Senin, 16 Juni 2014

Visi Keagrariaan Capres



MENAKAR VISI KEAGRARIAAN CAPRES[1]

Oleh: Sutaryono[2]

            Kontestasi politik menjelang Pilpres 9 Juli nanti, eskalasinya cenderung meningkat dan perbedaan antar pasangan calon berserta pendukungnya semakin tajam. Bahkan di berbagai media dan jejaring sosial muncul kampanye negatif hingga kampanye hitam yang berorientasi untuk mempengaruhi pemilih yang belum menentukan sikap.
            Pada dasarnya pemilih cukup mencermati dua hal penting untuk menentukan pilihan, yakni track record dan visi capres-cawapres. Berkenaan dengan track record, pemilih sudah mendapatkan berbagai informasi tentang rekam jejak paslon dan cukup cerdas untuk memberikan penilaian. Namun, berkenaan visi capres cawapres belum banyak ruang yang digunakan untuk mensosialisasikannya kepada khalayak. Kalau toh ada, masih bersifat parsial dan cenderung terfokus pada isu pemerintahan, penegakan hukum dan perekonomian. Isu keagrariaan capres-cawapres cenderung absen dari berbagai perbincangan, meskipun persoalan agraria adalah persoalan yang sangat mendasar bagi kerberlanjutan negara dan bangsa Indonesia. Mengapa? Dengan luas wilayah kedaulatan 5,2 juta km², terdiri dari luas laut sebesar 3,3 juta m² dan 1,9 juta km² luas darat serta memiliki sekitar 17.504 buah pulau (7.870 bernama, dan 9.634 belum bernama), dan panjang pantai mencapai 81.000 km, merupakan sumberdaya agraria yang luar biasa dan perlu mendapatkan perhatian secara khusus.
Absen-nya isu-isu keagrariaan dari propaganda capres-cawapres, mengesankan bahwa mereka abai atau tidak paham makna agraria atau, jangan-jangan tidak paham pula bahwa negeri kita adalah negeri agraris yang membutuhkan pemimpin-pemimpin yang Pro Agraria (KR, 28-3-2014). Untuk itu, perlu kita tilik visi keagrariaan masing-masing capres-cawapres, agar pimpinan negeri ini betul-betul sosok yang pro agraria, mengingat pro agraria berarti pro kesejahteraan rakyat, sekaligus pro keberlanjutan lingkungan dan bangsa Indonesia.
Sembilan halaman visi dan misi pasangan Prabowo–Hatta dengan cita-cita “Membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta bermartabat”, secara eksplisit mengagendakan “mempercepat reforma agraria untuk menjamin kepemilikan tanah rakyat, meningkatkan akses dan penguasaan lahan yang lebih adil dan berkerakyatan, serta menyediakan rumah murah bagi rakyat”. Agenda tersebut menjadi bagian dari agenda melaksanakan ekonomi kerakyatan yang cenderung normatif. Pada agenda Membangun Kembali Kedaulatan Pangan, Energi dan Sumberdaya Alam, Prabowo – Hatta berkehendak mencetak 2 juta hektar lahan baru untuk meningkatkan produksi pangan dan 2 juta hektar lahan untuk aren, ubi kayu, ubi jalar, sagu, sorgum dan bahan baku bioetanol lainnya.
Sementara itu, 41 halaman visi dan misi pasangan Jokowi – JK yang berjudul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”, menetapkan visi “Terwujudnya Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Meskipun pasangan ini tidak menempatkan agenda keagrariaan sebagai salah satu dari 9 Agenda Prioritas, tetapi agenda keagrariaannya lebih realistis dan jelas. Sebagai contoh, pasangan ini berkomitmen untuk melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat melalui peninjauan regulasi yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat, melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dan RUU Pertanahan, serta berinisiatif untuk penyusunan RUU penyelesaian konflik agraria.  Pasangan ini secara eksplisit juga mendorong land reform untuk memperjelas kepemilikan tanah dan sumberdaya alam melalui penyempurnaan UUPA.
Dari kedua visi pasangan capres-cawapres, tampak bahwa agenda-agenda keagrariaan belum dikemas secara sistemik dan holistik. Bahkan ada kecenderungan penempatan agenda keagrariaan masih bersifat parsial, impulsif atau bahkan hanya sekedar pelengkap saja. Idealnya, ketika persoalan keagrariaan adalah persoalan mendasar dan persoalan krusial bangsa, maka selayaknyalah agenda-agenda keagrariaan menjadi agenda strategis. Dalam hal ini, reforma agraria mestinya menjadi agenda strategis untuk menyelesaikan berbagai persoalan keagrariaan, mengingat reforma agraria dipandang mampu menyelesaikan persoalan ketimpangan struktur dan distribusi penguasaan sumberdaya  agraria.
Realitasnya, meskipun kedua pasangan capres-cawapres menyinggung agenda keagrariaan, tetapi keduanya tidak menempatkan agenda keagrariaan sebagai agenda strategis bangsa dalam visi dan misinya. Akankah persoalan keagrariaan masih akan terus menggelayuti bangsa ini? Wallahu a’lam.


[1] Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, 16-06-2014
[2] Dr. Sutaryono, Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) & Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar