelas dan sudah ada di seksi lain, struktur yang mengada-ada, bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BPN, dan beberapa statemen minor lainnya. Bahkan pada level direktorat, pemberdayaan masyarakat dimaknai ’hanya’ sebatas pada sertifikasi bidang tanah pada sektor Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) yang bekerjasama dengan pihak perbankan ataupun koperasi.  Hal-hal tersebut penulis tangkap pada saat berkesempatan mengunjungi beberapa daerah di Jawa, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat maupun pada saat terlibat penelitian dan Focus Group Discussion (FGD) di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN.
Apabila berbagai statemen minor terhadap kelembagaan pemberdayaan masyarakat di lingkungan BPN sebagaimana di atas benar, maka sebuah kewajaran apabila implementasi Perpres 10/2006 kedodoran. Salah satu klausul dalam Perpres 10/2006 yang secara esensial sangat fundamental dalam pengelolaan pertanahan adalah Pasal 2 yang berbunyi ”BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Substansi ini mensyaratkan kelembagaan BPN kuat dan mindset aparat di dalamnya harus lebih terbuka, berwawasan nasional dan tidak terkotak-kotak pada bidang ataupun seksi yang sudah eksis.
Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat (direktorat, bidang, seksi dan sub seksi) di lingkungan BPN mestinya bisa menjadi entry point bagi eksistensi BPN untuk menjalankan tugas pertanahan yang bersifat nasional, regional maupun sektoral. Tidak jamannya lagi BPN sebagai lembaga vertikal mengambil jarak dengan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Persoalan otonomi pertanahan mestinya sudah selesai dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pada saat ini BPN dengan Perpres 10/2006-nya harus mulai membuka diri, melakukan kolaborasi dengan berbagai stake holder dan institusi yang berkompeten terhadap sumberdaya tanah. Peran kehumasan dan negosiasi dengan pihak eksternal inilah yang harus dimainkan oleh lembaga Pemberdayaan Masyarakat di BPN. Artinya, lembaga Pemberdayaan Masyarakat di berbagai tingkatan di BPN harus menjadi leading sector-nya pembangunan pertanahan.  Sebagai contoh, percepatan pendaftaran tanah tidak akan berjalan dengan baik tanpa pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam contoh ini sub seksi Pemberdayaan Masyarakat di kantor kertanahan harus mampu menjembatani kantor pertanahan dengan pemda maupun dengan masyarakat, sehingga resources yang ada di pemerintah daerah dan masyarakat dapat digunakan untuk mengurangi dan menyelesaikan permasalahan yang timbul yang berada di luar kewenangan kantor pertanahan. Contoh lain adalah Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Dalam program ini sudah sepantasnyalah lembaga Pemberdayaan Masyarakat dalam segala tingkatan berperan dalam mengagregasi dan mengartikulasikan keseluruhan stake holder yang terlibat dalam program tersebut.
Untuk dapat melakukan berbagai tantangan di atas, perlu dipahami bersama tentang konsep pemberdayaan. Pemberdayaan (empowerment) adalah  kata benda, sedangkan action-nya adalah kata kerja yaitu memberdayakan atau empowering. Kalau ditilik lebih jauh lagi, pemberdayaan atau lebih tepatnya disebut sebagai empowerment merupakan konsep yang lahir dari perkembangan pemikiran dan budaya barat. Konsep ini sejalan dengan depowerment terhadap pemikiran-pemikiran mistifikasi keagamaan yang telah berkembang menjadi sebuah mitos yang membelenggu pemikiran-pemikiran rasionalisitik.  Substansi dari konsep empowerment adalah emansipasi dan liberalisasi serta penguasaan terhadap segala kekuasaan dan penguasaan[1]. Implikasi dari adanya emansipasi dan liberalisasi ini adalah sesuatu yang disebut sebagai pembebasan yakni pembebasan manusia dari sebuah kungkungan kekuasaan yang melingkupinya melalui proses empowerment of the powerless.
Dalam konteks pembangunan, konsep pemberdayaan memiliki perspektif lebih luas. Pearse dan Stiefel (1979)[2] menyatakan bahwa menghormati kebhinekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi kekuatan dan peningkatan kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif. Paul (1987) seorang pemikir lain menyatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil (equitable sharing of power), sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan.
 Berdasarkan hal di atas maka pendekatan yang digunakan dalam masyarakat adalah pendekatan partisipatif. Dalam pendekatan ini masyarakat tidak dijadikan sebagai obyek pembangunan belaka tetapi dijadikan sebagai subyek yang ikut menentukan keberhasilan sebuah program pembangunan yang dilaksanakan. Masyarakat diberi kewenangan dan otoritas untuk merencanakan dan menentukan pilihan-pilihan secara aktif dalam proses yang dijalankan termasuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian hingga pemanfaatan hasil.
 Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yakni: (1) proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar menjadi lebih berdaya. Proses ini ditujukan untuk membangun kemandirian baik individu maupun kolektif yang biasanya dilakukan melalui organisasi; (2) Proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu atau kolektif agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog[3].
Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat[4]. Ini berarti bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan memandirikan dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran terhadap potensi yang dimilikinya untuk lebih berdaya guna dan berhasil guna. Dasar dari upaya ini adalah dengan mengakui dan memberikan hak-hak masyarakat untuk ikut mengelola, mengawasi, bertanggungjawab serta ikut menikmati keberadaan sumberdaya agraria di sekelilingnya.
Dalam konteks pengelolaan pertanahan, selama ini belum melibatkan masyarakat secara optimal. Beberapa konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi, salah satunya disebabkan oleh kurangnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat konflik.  Sebuah resolusi penting agar konflik yang terjadi tidak berkepanjangan adalah melakukan dialog  dan bargaining untuk mendapatkan sebuah konsensus dalam pengelolaan pertanahan.
Munculnya visi ”Tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat guna mewujudkan keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia” dan terbitnya regulasi yang mengatur tentang pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan, menjadikan pemberdayaan adalah sebuah peluang dan tantangan bagi aparat pertanahan. Peluang yang berupa tersedianya regulasi tentang pemberdayaan mestinya dapat dimanfaatkan secara baik oleh aparat pertanahan, untuk memberdayakan masyarakat yang berorientasi pada pencapaian visi pertanahan. Adapun tantangan yang dihadapi adalah berubahnya paradigma pembangunan ke pemberdayaan yang diikuti dengan menguatnya desentralisasi dan civil society.  Artinya, pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan dapat dijadikan titik masuk bagi eksistensi kelembagaan BPN di era otonomi ini.  Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan konsep pemberdayaan masyarakat dalam berbagai agenda aksi yang mendukung pelayanan pertanahan?
Peraturan Kepala BPN No. 4/2006 Psl 52 (2) secara eksplisit menyebutkan bahwa Subseksi Pemberdayaan Masyarakat mempunyai tugas menyiapkan bahan inventarisasi potensi, asistensi, fasilitasi dalam rangka penguatan penguasaan, dan melaksanakan pembinaan partisipasi masyarakat, lembaga masyarakat, mitra kerja teknis dalam pengelolaan pertanahan serta melakukan kerjasama pemberdayaan dengan pemerintah kabupaten/kota, lembaga keuangan dan dunia usaha, serta bimbingan dan pelaksanaan kerjasama pemberdayaan. Ayat tersebut mensyaratkan bahwa subseksi pemberdayaan masyarakat harus melakukan berbagai langkah internal dan eksternal secara produktif, agar secara kelembagaan fungsi seksi pemberdayaan masyarakat dapat berdaya dan berhasil guna.
Beberapa hal yang dapat didiskusikan berkenaan dengan agenda pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan adalah menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui:
1.      Mengeksplorasi nilai-nilai yang berkaitan dengan semangat partisipasi: Kebersamaan, solidaritas, tanggungjawab, lokalitas, keberpihakan pada kelompok marjinal, dsb.
2.      Menghidupkan kembali institusi-institusi lokal yang pernah eksis.
3.      Memfasilitasi terbentuknya asosiasi-asosiasi kewargaan yang berbasis kemasyarakatan & kultural yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas ruang interaksi.
4.      Mengkampanyekan pentingnya partisipasi masyarakat untuk sebuah perubahan.
5.      Memperluas ruang komunikasi publik.
Setelah tumbuhnya benih-benih partisipasi, maka perlu segera ditindaklanjuti dengan upaya peningkatan partisipasi, yang meliputi:
1.      Memperkuat basis legal untuk partisipasi dan penguataan kapasitas masyarakat, misal melalui perda atau surat edaran dari institusi pemerintah.
2.      Penguatan kapasitas intitusi lokal, dengan mengalokasikan sumberdaya dan memberi kesempatan untuk berkreasi.
3.      Menyediakan dan menyebarluaskan berbagai informasi publik yang mudah diakses.
4.      Melakukan proses desentralisasi ke tingkat bawah.
5.      Mengembangkan metode kemitraan dan partisipasi.
Partisipasi sebagai buah dari pemberdayaan, terkadang hanya dimaknai sebagai keterlibatan dalam sebuah kegiatan saja, yang sebetulnya lebih cocok disebut sebagai mobilisasi. Partisipasi pada dasarnya menuntut keterlibatan dalam: (a) perumusan kebijakan dan penyusunan rencana; (b) tahapan implementasi; dan (3) pemantauan dan evaluasi atas suatu program yang berkenaan dengan masyarakat luas.
Beberapa hal yang berhubungan dengan partisipasi sebagaimana di atas perlu di-‘bumi’-kan ke dalam berbagai agenda aksi yang strategis, realistis dan populis dalam mendorong transformasi sosial di bidang pertanahan.  Kondisi ini merupakan sebuah prasyarat bagi pencapaian 11 Agenda BPN yang meliputi: (1) membangun kepercayaan masyarakat pada BPN; (2) meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah, serta sertipikasi secara menyeluruh di seluruh Indonesia; (3) memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah; (4) menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air; (5) menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis; (6) membangun System Informasi dan Manajemen Pertanahan (SIMTANAS) dan system pengamanan dokumen di seluruh Indonesia; (7) menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; (8) membangun database penguasaan dan pemilikan tanah skala besar; (9) melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang ditetapkan; (10) menata kelebagaan BPN; (11) mengembangkan dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan pertanahan.

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat
            Keanekaragaman, partisipasi, otonomi, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat yang dijadikan dasar pemikiran mengenai pentingnya  pengaturan tentang pembangunan pedesaan perlu diimplementasikan secara nyata ke dalam pelaksanaan pembangunan pertanahan, mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai pada tahapan evaluasi. Dalam konteks ini kegiatan pembangunan pertanahan terutama yang berhubungan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat dimulai dengan menumbuhkan partisipasi. Dengan demikian, apabila hal ini dapat dilakukan maka pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan pertanahan sudah dimulai dengan terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pelayanan pertanahan.
            Agenda pemberdayaan yang dapat dilakukan oleh kantor pertanahan dapat dirumuskan setelah dilakukan analisis situasi dan potensi yang dimiliki, baik internal maupun eksternal. Salah satu metode yang layak dikedepankan dalam analisis situasi dan lingkungan untuk penyusunan agenda pemberdayaan adalah Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) yang sering disebut juga dengan Analisis Kekepan (Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman). Metode ini cukup sederhana tetapi sangat efektif untuk memberikan berbagai penyadaran bagi masyarakat tentang potensi yang dimilikinya. Berbagai kegiatan identifikasi terhadap kekuatan yang dimiliki masyarakat dan peluang yang harus ditangkap memberikan semangat baru dan rasa optimisme bagi warga masyarakat yang terlibat dalam proses rembug warga. Adanya kelemahan dan ancaman yang kemudian disadarinya akan meningkatkan kehati-hatian dalam pengambilan keputusan sekaligus dapat memunculkan inovasi dan daya kreasi untuk mengeleminasi kelemahan dan ancaman yang ada dalam upaya pemberdayaan di bidang pertanahan. Berikut beberapa contoh agenda pemberdayaan yang dapat didiskusikan lebih jauh agar dapat terformulasi menjadi sebuah program kerja (Tabel 1).
            Agenda pemberdayaan yang tertuang dalam program kerja sebagaimana contoh pada Tabel 1, sebagian besar memerlukan kerjasama dengan seksi lain ataupun institusi terkait. Dalam hal ini subseksi pemberdayaan masyarakat dapat berperan sebagai motor penggerak. Misalnya, kerjasama pemberdayaan melalui penyediaan media informasi pertanahan dengan pemerintah daerah. Kerjasama ini digagas, didorong dan diimplementasikan oleh subseksi pemberdayaan masyarakat untuk kemudian ditindaklanjuti (di-back up) oleh seksi lain. 



Tabel 1. Arah Kebijakan & Program Pemberdayaan Masyarakat
No
Arah Kebijakan
Program
Keterangan
1.     
Inventarisasi Potensi & Pengumpulan Data
1.   Inventarisasi Hak Atas Tanah
2.   Inventarisasi Tanah Kritis & Terlantar
3.   Inventarisasi Konflik Pertanahan
4.   Inventarisasi Pokmas
5.   Inventarisasi LSM di bidang Pertanahan/agraria
6.   Inventarisasi berbagai kerjasama dengan institusi eksternal
7.   Inventarisasi lokasi penyuluhan pertanahan
Kerjasama dengan seksi lain & institusi terkait
2.     
Asistensi
1.  Pembentukan Pokmas
2.  Sosialisasi Penyadaran tentang Tertib Pertanahan
3.  Perluasan Informasi & Ruang Interaksi antara BPN & Masyarakat
4.  Pelatihan Administrasi Pertanahan bagi Aparat Desa
Kerjasama dengan Pemda & Instansi Terkait
3.     
Fasilitasi dalam rangka penguatan penguasaan tanah
1.   Penguatan Hak Atas Tanah
2.   Memfasilitasi Percepatan Pendaftaran tanah
3.   Memfasilitasi penyelesaian sengketa
4.   Memfasilitasi perbaikan administrasi pertanahan di Desa
Kerjasama dg seksi terkait
4.     
Melaksanakan pembinaan partisipasi masyarakat, lembaga masyarakat, mitra kerja teknis dalam pengelolaan pertanahan
1.   Penyediaan Klinik Konsultasi Pertanahan
2.   Peningkatan Kualitas & Kuantitas Tenaga Penyuluh
3.   Peningkatan intensitas Penyuluhan & Sosialisasi Pertanahan
Kerjasama dg seksi terkait
5.     
Melakukan kerjasama pemberdayaan dengan pemerintah kabupaten/kota, lembaga keuangan dan dunia usaha
1.   Penyediaan media informasi pertanahan: mekanisme pengurusan, pembeayaan, jangka waktu, dsb.
2.   Peningkatan akses masyarakat terhadap dunia usaha
Kerjasama dengan Pemda & lembaga terkait
6.     
Bimbingan dan pelaksanaan kerjasama pemberdayaan
1.   Bimbingan Pokmas dalam pengendalian pertanahan
2.   Penguatan kelembagaan kerjasama
Kerjasama dengan Pemda & lembaga terkait

            Beberapa contoh arah kebijakan dan program kerja di atas, apabila dapat diimplementasikan maka keberadaan kantor pertanahan akan semakin kuat dan dibutuhkan oleh masyarakat. Bahkan, semua kegiatan yang dilakukan oleh kantor pertanahan dalam pelayanan masyarakat, mengharuskan unsur pemberdayaan masuk di dalamnya, karena hanya dengan pemberdayaan dan partisipasi masyarakatlah kegiatan pelayanan pertanahan dapat dilakukan secara baik, berkelanjutan dan terhindar dari sengketa dan konflik.  Hal ini menunjukkan betapa pentingnya subseksi pemberdayaan dalam mendukung pelayanan pertanahan.
            Contoh arah kebijakan dan program yang dikemukakan di atas masih sebatas pada level sub seksi di kantor pertanahan, mengingat kantor pertanahan-lah yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat. Pada level seksi dan bidang di Kanwil BPN maupun pada level direktorat  sudah selayaknyalah memiliki jangkauan dan scooping yang lebih luas. Negosiasi dan kolaborasi dengan institusi eksternal dalam dimensi lebih luas menjadi tantangan bagi direktorat pemberdayaan masyarakat atau bahkan pada level deputi. Lembaga pemberdayaan masyarakat pada semua tingkatan tidak hanya terbatas pada level penguatan hak masyarakat atas tanah, tetapi juga memastikan bahwa visi ”Tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat guna mewujudkan keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia” dapat terrealisasikan. Inilah beberapa peluang dan tantangan dalam implementasi Perpres 10/2006 demi terwujudnya BPN sebagai lembaga yang kompeten, kredibel dan diakui eksistensinya oleh institusi eksternal dalam mengemban amanah UUPA. Semoga. 
Bahan Bacaan

Alexander Abe, 2005. Perencanaan Daerah Partisipatif. Pembaruan. Yogyakarta.
Badan Pertanahan Nasional, 2003. Bahan Pembinaan Teknis Pengendalian Pertanahan. Direktorat Pengendalian Pertanahan BPN. Jakarta.
______________, 2004. Grand Design Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat Di Bidang Pertanahan (Konsepsi, Strategi, Implementasi dan Hasil). Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan Dan Pemberdayaan Masyarakat BPN. Jakarta.
Hetifah Sj. Sumarto, 2004. Inovasi, Partisipasi Dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Kartasasmita, Ginanjar, 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. PT. Pustaka CIDESINDO. Jakarta.
Priyono, O.S, dkk, 1996, Pemberdayaan : Konsep, Kebijaksanaan dan Implementasi, CSIS, Jakarta.
Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Organisasi & Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Organisasi & Tata Kerja Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan.


[1] Pranarka & Moeljarto, dalam Prijono & Pranarka, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi 1996:47
[2] Ibid, 1996:63. Baca pada bab Pemberdayaan (Empowerment)
[3] Ibid, 1996:57
[4] Ginanjar, 1996:144