Jumat, 21 Agustus 2020

Tata Ruang

Tata Ruang[1]

Oleh: Sutaryono[2]

 Selamat Hari Tata Ruang. Hari ini (8 November) merupakan tahun kelima, diperingatinya sebagai  Hari Tata Ruang Nasional, berdasarkan  Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2013. Keppres yang ditandatangani oleh Susilo Bambang Yudhoyono tersebut ditetapkan dengan pertimbangan perlunya upaya meningkatkan kesadaran dan peran aktif masyarakat di bidang penataan ruang, baik pada aras perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang.

“Tata Ruang Vs Tata Uang” (Analisis KR, 9-11-2017) menunjukkan bahwa tata ruang selalu dihadapkan pada tata uang dan kepentingan pemodal untuk menanamkan investasinya. Yang pada akhirnya, tata ruang harus tunduk pada kepentingan pembangunan ekonomi dan bergeraknya modal dan investasi dari pada menjaga keberlanjutan lingkungan. Sudah jamak bahwa arahan pola dan struktur ruang yang sudah dialokasikan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) diabaikan demi kepentingan pengembang dalam menanamkan investasinya. Tata ruang yang harusnya berperan dalam pengendalian pemanfaatan ruang justru menjadi instrumen dalam ‘tata uang’. Proses pembangunan saat ini cenderung sarat dengan kepentingan pemodal yang menempatkan ‘uangnya’ untuk berproduksi pada ruang-ruang yang menguntungkan. Kepentingan ini menjadikan munculnya komersialisasi ruang dalam pembangunan wilayah, dimana ‘tata uang’ menjadi faktor yang dominan dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan ruang.

 Tertib Ruang

Pada dasarnya penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan itulah yang disebut dengan tertib ruang, dan hanya bisa diwujudkan melalui pengendalian pemanfaatan ruang secara baik dan berkelanjutan. Namun demikian, realitas menunjukkan hal yang berbeda. Hampir di sebagian besar wilayah kabupaten/kota di Indonesia, agenda pengendalian pemanfaatan ruang nyaris terlupakan. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya instrumen utama dalam pengendalian pemanfaatan ruang di sebagian besar kabupaten/kota yakni Rencana Detail Tata Ruang - Peraturan Zonasi (RDTR-PZ). Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, peraturan zonasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Dalam hal ini RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata  ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan  peraturan zonasi kabupaten/kota. Sedangkan peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan). Instrumen utama pengendalian pemanfaatan ruang tersebut (RDTR-PZ) harus diperdakan agar bisa operasional.

 Agenda Tindak

Hingga saat ini, data Kementerian ATR/BPN menunjukkan bahwa di seluruh kabupaten/kota di Indonesia baru terdapat 41 Perda RDTR-PZ, dari sekitar 1800 perda yang dibutuhkan. Data ini menggambarkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia belum memiliki instrumen pengendalian pemanfaatan ruang. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang lain adalah perijinan, insentif dan disinsentif serta penerapan sanksi. Ketiga instrument ini juga belum banyak diinisiasi oleh pemerintah kabupaten/kota.

Oleh karena itu, momentum Peringatan Hari Tata Ruang Nasional ini perlu dijadikan momentum untuk segera melakukan agenda-agenda produktif guna mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Beberapa agenda yang perlu segera ditindaklanjuti bersama adalah: (1) mainstreaming atau pengarusutamaan penataan ruang, yakni menjadikan ‘ruh’ penataan ruang sebagai panduan dalam pemanfaatan ruang dan pembangunan wilayah oleh semua pemangku kepentingan; (2) terintegrasinya kelembagaan pertanahan dan penataan ruang, mengingat urusan pertanahan dan urusan tata ruang adalah ‘senafas’. Dan saat ini, di seluruh kabupaten/kota di DIY  kelembagaan pertanahan dan tata ruang sudah menjadi satu institusi. Semoga segera disusul oleh pemerintah kabupaten/kota yang lain; (3) Tersedianya dan teraksesnya data dan informasi pertanahan dan keruangan secara mudah; (4) tersedianya regulasi dan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang secara lengkap agar segera  dapat dioperasionalkan; (5) menguatkan partisipasi masyarakat, dalam pengendalian pemanfaatan ruang; dan (6) berjalannya sistem dan mekanisme pengawasan dan pengendalian secara berkelanjutan.



[1] Dimuat dalam ANALISIS SKH Kedaulatan Rakyat, Kamis 8 November 2018

[2] Dr. Sutaryono, Dosen pada STPN Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM